Assalaamu'alaikum Wr.
Wb.
Ustadz yg saya hormati, saya mau bertanya tentang hukum zakat profesi. Apa benar kalau dikatakan bahwa zakat profesi itu hanya merupakan hasil ijtihad, dan sebenarnya tidak diperitahkan di dalam Al-Quran atau pun hadits?
Padahal selama ini yang saya tahu, mungkin pengetahuan saya terbatas, setiap harta yang kita terima wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya?
Lalu kenapa ada pendapat yang tidak mendukung zakat profesi? Apa kira-kira yang membuat zakat profesi ini tidak didukung?
Jadi kira-kira yang benar bagaimana ini, mohon penjelasan yang rinci, ustadz.. Bagaimana kedudukan zakat profesi ini menurut para ulama baik di dalam ataupun di luar negeri.
Syukran dan terima kasih atas jawaban ustadz.
Ustadz yg saya hormati, saya mau bertanya tentang hukum zakat profesi. Apa benar kalau dikatakan bahwa zakat profesi itu hanya merupakan hasil ijtihad, dan sebenarnya tidak diperitahkan di dalam Al-Quran atau pun hadits?
Padahal selama ini yang saya tahu, mungkin pengetahuan saya terbatas, setiap harta yang kita terima wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya?
Lalu kenapa ada pendapat yang tidak mendukung zakat profesi? Apa kira-kira yang membuat zakat profesi ini tidak didukung?
Jadi kira-kira yang benar bagaimana ini, mohon penjelasan yang rinci, ustadz.. Bagaimana kedudukan zakat profesi ini menurut para ulama baik di dalam ataupun di luar negeri.
Syukran dan terima kasih atas jawaban ustadz.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau yang dimaksud sebagai 'hasil ijtihad' itu bahwa zakat profesi tidak punya nash Quran dan Sunnah yang bersifat tegas (sharih) dan sistematis sebagai landasan masyru'iyah, maka jawabannya memang benar. Tidak ada satupun ayat atau hadits yang secara eksplisit memerintahkan zakat profesi.
Dan kalau yang dimaksud bahwa zakat profesi itu sekedar 'hasil ijtihad' dalam arti belum pernah ditetapkan sebelumnya oleh para ulama dan baru di abad sekarang ini saja muncul ide untuk memberlakkannya, maka jawabannya juga benar. Sepanjang 14 abad ini para ulama tidak pernah menuliskan zakat profesi dalam kitab-kitab fiqih mereka.
Bahkan tidak ada satu pun mazhab dari empat mazhab yang mendukungnya. Maka dalam kitab-kitab fiqih klasik hingga masuk abad 14 hijriyah, kita tidak akan menemukan ulama yang menulis secara khusus tentang zakat profesi ini.
Namun di masa sekarang ini, khususnya di abad 14hijriyah muncul berbagai usulan, tesis dan kajian kritis tentang perlunya diciptakan jenis zakat baru, yaitu zakat profesi. Dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah : zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.
Titik Masalah
Sebenarnya yang jadi titik masalah dalam zakat profesi ini adalah dibuangnya syarat nishab dan haul. Sehingga begitu seseorang menerima gaji, upah, honor atau pemasukan finansial dalam bentuk apapun, diwajibkan untuk langsung membayar zakat. Dalam hal ini, kepemilikan atas harta itu tidak harus berjalan selama setahun (haul) dulu. Bahkan tidak harus melebihi nisab.
Padahal para ulama sepakat bahwa emas dan perak itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali setelah dimiliki selama setahun dan melebihi nisab di akhir tahun.
Sementara ulama pendukung zakat profesi maunya syarat haul dan nisab dihilangkan saja. Mereka kemudian mengqiyaskan dengan zakat hasil panen tanaman yang tidak harus menunggu haul.
Lalu Siapakah Yang Mencetuskan Zakat Profesi Ini
Umumnya para ulama di Mesir seperti Syeikh Abu Zahrah, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Muhammad Al-Ghazali dan muridnya, Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Kalau yang dimaksud sebagai 'hasil ijtihad' itu bahwa zakat profesi tidak punya nash Quran dan Sunnah yang bersifat tegas (sharih) dan sistematis sebagai landasan masyru'iyah, maka jawabannya memang benar. Tidak ada satupun ayat atau hadits yang secara eksplisit memerintahkan zakat profesi.
Dan kalau yang dimaksud bahwa zakat profesi itu sekedar 'hasil ijtihad' dalam arti belum pernah ditetapkan sebelumnya oleh para ulama dan baru di abad sekarang ini saja muncul ide untuk memberlakkannya, maka jawabannya juga benar. Sepanjang 14 abad ini para ulama tidak pernah menuliskan zakat profesi dalam kitab-kitab fiqih mereka.
Bahkan tidak ada satu pun mazhab dari empat mazhab yang mendukungnya. Maka dalam kitab-kitab fiqih klasik hingga masuk abad 14 hijriyah, kita tidak akan menemukan ulama yang menulis secara khusus tentang zakat profesi ini.
Namun di masa sekarang ini, khususnya di abad 14hijriyah muncul berbagai usulan, tesis dan kajian kritis tentang perlunya diciptakan jenis zakat baru, yaitu zakat profesi. Dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah : zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.
Titik Masalah
Sebenarnya yang jadi titik masalah dalam zakat profesi ini adalah dibuangnya syarat nishab dan haul. Sehingga begitu seseorang menerima gaji, upah, honor atau pemasukan finansial dalam bentuk apapun, diwajibkan untuk langsung membayar zakat. Dalam hal ini, kepemilikan atas harta itu tidak harus berjalan selama setahun (haul) dulu. Bahkan tidak harus melebihi nisab.
Padahal para ulama sepakat bahwa emas dan perak itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali setelah dimiliki selama setahun dan melebihi nisab di akhir tahun.
Sementara ulama pendukung zakat profesi maunya syarat haul dan nisab dihilangkan saja. Mereka kemudian mengqiyaskan dengan zakat hasil panen tanaman yang tidak harus menunggu haul.
Lalu Siapakah Yang Mencetuskan Zakat Profesi Ini
Umumnya para ulama di Mesir seperti Syeikh Abu Zahrah, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Muhammad Al-Ghazali dan muridnya, Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Tidak bisa dipungkiri bahwa
Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat
profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang
merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat
hasil pekerjaan dan profesi). [1]
Sesungguhnya beliau bukan
orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada
tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan
juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf. Namun karena kitab
Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama
dalam masalah zakat profesi.
Inti pemikiran beliau,
bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima,
jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa
dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.
Dan sebenarnya disitulah
letak titik masalahnya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa diantara
syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang
tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal
dengan istilah haul.
Sementara Al-Qaradawi dan
juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan pemasukan dari
berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.
2 dan 3. Dr. Abdul Wahhab
Khalaf dan Syeikh Abu Zarhah
Dalam kitab Fiqhuzzakah,
Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung zakat profesi
bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama Mesir yang
mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.
Dalam kuliah yang mereka
sampaikan tentang zakat, disebutkan bahwa mereka mewajibkan zakat profesi
sebagai salah satu kewajiban. Namun mereka memberi syarat haul dan nishab,
sebagaimana disebutkan dalam kutipan :
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja
dan profesi diambil zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah
mencapai nishab.
Kalau kita telaah fatwa
mereka dengan cermat, sebenarnya yang mereka fatwakan bukan zakat profesi
seperti yang umumnya kita kenal sekarang ini, yaitu zakat tanpa harus dimiliki
setahun. Kedua ulama ini masih tetap mensyaratkan haul dan nishab. Kalau ada
kedua syarat itu, setidaknya syarat haul, maka zakat itu lebih merupakan zakat
atas harta yang ditabung atau disimpan dan bukan zakat profesi. Padahal inti
dari zakat profesi itu tidak membutuhkan haul, sehingga begitu diterima,
langsung terkena zakat.
Namun Dr. Yusuf Al-Qaradawi
menggolongkan mereka sebagai pendukung zakat profesi, padahal yang dimaksud
agak berbeda kriterianya.
4. Muhammad Al-Ghazali
Dalam fatwanya. Dr.
Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang penghasilannya di atas petani
yang terkena kewajiban zakat, maka dia pun wajib berzakat. [2]
Maka dokter, pengacara,
insinyur, produsen, pegawai dan sejenisnya diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
dari harta mereka yang terhitung besar itu.
5. Majelis Tarjih
Muhammadiyah
Musyawarah Nasional Tarjih
XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan
tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri
oleh anggota Tarjih Pusat.
Pada Lampiran 2 Keputusan
Munas Tarjih XXV Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga disebutkan bahwa :
a. Zakat Profesi hukumnya
wajib.
b. Nisab Zakat Profesi
setara dengan 85 gram emas 24 karat
c. Kadar Zakat Profesi
sebesar 2,5 %
B. Pendapat Para Ulama Yang
Tidak Mendukung Zakat Profesi
Di dunia international,
tidak sedikit ulama dan lembaga fatwa yang kurang sejalan dengan zakat profesi.
