Assalamu`alaikum wr. wb.
Ustadz ana mau bertanya
tentang:
1. Apa hukumnya makan
makanan hasil dari peragian, misalnya: tape, bika ambon, dan lain-lain karena
secara kimia bahwa makanan yang diragikan akan menghasilkan produk berupa
alkohol walaupun kadarnya sedikit?
2. Bolehkah menggunakan
minyak wangi yang beralkohol?
3. Ustadz apakah kita harus
selalu makan produk makanan jadi yang telah bersertifikat halal dari MUI saja,
mengingat banyak sekali produk makanan yang beredar dipasaran yang belum
berlabel halal?
Jzk.
Wassalamu`alaikum wr. wb.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
1. Makanan hasil peragian
itu beramacam-macam tingkatannya. Tidak semua tingkatan haram, karena secara
spesifik belum tentu di semua tingkatan sudah berubah menjadi khamar.
Majelis Ulama Indonesia
telah menetapkan bahwa maksimal suatu makanan atau obat itu mengandung 1%
alkohol, untuk bisa diperbolehkan atau masih ditolelir kehalalannya.
Sedangkan secara fiqih,
selama makanan itu belum menjadi khamar, meski sudah mulai berubah rasanya,
hukumnya masih halal.
2. Tidak setiap zat yang
mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua
khamar itu mengandung alkohol.
Karena bila ditilik secara
ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki
kandungan zat yang disebut sebagai Alkohol seperti nasi dan sebagainya. Tentu
saja kita tidak bisa mengatakan bahwa nasi itu adalah khamar karena secara
alami mengandung kadar tertentu dari zat yang dikenal dengan nama Alkohol.
Jadi untuk menentukan
apakah suatu benda termasuk khamar, bukan dengan adanya alkohol atau tidak,
tetapi dengan melihat apakah zat itu memabukkan atau tidak bila dikonsumi oleh
masyarakat umum. Bila memabukkan, maka hukumnya adalah khamar tapi bila tidak
maka bukan khamar.
Contohnya seperti perasan
buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada
tahap yang lain di mana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan
khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar
bila telah berubah menjadi khall(cuka), hukumnya menjadi halal dan
sebaliknya.
Maka dari itu sebagian
besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan
khamar. Dan tidak mengapa menggunakan parfum yang mengandung alkohol dalam
shalat karena tidak termasuk benda najis.
Dan kenajisan khamar
sendiri sebagaimana yang disebutkan Al-Quran, bukan jenis najis secara fisik.
Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi,
anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan.
3. Sebenarnya yang lebih
tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram.
Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram,
tentu jauh lebih banyak yang halal.
Apalagi mengingat kaidah
fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya'i al-ibahah. Artinya,
hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua
makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung
unsur-unsur yang dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium.
Logika bahwa segalanya
hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi
khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu
fil Abdha'i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu
adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan.
Sedangkan dalam masalah
hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka
hukumnya haram.
Kalau menggunakan logika
sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan
waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak
terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya. Kalau logika berpikirnya
adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label
halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada
ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan
itu haram? Kecuali yang ada label halalnya?
Bagaimana mungkin kita
mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang
mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa
Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan
keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan).
Logika ini pun agak kurang
sejalan dengan metodologi Al-quran dan As-sunnah ketika menyampaikan masalah
halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu
persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang
haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan
yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas.
Namun barangkali lembaga
sertifikasi resmi yang ada di negeri ini punya pertimbangan lain yang tidak
kita ketahui, wallahu a'lam bishshawab
Wassalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/