Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Jumat, 06 Februari 2015

Keringanan Buat Orang Sakit Dalam Thaharah dan Shalat


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon maaf ustadz, saya ingin bertanya tentang masalah rukhshah syar'iyah atau keringanan masalah fiqih. Apa saja keringanan yang Allah SWT berikan bagi orang yang sedang menderita sakit dalam masalah menjalankan shalat.
Terima kasih sebelumnya,
Wassalam


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Orang yang menderita penyakit diberikan begitu banyak keringanan dalam hukum-hukum syariah. Nash-nash yang kita miliki, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, banyak sekali mengandung penjelasan yang meringankan beban taklif bagi mereka yang sakit.

A. Dalam Masalah Thaharah
Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.

1. Sait Membolehkan Tayammum
Salah satu penyebab dibolehkannya tayammum sebagai pengganti dari wudhu adalah tatkala seseorang dalam keadaan sakit. Sehingga walaupun terdapat air, tetapi manakala seseorang sedang dalam keadaan tidak mungkin terkena air, dia boleh bertayammum.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ : قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ رواه أبو داود والدارقطني
Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

2. Mengusap Perban
Selain dibolehkan tayammum, orang yang sedang menderita luka pada kulit dan diperban, maka dia boleh tidak membasahi perbannya itu dengan air, tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya yang basah. Artinya, lukanya tetap kering tidak kena air wudhu'.
Hal itu dibenarkan bagi mereka yang sedang sakit, dengan dasar hadits Ali bin Abi Thalib berikut ini.
كُسِرَ زَنْدِي يَوْمَ أُحُدٍ فَسَقَطَ اللِّوَاءُ مِنْ يَدِي فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اجْعَلُوهَا فِي يَسَارِهِ فَإِنَّهُ صَاحِبُ لِوَائِي فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ مَا أَصْنَعُ بِالْجَبَائِرِ ؟ فَقَال : امْسَحْ عَلَيْهَا
Ali bin Abi Thalib berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga terjatuhlah bendera dari tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang dengan tangan kiri, karena sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang bendera di dunia dan akhirat". Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan bila ada perbannya?". Beliau SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya". (HR. Ibnu Majah).


B. Keringanan Dalam Shalat
Keringanan dalam mengerjakan shalat pun diberikan kepada orang sakit. Di antaranya dibolehkannya shalat sambil duduk, tidak terlalu menghadap kiblat, tidak ikut shalat Jumat dan Id, menjama' shalat dan lainnya.

1. Tidak Bisa Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat, sehingga orang yang shalatnya tidak berdiri maka shalatnya tidak sah.
Namun khusus buat orang yang sakit dan tidak mampu berdiri dengan benar kecuali dengan bersandar, dibolehkan berdiri dengan bersandar.

Bila tidak mampu juga, maka dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri, sehingga posisinya cukup dengan duduk saja. Dan bila tidak mampu duduk sendiri, dibolehkan duduk sambil bersandar.

Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

2. Tidak Bisa Ruku'
Bagaimana bila seorang yang sakit tidak mampu melakukan gerakan dan posisi ruku?
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat jumhur ulama dan pendapt Al-Hanafiyah.

a. Jumhur Ulama
Menurut jumhur ulama, orang yang tidak bisa melakukan gerakan atau berposisi ruku’, dia harus berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri.[1]
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’

Maksudnya, bila orang sakit tidak mampu melakukan gerakan ruku, maka dia mengambil posisi dasar yaitu berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.

b. Mazhab Al-Hanafiyah
Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi berdiri. [2]

3. Tidak Bisa Sujud
Posisi sujud adalah bagian dari rukun shalat yang apabila ditinggalkan akan membuat shalat itu menjadi tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga merupakan rukun shalat, sujud juga diperintahkan di dalam Al-Quran.
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Ruku’ lah dan sujudlah (QS. Al-Hajj : 77)

Namun orang yang sakit dan tidak mampu untuk melakukan gerakan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan dari Allah SWT untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna.

Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh berbaring, sambil menganggukkan kepala untuk sujud. Bila hal itu dilakukannya malah akan membatalkan shalatnya.[3]

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الأَْرْضِ وَإِلاَّ فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَل سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ
Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak, maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu. (HR. Ath-Thabrani)

4. Tidak Bisa Menghadap Kiblat
Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shlat dengan menghadap kiblat. Namun caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama.

Sebagian mengatakan bahwa caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat.
Dalilnya karena dalam pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat. Dan caranya dengan shalat dengan posisi miring.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat di atas lambung.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ  فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat.

Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.
Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi.

Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk menggeserkan posisi shalat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja.

5. Tidak Wajib Ikut Shalat Jumat
Kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat menjadi gugur manakala seseorang punya udzur sakit.
Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ
Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya,"Udzur itu apa saja?". Beliau SAW menjawab,"Rasa takut atau sakit". (HR. Abu Daud).

6. Kebolehan Menjama' Shalat
Dalam hal kebolehan menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.

a. Tidak Membolehkan
Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah.
Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang shalat.[4]
Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.

b. Membolehkan
Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


[1] Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 81
[2] Al-Hidayah, jilid 1 hal. 77
[3] Ash-Syarhu Ash-Shaghir, jilid 9 hal. 493
[4] Hasyiatu Ibnu Abidin, jilid 1 hal. 255-256


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru