Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon maaf ustadz, saya ingin bertanya tentang masalah rukhshah syar'iyah atau keringanan masalah fiqih. Apa saja keringanan yang Allah SWT berikan bagi orang yang sedang menderita sakit dalam masalah menjalankan shalat.
Terima kasih sebelumnya,
Wassalam
Mohon maaf ustadz, saya ingin bertanya tentang masalah rukhshah syar'iyah atau keringanan masalah fiqih. Apa saja keringanan yang Allah SWT berikan bagi orang yang sedang menderita sakit dalam masalah menjalankan shalat.
Terima kasih sebelumnya,
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Orang yang menderita
penyakit diberikan begitu banyak keringanan dalam hukum-hukum syariah.
Nash-nash yang kita miliki, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, banyak sekali
mengandung penjelasan yang meringankan beban taklif bagi mereka yang sakit.
A. Dalam Masalah Thaharah
Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.
1. Sait Membolehkan Tayammum
A. Dalam Masalah Thaharah
Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.
1. Sait Membolehkan Tayammum
Salah satu penyebab
dibolehkannya tayammum sebagai pengganti dari wudhu adalah tatkala seseorang
dalam keadaan sakit. Sehingga walaupun terdapat air, tetapi manakala seseorang
sedang dalam keadaan tidak mungkin terkena air, dia boleh bertayammum.
Dalilnya adalah hadits
berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا
فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ
احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟
فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ
فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ :
قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا
شِفَاءُ العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ
عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
رواه أبو داود والدارقطني
Dari Jabir radhiyallahuanhu
berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa
batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia
bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum
?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu
untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang
itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW
dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya
semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ?
Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk
tayammum ...(HR. Abu Daud,
Ad-Daruquthuny).
2. Mengusap Perban
Selain dibolehkan tayammum,
orang yang sedang menderita luka pada kulit dan diperban, maka dia boleh tidak
membasahi perbannya itu dengan air, tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya
yang basah. Artinya, lukanya tetap kering tidak kena air wudhu'.
Hal itu dibenarkan bagi
mereka yang sedang sakit, dengan dasar hadits Ali bin Abi Thalib berikut ini.
كُسِرَ زَنْدِي يَوْمَ أُحُدٍ
فَسَقَطَ اللِّوَاءُ مِنْ يَدِي فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اجْعَلُوهَا فِي يَسَارِهِ فَإِنَّهُ صَاحِبُ لِوَائِي فِي الدُّنْيَا
وَالآْخِرَةِ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ مَا أَصْنَعُ بِالْجَبَائِرِ ؟
فَقَال : امْسَحْ عَلَيْهَا
Ali bin Abi Thalib
berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga terjatuhlah bendera dari
tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang dengan tangan kiri, karena
sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang bendera di dunia dan akhirat".
Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan bila ada perbannya?". Beliau
SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya". (HR. Ibnu Majah).
B. Keringanan Dalam Shalat
Keringanan dalam
mengerjakan shalat pun diberikan kepada orang sakit. Di antaranya dibolehkannya
shalat sambil duduk, tidak terlalu menghadap kiblat, tidak ikut shalat Jumat
dan Id, menjama' shalat dan lainnya.
1. Tidak Bisa Berdiri
Berdiri adalah rukun
shalat, sehingga orang yang shalatnya tidak berdiri maka shalatnya tidak sah.
Namun khusus buat orang
yang sakit dan tidak mampu berdiri dengan benar kecuali dengan bersandar,
dibolehkan berdiri dengan bersandar.
Bila tidak mampu juga, maka
dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri, sehingga posisinya cukup dengan duduk
saja. Dan bila tidak mampu duduk sendiri, dibolehkan duduk sambil bersandar.
Dasarnya adalah hadits
nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ
فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain
berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau
bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil
duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)
2. Tidak Bisa Ruku'
Bagaimana bila seorang yang
sakit tidak mampu melakukan gerakan dan posisi ruku?
Dalam hal ini ada dua
pendapat, yaitu pendapat jumhur ulama dan pendapt Al-Hanafiyah.
a. Jumhur Ulama
Menurut jumhur ulama, orang
yang tidak bisa melakukan gerakan atau berposisi ruku’, dia harus berdiri
tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri.[1]
Dasarnya adalah hadits
berikut ini :
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah
dengan Khusyu’
Maksudnya, bila orang sakit
tidak mampu melakukan gerakan ruku, maka dia mengambil posisi dasar yaitu
berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.
b. Mazhab Al-Hanafiyah
Namun menurut pendapat
Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan gerakan ruku’, secara otomatis
tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga dia shalat sambil duduk
saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi
berdiri. [2]
3. Tidak Bisa Sujud
Posisi sujud adalah bagian
dari rukun shalat yang apabila ditinggalkan akan membuat shalat itu menjadi
tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga merupakan rukun shalat, sujud juga
diperintahkan di dalam Al-Quran.
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Ruku’ lah dan sujudlah (QS. Al-Hajj : 77)
Namun orang yang sakit dan
tidak mampu untuk melakukan gerakan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia
mendapatkan keringanan dari Allah SWT untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski
tidak sempurna.
Orang yang bisa berdiri
tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit saja dengan badan masih
dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh berbaring, sambil menganggukkan kepala
untuk sujud. Bila hal itu dilakukannya malah akan membatalkan shalatnya.[3]
Dasarnya adalah sabda
Rasulullah SAW :
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ
عَلَى الأَْرْضِ وَإِلاَّ فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَل سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ
رُكُوعِكَ
Bila kamu mampu untuk sujud
di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak, maka anggukan kepala. Jadikan
sujudmu lebih rendah dari ruku’mu. (HR.
Ath-Thabrani)
4. Tidak Bisa Menghadap
Kiblat
Seseorang yang sedang
menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap
wajib shlat dengan menghadap kiblat. Namun caranya memang agak berbeda-beda di
antara para ulama.
Sebagian mengatakan bahwa
caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan
bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang
lahat.
Dalilnya karena dalam
pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat harus dada dan bukan
wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat. Dan
caranya dengan shalat dengan posisi miring.
Dalil lainnya adalah sabda
Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat di atas lambung.
Dasarnya adalah hadits
nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ
فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain
berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau
bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil
duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)
Namun sebagian ulama yang
lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki,
bukan dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi
badannya sudah memenuhi syarat.
Maka orang yang sakit itu
dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.
Namun akan jauh lebih baik
bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di bantal, karena baik dada
mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit
bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih
baik lagi.
Adapun seseorang yang
sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau menggeser
posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk
menggeserkan posisi shalat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke
arah mana saja.
5. Tidak Wajib Ikut Shalat
Jumat
Kewajiban untuk mengerjakan
shalat Jumat menjadi gugur manakala seseorang punya udzur sakit.
Dalilnya antara lain adalah
hadits berikut ini :
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ
يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ
أَوْ مَرَضٌ
Orang yang mendengar
panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang
bertanya,"Udzur itu apa saja?". Beliau SAW menjawab,"Rasa takut
atau sakit". (HR. Abu Daud).
6. Kebolehan Menjama'
Shalat
Dalam hal kebolehan
menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama yang tidak
memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’
bagi orang yang sedang sakit.
a. Tidak Membolehkan
Mereka yang tidak
membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di antaranya adalah mazhab
Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab
Al-Malikiyah.
Dasarnya karena sama sekali
tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu. Dan
selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan
tentang shalat.[4]
Sehingga setiap orang yang
sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat yang telah
ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.
b. Membolehkan
Mazhab Al-Hanabilah dan
sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang
sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’
taqdim atau pun jama’ ta’khir.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[1] Al-Muhadzdzab
jilid 1 hal. 81
[2] Al-Hidayah, jilid
1 hal. 77