Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...
Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Februari 2015

Khutbah Jumat Wajib Berbahasa Arab?


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah, perkenankan saya menyampaikan pertanyaan terkait dengan ketentuan di dalam shalat Jumat.
Saya pernah ikut shalat Jumat di suatu daerah di Jawa Barat. Anehnya, sejak awal hingga akhir khutbah, khatib berkhutbah 100% dalam bahasa Arab.
Saya agak kaget dan heran juga melihatnya. Tetapi ada salah seorang teman yang bilang bahwa memang seharusnya khutbah itu disampaikan dalam bahasa Arab. Konon memang seperti itulah seharusnya, sebab khutbah Jumat itu bukan sekedar penyampaian ilmu semata, tetapi juga merupakan ritual ibadah mahdhah sebagai pengganti dua rakaat shalat yang hilang.
Maka saya agak penasaran, apa benar yang dikatakan teman saya itu, bahwa sejatinya khutbah Jumat itu harus menggunakan bahasa Arab?
Mohon penjelasan dari ustadz semoga berkenan. Sebelumnya saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya.
Wassalam


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang benar apa yang disampaikan oleh teman Anda tentang khutbah berbahasa Arab. Walaupun bukan menjadi ijma' atau pendapat yang mutlak, namun umumnya para fuqaha dari mazhab-mazhab besar berpendapat demikian.

Jumhur ulama dari Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanablah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah disampaikan dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-rukunnya. Sedangkan selain yang rukun dibolehkan untuk disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami oleh para pendengarnya.

1. Mazhab Al-Malikiyah : Wajib Berbahasa Arab
Mazhab ini mewajibkan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab. Bahkan sampai mengatakan bila di suatu tempat tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, walaupun dengan membaca rukun-rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah dan shalat Jumat.
Dan disyaratkan pula khatib memahami apa yang dibacanya dalam bahasa Arab itu, bukan sekedar bisa membunyikan saja. [1]

2. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Wajib Berbahasa Arab
Senada dengan mazhab Al-Malikiyah di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berfatwa tentang keharusan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab. 
Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan apabila tidak ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya bagi khatib tersebut untuk belajar bahasa Arab. Sehingga belajar bahasa Arab itu dalam mazhab ini hukumnya menjadi fardhu kifayah.
Dan apabila tidak seorang pun yang melakukan belajar bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Dan untuk itu gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat Dzhuhur saja.[2]

3. Mazhab Al-Hanafiyah : Tidak Wajib Berbahasa Arab
Satu-satunya pendapat yang membolehkan khutbah Jumat disampaikan di luar bahasa Arab hanyalah mazhab Al-Hanafiyah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pendapat imam mazhabnya, yaitu Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Sementara kedua ulama besar di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf, justru tidak sepakat dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah, yang sebenarnya adalah imam mereka sendiri. 

Lucunya, kedua ulama yang menjadi ikon mazhab Al-Hanafiyah malah cenderung sepakat dengan pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa khutbah Jumat tidak sah apabila tidak menggunakan bahasa Arab, setidaknya pada bagian rukunnya saja.
Kalau selama ini kita ikut shalat Jumat yang mana khatibnya menyampaikan khutbah dalam bahasa Indonesia, atau bahasa Jawa, Sunda, Batak, Padang dan lainnya, ketahuilah sebenarnya tanpa disadari kita ini telah bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Abu Hanifah. Setidaknya dalam kasus khutbah Jumat.

Dan perlu diketahui juga bahwa bukan hanya khutbah Jumat yang boleh disampaikan dengan bahasa selain Arab, bahkan ibadah shalat pun juga dibolehkan dengan menggunakan bahasa selain Arab. 
Nampaknya, untuk kasus shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia, di negeri kita tidak ada satu pun yang memakai pendapat mazhab Al-Hanafiyah ini. Mungkin dianggap kasus khutbah dan shalat berbeda. 

Dasar Pengambilan Hukum
Lalu apa dasar dan latar belakang jumhur ulama mengharuskan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab, meski hanya rukunnya saja?
Dasarnya adalah ittiba' kepada yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan generasi penerusnya hingga 14 abad kemudian. Padahal boleh jadi khutbah itu disampaikan di luar negeri Arab, dimana mayoritas penduduknya tidak mengerti bahasa Arab.

Kebanyakan ulama memandang bahwa khutbah Jumat ini lebih merupakan ibadah ritual (ta'abbud), ketimbang bagaimana orang memahami isi pesan di dalamnya. 
Alasannya karena khutbah Jumat tidak lain merupakan pengganti dari dua rakaat shalat Dzhuhur. Dan shalat itu wajib berbahasa Arab, sehingga khutbah pun wajib disampaikan dalam bahasa Arab, meski tidak satu pun dari hadirin memahami isi khutbah itu.

Jalan Tengah
Lepas dari perbedaan pendapat antara yang mewajibkan khutbah berbahasa Arab dengan pendapat yang tidak mewajibkan, sebenarnya dalam praktenya sehari-hari, yang kita lakukan selama ini sudah benar dilihat dari dua pihak.

