Ust. saya penah dengar bahwa suami tidak bisa mewarisi harta
bawaan isteri (misalnya harta warisan dari orang tuanya). Jadi harta isteri
tadi dikembalikan ke ahli waris selain suaminya, karena suami "tetap sbg
orang lain", istilahnya, harta asal kembali ke asal.
1. Apa ada dalam konsep waris islam jargon tersebut?
2. Bagaimana jika konsep itu dilakukan, apakah termasuk pelanggaran?
terima kasih, Wassalam
1. Apa ada dalam konsep waris islam jargon tersebut?
2. Bagaimana jika konsep itu dilakukan, apakah termasuk pelanggaran?
terima kasih, Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Dalam konsep pembagian harta warisan menurut syariat Islam, memang
tidak dikenal istilah asal muasal harta. Sehingga tidak perlu dijadikan bahan
pertimbangan yang mempengaruhi ketentuan pembagian harta warisan.
Yang menentukan justru status kepemilikan harta itu sendiri, yang harus berstatus al-milkut-tam (الملك التام). Artinya, harta itu dimiliki secara mutlak, tidak ada sangkut pautnya dengan hak-hak orang lain di dalamnya.
Maka tatkala bagian harta sudah jadi milik pewaris, silahkan dibagikan kepada ahli warisnya sesuai ketentuan hukum waris Islam. Kita tidak perlu melihat ke belakang, dari mana asal muasal harta itu dimiliki oleh pewaris. Kewajiban kita hanya memastikan apakah harta itu sah dan legal dimiliki oleh pewaris.
Dalam contoh kasus yang Anda sampaikan di atas, yaitu ketika istri wafat dan suami menjadi ahli warisnya, maka suami berhak mendapatkan 1/4 atau 1/2 dari total harta yang dimiliki istri. Suami mendapat 1/4 atau 25% dari harta milik istrinya apabila almarhumah punya anak atau cucu yang juga ikut menerima harta warisan. Sebaliknya, bila tidak ada anak atau cucu yang menerima harta warisan, jatah suami bertambah menjadi 1/2 atau 50% dari total harta istri.
Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
Yang menentukan justru status kepemilikan harta itu sendiri, yang harus berstatus al-milkut-tam (الملك التام). Artinya, harta itu dimiliki secara mutlak, tidak ada sangkut pautnya dengan hak-hak orang lain di dalamnya.
Maka tatkala bagian harta sudah jadi milik pewaris, silahkan dibagikan kepada ahli warisnya sesuai ketentuan hukum waris Islam. Kita tidak perlu melihat ke belakang, dari mana asal muasal harta itu dimiliki oleh pewaris. Kewajiban kita hanya memastikan apakah harta itu sah dan legal dimiliki oleh pewaris.
Dalam contoh kasus yang Anda sampaikan di atas, yaitu ketika istri wafat dan suami menjadi ahli warisnya, maka suami berhak mendapatkan 1/4 atau 1/2 dari total harta yang dimiliki istri. Suami mendapat 1/4 atau 25% dari harta milik istrinya apabila almarhumah punya anak atau cucu yang juga ikut menerima harta warisan. Sebaliknya, bila tidak ada anak atau cucu yang menerima harta warisan, jatah suami bertambah menjadi 1/2 atau 50% dari total harta istri.
Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-nisa' : 12)
Bagian 1/4 atau 1/2 yang menjadi jatah buat suami itu diambilkan dari harta istri yang mana saja, tanpa harus merunut asal muasal harta itu sebelumnya. Yang penting harus dipastikan bahwa semua harta itu milik istri adalah harta yang berstatus al-milkut-taam, maksudnya dimiliki secara sempurna.
Dengan sempurnanya status kepemilikan ini, maka sudah tidak lagi dikenal istilah harta bawaan. Kita sudah tidak lagi mempedulikan dari mana harta itu didapat, apakah dari hasil warisan keluarga, hibah, hadiah, atau dari hasil kerja peras keringat sendiri.
Anggaplah istri mendapat harta secara warisan dari keluarganya. Maka begitu harta tersebut diserahkan, sat itu juga 100% sudah menjadi hak istri secara mutlak, dimana kepemilikannya bersifat al-milkut-tam. Konsekuensinya, harta itu boleh dan bebas diapakan saja oleh istri, termasuk boleh dijual atau diberikan kepada orang lain.
Dan tentunya juga sangat boleh harta itu untuk diwariskan kepada ahli warisnya sendiri, bila istri itu wafat dan suaminya pasti akan menjadi salah satu ahli warisnya. Maka suami tentu sangat berhak menerima sebagian harta istri, walaupun asalnya adalah harta milik keluarga istri.
Dan buat pihak keluarga istri yang lain, menjadi haram hukumnya untuk masih merasa menjadi pemilik atas harta itu. Ibarat jual-beli, harta itu sudah pindah kepemilikan secara 100% dari tangan penjual kepada tangan pembeli. Maka penjual sudah tidak boleh lagi punya perasaan masih memiliki.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Bagian 1/4 atau 1/2 yang menjadi jatah buat suami itu diambilkan dari harta istri yang mana saja, tanpa harus merunut asal muasal harta itu sebelumnya. Yang penting harus dipastikan bahwa semua harta itu milik istri adalah harta yang berstatus al-milkut-taam, maksudnya dimiliki secara sempurna.
Dengan sempurnanya status kepemilikan ini, maka sudah tidak lagi dikenal istilah harta bawaan. Kita sudah tidak lagi mempedulikan dari mana harta itu didapat, apakah dari hasil warisan keluarga, hibah, hadiah, atau dari hasil kerja peras keringat sendiri.
Anggaplah istri mendapat harta secara warisan dari keluarganya. Maka begitu harta tersebut diserahkan, sat itu juga 100% sudah menjadi hak istri secara mutlak, dimana kepemilikannya bersifat al-milkut-tam. Konsekuensinya, harta itu boleh dan bebas diapakan saja oleh istri, termasuk boleh dijual atau diberikan kepada orang lain.
Dan tentunya juga sangat boleh harta itu untuk diwariskan kepada ahli warisnya sendiri, bila istri itu wafat dan suaminya pasti akan menjadi salah satu ahli warisnya. Maka suami tentu sangat berhak menerima sebagian harta istri, walaupun asalnya adalah harta milik keluarga istri.
Dan buat pihak keluarga istri yang lain, menjadi haram hukumnya untuk masih merasa menjadi pemilik atas harta itu. Ibarat jual-beli, harta itu sudah pindah kepemilikan secara 100% dari tangan penjual kepada tangan pembeli. Maka penjual sudah tidak boleh lagi punya perasaan masih memiliki.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/