Ketidak-setujuan mereka umumnya seputar dihilangkannya syarat masa kepemilikan
setahun. Kalau seandainya gaji atau honor itu disimpan selama setahun dan
melebihi nisah, rata-rata mereka sependapat mewajibkan zakat profesi.
Tetapi kalau tanpa syarat haul,
rata-rata mereka menolak zakat profesi. Di antara mereka adalah :
1. Syeikh Bin Bazz
Beliau berkata: "Zakat
gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila
gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia
belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati." [Maqalaat Al
Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134.[3]
2. Syeikh Muhammad bin
Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa juga
ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di
Kerajaan Saudi Arabia. [4]
“Tentang zakat gaji bulanan
hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap
bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa
sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.
Karena di antara syarat
wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus
dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya,
misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib
atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali
sempurna haulnya.” .
3. Hai'atu Kibaril Ulama
Fatwa serupa juga telah
diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut
fatwanya: [5]
"Sebagaimana yang
telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas
dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak
(uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut".
"Mengingat hal itu,
maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah
mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau
dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun".
"Tidak dibenarkan
untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu
tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh
ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji
pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."
4. Muktamar Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar zakat pada
tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada saat itu, lalu
para peserta membuat kesimpulan: [6]
“Zakat gaji dan profesi
termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang
bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan
sebagainya".
"Profesi jenis ini
menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji,
namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishob dan
haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab".
"Adapun gaji yang
diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di akhir haul
sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum
nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib
mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah
2,5% setiap tahun“.
5. Bahtsul Masail Nahdlatul
Ulama
Hasil Keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di asrama haji Pondok Gede Jakarta pada
tanggal 25-28 Juli 2002 bertepatan dengan 14-17 Rabiul Akhir 1423 hijriyah
telah menetapkan hukum-hukum terkait dengan zakat profesi. [7]
Berikut kutipannya :
”Intinya pada dasarnya
semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar),
baik dari hasil kerja profesional/non-profesional, atau pun hasil industri jasa
dalam segala bentuknya, yang telah memenuhi persyaratan zakat, antara lain :
mencapai satu jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah, dikenakan kewajiban
zakat.”
Dari keputusan ini kita
bisa menyimpulkan, apabila seseorang mendapat gaji atau honor, tidak langsung
wajib berzakat, karena harus terpenuhi dua hal, yaitu nishab dan niat tijarah.
Niat tijarah maksudnya adalah ketika seseorang bekerja, niatnya adalah berdagang
atau berjual-beli. Dan ini sulit dilaksanakan, lantaran agak sulit mengubah
akad bekerja demi mendapat upah dengan akad berjual beli. Oleh karena itu
keputusan itu ada tambahannya :
”Akan tetapi realitasnya
jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut, lantaran tidak terdapat unsur
tijarah (pertukaran harta terus menerus untuk memperoleh keuntungan.”
Sekilas kita akan sulit
memastikan sikap dari musyarawah ini, apakah menerima zakat profesi atau tidak.
Karena keputusan ini masih bersifat mendua, tergantung dari niatnya.
Akan tetapi tegas sekali
bahwa kalau yang dimaksud dengan zakat profesi yang umumnya dikenal, yaitu
langsung potong gaji tiap bulan, bahkan sebelum diterima oleh yang berhak,
keputusan ini secara tegas menolak kebolehannya. Sebab dalam pandangan mereka,
zakat itu harus berupa harta yang sudah dimiliki, dalam arti sudah berada di
tangan pemiliknya.
6. Dewan Hisbah Persis
Persatuan Islam (PERSIS)
yang diwakili oleh Dewan Hisbah telah berketetapan untuk menolak zakat profesi,
dengan alasan karena zakat termasuk ibadah mahdhah. [8]
Barangkali maksudnya, kita
tidak dibenarkan untuk menciptakan jenis zakat baru, bila tidak ada dalil yang
tegas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan zakat profesi tidak punya landasan
yang sifatnya tegas langsung dari keduanya.
Namun insitusi ini menerima
adanya kewajiban infaq bagi harta yang tidak terkena zakat. Maka karena bukan
termasuk zakat, gaji itu perlu diinfaqkan, tergantung kebutuhan Islam terhadap
harta tersebut.
Maka tidak ada besarannya
yang baku, dan dalam hal ini pimpinan jam’iyah dapat menetapkan besarnya infaq
tersebut.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[6] Abhats
wa A’mal Mu’tamar Zakat Awal hlm. 442-443, dari Abhats Fiqhiyyah fi Qodhoya
Zakat al-Mua’shiroh 1/283-284.
[8] Kumpulan
Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Akidah dan
Ibadah, hal. 443