Sebab mereka yang mewajibkan bahasa Arab menyebutkan bahwa minimal bahasa Arab itu digunakan pada rukun-rukun khutbah. Dan sejatinya, para khatib Jumat itu, meski kebanyakan tidak menguasai bahasa Arab, tetapi ketika mereka menyebutkan rukun-rukun khutbah, kebanyakan menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Coba saja perhatikan, ketika membuka khutbah para khatib itu pasti memulai dengan lafadz hamdalah dan shalat kepada Nabi SAW. Umumnya kedua rukun ini disampaikan dalam bahasa Arab tanpa disadari.

Kemudian, rukun berikutnya adalah membacakan petikan ayat Al-Quran. Tentu saja pasti menggunakan bahasa Arab. Sebab akan menjadi tidak sah apabila khutbah tidak membacakan petikan ayat Al-Quran. Dan juga tidak sah kalau yang dibaca cuma terjemahannya saja. Dan para khatib biasanya amat fasih melantunkan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Arab di dalam khutbah Jumat.

Dan rukun berikutnya adalah menyampaikan wasiat. Ini pun oleh para khataib juga disampaikan dalam bahasa Arab. Bukankah kita sering mendengar khatib membaca lafadz  Ittaqullaha haqqa tuqatihi. Nah, itu adalah wasiat atau pesan untuk bertaqwa dan disampaikan dalam bahasa Arab. Asalkan sudah baca lafadz itu, sebenarnya sudah cukup dan kewajiban menyampaikan wasiat sudah gugur.

Terakhir yang merupakan rukun khutbah Jumat adalah mendoakan umat Islam. Dan biasanya, semua khatib akan mengucapkan lafadz doa yang pasti kita hafal, Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat. Tentu saja doa itu juga berbahasa Arab.

Jadi dengan demikian, sebenarnya semua rukun khutbah sudah tersampaikan dalam bahasa Arab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Kalau pun kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama, tidak ada satupun yang terlanggar.

Bukankah Tujuan Khutbah Merupakan Penyampaian Pesan?
Kalau ada pihak yang protes bahwa khutbah Jumat itu seharusnya merupakan ajang disampaikannya pesan dan nasehat, tentu kita tidak bisa menolaknya. Memang benar pendapat itu, setidaknya menurut pendapat Abu Hanifah.

Walau pun kalau menurut pendapat jumhur ulama, mereka lebih menekankan aspek ritual ibadahnya. Khutbah jumat lebih merupakan ritual ibadah sebagaimana shalat. Mau bacaannya dipahami atau tidak, tidak jadi masalah. Yang penting unsur-unsur ritualnya sudah terpenuhi.

Maka kalau para khatib kita mencampur antara khutbah dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, rasanya sudah mmenuhi kedua pandangan dari dua pendapat yang berbeda. Ketika para khatib membaca bagian yang merupakan rukun khutbah, mereka gunakan bahasa Arab. Dan ketika menyampaikan isi pesan, mereka gunakan bahasa Indonesia yang lebih komunikatif.
Artinya, apa yang dilakukan oleh para khatib kita saat ini sudah memenuhi kedua pandangan ulama yang berbeda.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/



[1] Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 1 hal. 378
[2] Nihayatul Muhtaj, jilid 2 hal. 304


Jumat, 06 Februari 2015

Keringanan Buat Orang Sakit Dalam Thaharah dan Shalat


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon maaf ustadz, saya ingin bertanya tentang masalah rukhshah syar'iyah atau keringanan masalah fiqih. Apa saja keringanan yang Allah SWT berikan bagi orang yang sedang menderita sakit dalam masalah menjalankan shalat.
Terima kasih sebelumnya,
Wassalam


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Orang yang menderita penyakit diberikan begitu banyak keringanan dalam hukum-hukum syariah. Nash-nash yang kita miliki, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, banyak sekali mengandung penjelasan yang meringankan beban taklif bagi mereka yang sakit.

A. Dalam Masalah Thaharah
Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.

1. Sait Membolehkan Tayammum
Salah satu penyebab dibolehkannya tayammum sebagai pengganti dari wudhu adalah tatkala seseorang dalam keadaan sakit. Sehingga walaupun terdapat air, tetapi manakala seseorang sedang dalam keadaan tidak mungkin terkena air, dia boleh bertayammum.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ : قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ رواه أبو داود والدارقطني
Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

2. Mengusap Perban
Selain dibolehkan tayammum, orang yang sedang menderita luka pada kulit dan diperban, maka dia boleh tidak membasahi perbannya itu dengan air, tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya yang basah. Artinya, lukanya tetap kering tidak kena air wudhu'.
Hal itu dibenarkan bagi mereka yang sedang sakit, dengan dasar hadits Ali bin Abi Thalib berikut ini.
كُسِرَ زَنْدِي يَوْمَ أُحُدٍ فَسَقَطَ اللِّوَاءُ مِنْ يَدِي فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اجْعَلُوهَا فِي يَسَارِهِ فَإِنَّهُ صَاحِبُ لِوَائِي فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ مَا أَصْنَعُ بِالْجَبَائِرِ ؟ فَقَال : امْسَحْ عَلَيْهَا
Ali bin Abi Thalib berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga terjatuhlah bendera dari tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang dengan tangan kiri, karena sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang bendera di dunia dan akhirat". Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan bila ada perbannya?". Beliau SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya". (HR. Ibnu Majah).


B. Keringanan Dalam Shalat
Keringanan dalam mengerjakan shalat pun diberikan kepada orang sakit. Di antaranya dibolehkannya shalat sambil duduk, tidak terlalu menghadap kiblat, tidak ikut shalat Jumat dan Id, menjama' shalat dan lainnya.

1. Tidak Bisa Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat, sehingga orang yang shalatnya tidak berdiri maka shalatnya tidak sah.
Namun khusus buat orang yang sakit dan tidak mampu berdiri dengan benar kecuali dengan bersandar, dibolehkan berdiri dengan bersandar.

Bila tidak mampu juga, maka dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri, sehingga posisinya cukup dengan duduk saja. Dan bila tidak mampu duduk sendiri, dibolehkan duduk sambil bersandar.

Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

2. Tidak Bisa Ruku'
Bagaimana bila seorang yang sakit tidak mampu melakukan gerakan dan posisi ruku?
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat jumhur ulama dan pendapt Al-Hanafiyah.

a. Jumhur Ulama
Menurut jumhur ulama, orang yang tidak bisa melakukan gerakan atau berposisi ruku’, dia harus berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri.[1]
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’

Maksudnya, bila orang sakit tidak mampu melakukan gerakan ruku, maka dia mengambil posisi dasar yaitu berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.

b. Mazhab Al-Hanafiyah
Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi berdiri. [2]

3. Tidak Bisa Sujud
Posisi sujud adalah bagian dari rukun shalat yang apabila ditinggalkan akan membuat shalat itu menjadi tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga merupakan rukun shalat, sujud juga diperintahkan di dalam Al-Quran.
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Ruku’ lah dan sujudlah (QS. Al-Hajj : 77)

Namun orang yang sakit dan tidak mampu untuk melakukan gerakan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan dari Allah SWT untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna.

Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh berbaring, sambil menganggukkan kepala untuk sujud. Bila hal itu dilakukannya malah akan membatalkan shalatnya.[3]

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الأَْرْضِ وَإِلاَّ فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَل سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ
Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak, maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu. (HR. Ath-Thabrani)

4. Tidak Bisa Menghadap Kiblat
Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shlat dengan menghadap kiblat. Namun caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama.

Sebagian mengatakan bahwa caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat.
Dalilnya karena dalam pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat. Dan caranya dengan shalat dengan posisi miring.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat di atas lambung.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ  فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat.

Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.
Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi.

Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk menggeserkan posisi shalat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja.

5. Tidak Wajib Ikut Shalat Jumat
Kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat menjadi gugur manakala seseorang punya udzur sakit.
Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ
Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya,"Udzur itu apa saja?". Beliau SAW menjawab,"Rasa takut atau sakit". (HR. Abu Daud).

6. Kebolehan Menjama' Shalat
Dalam hal kebolehan menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.

a. Tidak Membolehkan
Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah.
Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang shalat.[4]
Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.

b. Membolehkan
Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


[1] Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 81
[2] Al-Hidayah, jilid 1 hal. 77
[3] Ash-Syarhu Ash-Shaghir, jilid 9 hal. 493
[4] Hasyiatu Ibnu Abidin, jilid 1 hal. 255-256


Selasa, 03 Februari 2015

Makmum Masbuk : Takbiratul Ihram Dulu Atau Langsung Ikut Imam?


Assalamu Alaikum Ustadz
Semoga Allah selalu menyertai anda semua.
Selama ini pemahaman saya kalau terlambat sholat dalam jamaah, maka saya akan melakukan takbiratul ihrom baru kemudian mengikuti posisi imam saat itu. Tetapi saat ini kadang kadang saya melihat beberapa orang tidak melakukan takbirotul ihrom tetapi langsung mengikuti posisi imam saat itu.
Manakah dari keduanya yang sesuai dengan hukum fiqih, ataukah keduanya ?
Jazakallah


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama sepakat bahwa takbiratul ihram adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya shalat. Tidka ada shalat kecuali dimulai dengan takbir. Dan tanpa adanya takbir itu, tentu saja shalat belum dimulai.

Takbir ini dinamakan dengan takbiratul-ihram, yang berasal dari kata 'haram'. Maksudnya takbir ini berfungsi sebagai pengharam, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat, seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.

Seluruh ulama baik mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa takbiratul Ihram termasuk ke dalam rukun shalat. Sehingga shalat yang dilakukan tanpa melafadzkan takbiratul-ihram bukanlah shalat yang sah. 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian. Yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir. Dan yang menghalalkannya adalah salam". (HR. Khamsah kecuali An-Nasai) 

Dalil lainnya adalah hadits berikut :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا 
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah(HR. Muttafaq Alaihi) 

Dari Rufa'ah Ibnu Rafi' bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak sah shalat serorang hamba hingga dia berwudhu' dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)

Bila kamu shalat maka bertakbirlah. (HR. Muttafaqun Alaihi) 

Maka takbiratul ihram ini mutlak wajib dibaca ketika shalat, yaitu saat memulai shalat. Baik seseorang shalat sendirian, atau pun berjamaah menjadi imam atau makmum, mau tidak mau mutlak wajib membaca takbiratul ihram. 

Makmum Mudrik dan Masbuk
Dan makmum tetap wajib membaca takbiratul-ihram, baik sebagai makmum yang mudrik atau pun makmum yang masbuk. 
Makmum mudrik adalah makmum yang tidak ketinggalan satu pun rakaat bersama imam, walaupun barangkali dia memulai shalat agak terlambat. Asalkan tidak ketinggalan satu rakaat pun, maka dia termasuk mudrik. 

Makmum masbuk adalah makmum yang ketinggalan setidaknya satu rakaat dari imamnya. Dan ketinggalannya ini ditandai ketika tidak bisa ruku' bersama imam. Maka makmum masbuk ini tetap wajib membaca takbiratul ihram dulu sebelum memulai shalatnya, kemudian dia ikut posisi imam yang didapatinya saat itu.

Berbeda Dengan Al-Fatihah
Kedudukan takbiratul ihram yang mutlak wajib dibaca ini agak berbeda dengan kedudukan surat Al-Fatihah. Meskipun surat Al-Fatihah juga termasuk rukun di dalam shalat menurut jumhur ulama, namun buat makmum ada pengecualian. Setidaknya para ulama berbeda pendapat, apakah makmum wajib membaca Al-Fatihah di belakang imam atau tidak. 

Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.

Demikian juga dengan mazhab Al-Hanafiyah yang berpendapat bahwa makmum secara mutlak tidak perlu membaca surat Al-Fatihah, baik di dalam shalat jahriyah atau pun sirriyah. Bahkan mereka sampai ke titik mengharamkan makmum untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam.
Yang agak berbeda adalah mazhab As-Syafi'iyah, yang dalam hal ini tetap mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah, baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.

Meski pun Masbuk Tetap Wajib Bertakbiratul Ihram
Semua fatwa di atas menunjukkan perbedaan kedudukan takbiratul-ihram dengan Al-Fatihah. Intinya, meski pun seseorang menjadi makmum yang masbuk alias sudah tertinggal satu rakaat atau lebih, dia tetap wajib bertakbiratul ihram ketika memulai shalatnya. 

Adapun mengangkat tangan saat takbritaul-ihram dan bersedakep alias meletakkan kanan di atas tangan kiri tentu bukan termasuk rukun shalat. Sehingga kalau memang tidak diperlukan, boleh saja ditinggalkan. 
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Jumat, 30 Januari 2015

Hukum Menghias Masjid Dengan Megah


Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz,
Apa hukum membangun masjid yang megah yang dipenuhi dengan ornamen dan hiasan yang mahal-mahal, bahkan ada sebagian ada yang hiasannya terbuat dari emas.
Bagaimana syariat Islam memandang masalah bermegahan dalam menghias masjid?
Demikian, jazakallah atas penjelasannya


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada dua istilah yang terkait dengan renovasi masjid yang seringkali dipahami orang secara terbolak-balik. Kedua istilah itu adalah tasy-yid al-masjid dan tazyin al-masjid. Keduanya berbeda, baik dari segi pengertian dan juga dari segi hukumnya.


A. Tasy-yid Al-Masjid
1. Pengertian
Kita mengenal istilah tasy-yid al-masjid (تشييد المسجد), yang merupakan istilah dalam bahasa Arab, berasal dari kata dasar syayyada | yusyayyidu | tasy-yidan (شيّد - يشيّد - تشْييدا).
Pengertian istilah ini dalam bahasa Indonesia adalah membangun ulang, merenovasi atau merekonstruksi ulang. Sehingga istilah tasy-yid al-masjid bisa kita artikan sebagai upaya untuk memperbaiki, merekosntruksi, atau merenovasi sebuah majis.
Merenovasi masjid bisa saja kecil-kecilan, tanpa mengubah apapun, baik bentuk maupun struktur bangunan, kecuali hanya memastikan semua kelengkapan masjid berfungsi dengan baik.
Tetapi merenovasi masjid juga tetapi bisa bisa bermakna lebih luas yaitu renovasi total. Renovasi total bisa saja melakukan perubahan struktur bangunan, penambahan luas, dan juga termasuk dalam arti merobohkan bangunan lama dan membangun kembali dari awal. Semua termasuk dalam kategori tasy-yid al-masjid.

2. Hukum
Seluruh ulama sepakat membolehkan tindakan merenovasi masjid, karena renovasi masjid termasuk ke dalam bagian memakmurkan masjid. Dan memakmurkan masjid adalah salah satu perintah Allah SWT yang telah ditetapkan pensyariatannya di dalam Al-Quran Al-Kariem :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah : 18)

Selain ayat di ayat, dasar masyru’iyah renovasi masjid juga berlandaskan apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab dan Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhuma. Meski Rasulullah SAW tidak pernah melakukan renovasi masjid, namun kedua shahabat beliau yang berposisi sebagai amirul-mukminin,dalam masa pemerintahan masing-masing melakukan renovasi.

Tentu kalau Rasullah SAW tidak merenovasi masjid, karena saat itu belum ada alasan yang kuat dan menjadi pendorong. Sedangkan di masa kedua khalifah, ada kebutuhan untuk memperluas bangunan, terkait dengan semakin membeludaknya jamaah di masjid, atau juga karena kebutuhan lainnya.


B. Tazyin Al-Masjid
1. Pengertian
Secara bahasa, kata tazyin dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata dasar zayyana | yuzayyinu | tazyinan (زيّن - يًزيِّن - تزْيِينا). Artinya adalah memberi hiasan agar terlihat menjadi indah dipandang mata.

Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A’raf : 31)

Kata tazyin (تَزْيِين) adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang bermakna :
اسْمٌ جَامِعٌ لِكُل شَيْءٍ يُتَزَيَّنُ بِهِ
Kata yang mencakup segala hal yang terkait dengan sesuatu yang dihias

Istilah tazyinul-masjid secara bebas bisa diterjemahkan dengan istilah menghias masjid. Namun sebagian dari para ulama memahami istilah tazyinul-masjid ini bukan sekedar dalam makna membuat masjid yang indah atau sekedar menghiasnya, tetapi sudah sampai kepada titik berlebih-lebihan dalam menghiasnya.

2. Hukum
Masalah menghias masjid memang diperselisihkan para ulama di masa lalu. Namun perselisihan mereka berangkat dari kenyataan bahwa hiasan itu sangat mahal, karena terbuat dari ukiran kaligrasi dan aksesorisnya yang terbuat dari emas dan perak. Hiasan seperti itu tentu sangat mahal harganya, bahkan untuk ukuran seorang penguasa sekalipun.

Adapun hiasan yang biasa kita lihat di masjid-masjid di sekeliling kita ini, tidak lain hanya terbuat dari cat tembok. Indah memang, tetapi hanya imitasi belaka, bukan emas dan perak seperti di masa lalu. Kalau hanya berupa kaligrafi dengan cat tembok, rasanya tidak ada nash yang secara langsung melarangnya. 

Sebaliknya, bila hiasan itu sampai menghabiskan dana yang teramat mahal, karena harus menghabiskan emas berton-ton, banyak para ulama di masa lalu yang memakruhkannya, bahkan juga tidak sedikit yang sampai mengharamkannya.

Awalnya masalah tazyinul masjid ini tidak pernah terangkat menjadi perbedaan pendapat, karena umumnya masjid di masa Rasulullah SAW dan di masa para shahabat, didirikan dengan amat bersahaja dan sederhana. 
Hanya sebagiannya yang beratap, itu pun hanya berupa daun kurma. Alasnya bukan marmer, tetapi tanah atau pasir. Tiangnya bukan beton tetapi hanya batang-batang kurma. Dan hal itu terjadi hingga masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun.

Barulah pada masa khilafah Al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masijd dihias dengan berlebihan, yaitu dengan ukiran kaligrafi dari emas dan perak.Dan kalau dihitung jumlahnya, bisa mencapai ratusan kilogram bahkan sampai berton emas dan perak. Jadi harganya memang terlalu amat sangat mahal sekali. 

Realitas ini kemudian disimpulkan oleh sebagian ulama sebagai isyarat tidak bolehnya kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah. Bahkan oleh sebagiannya dianggap bid’ah, buang harta dan haram.
Namun masalah ini memang sejak awal termasuk masalah khilaf pada fuqaha. Bahkan ke-empat imam mazhab utama pun tidak seragam pendapatnya.


C. Naqsy Al-Masjid
Selain itu juga ada istilah-istilah khusus yang secara lebih sempit sering digunakan, terkait dengan istilah tazyinul-masjid, misalnya istilah naqsy dan lainnya.
1. Pengertian : Naqsy
Istilah an-naqsy (النقش) adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang maknanya membuat gambar, ukiran atau motif yang timbul.
Contoh mudah naqsy ini adalah stempel yang biasa digunakan untuk mengesahkan surat. Karet stempel itu diukir sedemikian rupa sehingga tulisan atau gambarnya menjadi timbul.
Stempel yang merupakan naqsy ini dimiliki oleh Rasulullah SAW berbentuk cincin namun berfungsi untuk mengesahkan surat resmi yang beliau kirim kepada para penguasa dunia. Cincin beliau SAW itu tidak lain adalah stempel, bertuliskan tiga lafadz suci : Muhammad Rasul Allah (محمّد رسول الله), maknanya adalah Muhammad utusan Allah.

Karena ketiga lafadz ini tergolong suci, maka setiap kali beliau masuk ke WC, untuk menghormati lafadz yang suci ini, beliau SAW melepas cincin itu terlebih dahulu.
Selain stempel Rasulullah SAW, para khalifah pengganti beliau dalam kedudukan sebagai kepala negara pun juga memilikinya. Abu Bakar radhiyallahuanhu memiliki stempel yang bertuliskan ni’mal qadiru Allah (نعم القادر الله) yang bermakna Allah sebaik-baik penentu atau penguasa.

Amirul Mukminin radhiyallahuanhu juga memiliki stempel kenegaraan. Stempel Umar bertuliskan lafadz kafa bil-mauti wa’iza (كفى بالموت واعظا), yang maknanya cukuplah kematian itu menjadi pengingat.

Stempel Amirul Mukminin Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu bertuliskan lafadz : latashbiranna au latandamanna (لتصبرنّ أو لتندمنّ). Maknanya : bersabarlah atau kamu akan rugi.
Sedangkan stempel Ali bin Abi Thalib bertuliskan lafadz : al-mulku lillah (الملك لله ), yang maknanya : Kerajaan itu milik Allah.

2. Hukum Naqsy Masjid
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menghias masjid dengan ukiran yang timbul, atau an-naqsy.
a. Jumhur Ulama : Makruh
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat memakruhkan tindakan ini, dengan dasar hukum bahwa an-naqsy ini termasuk kategori bermewah-mewah dalam tingkat yang dianggap sudah berlebihan.
Barangkali an-naqsy di masa itu selain sulit dikerjakan, juga terbilang sangat mahal. Karena lazimnya naqsy ini adalah membuat ukiran timbul yang terbuat dari emas atau logam-logam mulia. Sehingga tindakan seperti itu dianggap berlebihan dan buang-buang biaya.

Sedangkan landasan nash yang mereka jadikan sebagai dasar untuk memakruhkan adalah hadits berikut ini :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali bila orang-orang telah bermewah-mewah dalam masjid (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

b. Al-Hanafiyah : Tidak Makruh
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah tidak memakruhkan tindakan nasqy pada masjid. Dan termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Wahab dan Ibnu Nafi’ dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, dan sebagian ulama mazhab Asy-Syafi’iyah, apabila nasy itu sedikit saja.

3. Sebab Kemakruhan
Makruh yang ditetapkan oleh jumhur ulama ini karena setidaknya ada dua alasan :
a. Tidak Amanah
Penyebab makruhnya naqsy pada masjid adalah karena akan menyebabkan tersia-siakannya amal jariyah umat Islam, dari yang seharusnya untuk membiayai hal-hal yang lebih produktif dan menempati skala prioritas utama, menjadi sekedar untuk hal-hal yang kurang produktif dan bukan prioritas. Sehingga akan berdampak pada kurang berlipatnya pahala orang yang menafkankan hartanya buat masjid tersebut.

Jadi intinya menurut jumhur ulama, bahwa harta yang telah orang-orang berikan untuk masjid, baik infaq biasa atau wakaf, tidak layak untuk sekedar dibelanjakan buat berbagai hiasan yang megah dan mahal-mahal. 

Tetapi seharusnya untuk kepentingan yang memang nyata dibutuhkan dalam operasional masjid, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh umat Islam.
Namun jumhur ulama tidak memakruhkan apabila dana yang digunakan untuk itu adalah dana pribadi langsung. Misalnya seseorang memang sengaja membangun masjid dengan dana pribadi, bukan dengan dana yang dikumpulkan dari orang lain atau dari masyarakat, maka bila dia berkeinginan membangunnya dengan megah, penuh dengan ukiran dan hiasan-hiasan yang mahal, hukumnya tidak menjadi makruh.

Dan mestinya, bila orang yang mewakafkan hartanya memang tahu persis bahwa dana yang diberikannya untuk masjid itu bertujuan sekedar untuk membuat naqsy yang tidak terlalu produktif, dan dia rela serta tidak merasa dirugikan, tentu tidak menjadi masalah juga.

b. Menggangu Konsentrasi
Kedua, makruhnya naqsy disini karena faktor takut akan memecah konsentrasi jamaah yang sedang shalat. Dikhawatirkan mereka akan sibuk memandangi dan mengagumi ukiran dan hiasan yang mewah itu, sehingga boleh jadi malah tidak bisa fokus dalam mengerjakan shalat.
Oleh karena itu, jumhur ulama membedakan antara naqsy yang dibuat di arah kiblat dengan yang bukan di arah kiblat.

Kemaruhannya hanyalah apabila naqsy ini dibuat di arah kiblat jamaah shalat, seperti di mihrab imam, atau diarah dinding depan dari jamaah shalat. Sebab meski disunnahkan dalam shalat harus menundukkan pandangan, namun tetap saja besar kemungkinan orang-orang yang sedang shalat akan teralihkan perhatiannya ke arah depan wajah mereka.
Sebaliknya, bila naqsy itu dibuat bukan di arah kiblat, atau dalam kata lain, tidak sampai mengalilhkan konsentrasi orang yang sedang shalat, maka tidak ada kemakruhan di dalamnya.

c. Menyalahi Sunnah Nabi
Pendapat yang memakruhkan naqsy ini juga punya dalil yang lain, yaitu menghias masjid dengan gemerlap tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat beliau.
Masjid di masa mereka sama sekali sepi dari berbagai macam perhiasan yang mahal dan merusak konsentrasi jamaah. Namun tidak mengurangi nilai kemuliaan dan keutamaan masjid-masjid itu sampai sekarang ini.

Maka kalau di masa sekarang ada keinginan agar masjid itu menjadi mulia dan punya kedudukan yang tinggi, bukan dengan jalan membuat perhiasan yang mewah, melainkan dengan cara menjadikan masjid itu sebagai pusat aktifitas dan kegiatan masyarakat.

Jadi bukan bangunannya yang diurus, tetapi bagaimana mengurus sumber daya manusianya. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT :
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah : 108)

Dan juga sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, yang lebih mengutamakan penyebutan orang yang hati nya bergelantungan atau terpaut selalu dengan masjid. Dalam hal ini Beliau SAW sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang arti dan nilai kemegahan suatu masjid dari sudut pandang keindahan bangunan dan aneka ragam hiasannya. 

Tetapi yang beliau sebut adalah sumber daya manusianya, yang dikatakan terpaut dengan masjid. Rasulullah SAW bersabda :
سَبْعَةٌ يَظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّه : إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌ نَشَأَ فيِ طَاعَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالمَسَاجِدِ ...
Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan beribadat kepada Allah dan laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid. (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/




Selasa, 27 Januari 2015

Bolehkah Menjama' Shalat Karena Sakit?


Assalamualaikum wr wb
Ustadz yang dirahmati Allah.
Beberapa waktu yang lalu saya tertimpa sakit yang membuat saya agak kesulitan untuk mengerjakan shalat lima waktu. Lalu ada seorang teman mengatakan bahwa kalau kita sedang sakit, katanya shalatnya boleh dijamak saja.
Sebenarnya saya agak ragu-ragu dengan informasi teman saya itu, tetapi berhubung kondisi saya saat itu memang agak parah, sulit sekali untuk bisa mengerjakan shalat, maka akhirnya saya menerima saja penjelasannya.
Jadi pada saat datang waktu untuk shalat Maghrib, saya tidak mengerjakannya, tetapi saya niat nanti akan saya jamak dengan shalat Isya'.
Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, apakah benar bahwa shalat itu boleh dijamak oleh sebab sakit, sebagaimana yang saya alami.
Jazaakumullah khairan katsira. Terima kasih sebelumnya atas jawaban dari ustadz.
Wassalamualaikum


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Meskipun ada sebagian ulama yang menjadikan sakit sebagai salah satu penyebab dibolehkannya kita menjama' shalat, namun sebagian ulam lain ada yang berpendapat sebaliknya.
Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi'iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama' shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[1].


1. Pendapat Yang Membolehkan
Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi'iyyah.
Di dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama' shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi'iyyah.
Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama' ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”. 

a. Dalil Al-Quran
Adapun dalil yang mendasari kebolehan jama' shalat karena sakit adalah dalil yang bersifat umum, dimana Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)

لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)

b. Dalil Hadits
صَلَّى رَسُول اللَّهِ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا زَادَ مُسْلِمٌ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW di Madinah menjama' shalat Dzhuhur dan Ashar serta menjama' shlat Maghrib dan Isya'. Imam Muslim menambahkan,"Itu dilakukan bukan karena takut atau safar.” (HR. Muslim) 

Memang hadits ini tidak secara eksplisit menyebutkan jama' yang dilakukan itu terjadi karena sakit. Namun para pendukung pendapat ini memandang bahwa riwayat tambahan dari Imam Muslim yang menegaskan bahwa jama' itu terjadi bukan karena takut dan juga bukan karena safar, padahal jama' itu dilakukan di dalam kota Madinah, maka kemungkinan hal itu dilakukan karena terjadinya sakit atau hujan dan sebab-sebab lainnya.


2. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Namun mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah menolak kebolehan menjama' shalat karena sakit. Alasannya karena tidak ada riwayat yang qath'i dari Rasulullah SAW tentang hal itu.
Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan :[2]
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَرِضَ أَمْرَاضًا كَثِيرَةً وَلَمْ يُنْقَلْ جَمْعُهُ بِالْمَرَضِ صَرِيحًا
Nabi SAW mengalami beberapa kali sakit, namun tidak ada riwayat yang sharih bahwa beliau menjama' shalatnya.

Dalam hal ini perlu dicatat bahwa mazhab Asy-syafi'i termasuk mazhab yang agak ketat dalam masalah kebolehan menjama'. Maka kalau alasannya hanya sakit, angin, gelap malam, takut ataupun lumpur, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk menjama'. Maka di dalam Al-Majmu' itu disebutkan bahwa :
الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ وَالْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ وَطُرُقِ الأَصْحَابِ : أَنَّهُ لا يَجُوزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ وَالرِّيحِ وَالظُّلْمَةِ وَلا الْخَوْفِ وَلا الْوَحَلِ
Pendapat yang masyhur dalam mazhab dan yang ma'ruf dalam nash-nash Asy-syafi'i serta taruq para ashab adalah tidakk boleh menjama' karena sakit, angin, gelap malam, takut ataupun lumpur.

Alasannya adalah karena keharusan mengerjakan shalat pada waktunya adalah hal yang bersifat qath'i serta didukung oleh dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Maka harus ada dalil yang benar-benar sharih menyebutkannya kebolehan meninggalkan atau melanggar waktu-waktu shalat karena sakit. Dan selama tidak ada dalil yang qath'i serta sharih (tegas), maka hukumnya tetap tidak boleh meninggalkan shalat dan menjama'nya dengan shalat lain.

Dan kalau diteliti secara mendalam, ternyata dalil-dalil yang digunakan oleh para pendukung kebolehan jama' karena sakit adalah dalil yang tidak kuat dan tidak bisa dijadikan dasar kebolehan.

a. Dalilnya Terlalu Umum
Dalil yang digunakan oleh kalangan yang membolehkan jama' shalat karena sakit dianggap tidak bisa dijadikan landasan. Berhubung dalil itu sangat umum sekali. Ibarat pasal dalam undang-undang, pasal itu adalah pasal karet, yang seringkali ditarik-tarik kesana-kesini seenaknya yang menafsirkan.
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78) 

Benar bahwa Allah tidak menjadikan kesulitan di dalam agama ini, tetapi tetap saja kita tidak bisa seenaknya membuat-buat tata cara ibadah sendiri, apalagi dalam hal meninggalkan shalat dan menggantinya di lain waktu dengan cara dijama'. 

Lagi pula tiap orang bisa saja dengan seenaknya mencari-cari alasan kesulitan, lalu shalatnya dijama' seenaknya. Dan ayat Al-Quran ini tidak menyebutkan alasan sakit, tetapi menyebutkan kesulitan. 
Sedangkan ayat yang kedua juga tidak bisa dijadikan dasar kebolehan menjama', karena sifatnya terlalu umum.

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)

Meski ayat ini bicara tentang orang yang buta, oincang dan sakit, namun sama sekali tidak bicara kebolehan untuk meninggalkan shalat pada  waktunya dan menggantinya dengan dijama' dengan shalat lain. 
Intinya, kedua ayat yang dijadikan dalil ini bersifat sangat umum dan tidak bisa dijadikan landasan kebolehan untuk menjama' shalat karena sakit.

b. Dalil Cuma Bersifat Asumsi
Dali dari hadits yang digunakan oleh kalangan yang membolehkan menjama' shalat karena sakit juga tidak bisa dijadikan landasan. 

Kenapa?
Karena sama sekali tidak menyebutkan alasan sakit. Sehingga kalau pun sakit dijadikan alasan, di dalam hadits itu hanya bersifat asumsi saja. Haditsnya hanya menyebutkan bahwa beliau SAW menjama' bukan karena takut dan bukan karena safar. Itu saja yang disebutkan. Tetapi kemudian ditafsirkan menjadi : kemungkinan karena sakit.

Maka kedudukan sakit dalam hal ini cuma sebatas asumsi dan kemungkinan. Namun pada kenyataannya, tidak ada satu pun dalill yang dengan tegas menyebutkan bahwa beliau SAW menjama karena sakit. Maka asumsi dan anggapan tidak bisa dijadikan hujjah dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah ini. 


Kesimpulan 
Demikian jawaban kami, yang intinya bahwa masalah ini memang termasuk masalah khilafiyah di antara para ulama. Buat kita yang berstatus muqallid atau muttabi; sebenarnya pendapat yang mana saja dari kedua pendapat di atas yang mau dipakai, tentu tidak ada larangan untuk memakainya dan juga tidak perintah untuk meninggalkanya.

Sebab keduanya adalah hasil produk ijtihad para ulama yang sudah berhak menyandang gelar mujtahid. Dan mereka sudah menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Meski untuk itu hasilnya tetap berbeda. 
Kalau pendapat seorang mujtahid itu sala, tetap masih mendapat pahala walaupun hanya satu. Dan kalau ternyata benar, tentu mendapatkan dua pahala. 

Dan kita yang sama sekali tidak ada potongan untuk jadi mujtahid, tidak perlu repot-repot mengkritisi masing-masing pendapat di atas. Sebab selain hanya akan menimbulkan kekeliruan, karena kritik dilakukan oleh yang bukan ahlinya, juga hanya akan menampakkan kekurangan ilmu kita saja di depan khalayak.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


[1] Syarah An-Nawawi jilid 5 hal. 219
[2] An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 hal. 383


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru