Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Jumat, 13 Februari 2015

Halalkah Sushi & Sashimi


Assalamualaikum.Wr.Wb
Ustadz, saya suka sekali makan sashimi (irisan daging/ikan mentah). Tapi saya hanya makan sashimi ikan. Ada sedikit keraguan di hati saya karena saya pernah mendengar bahwa kita tidak dibenarkan makan makanan yang masih berdarah (mentah), sedangkan ikan yang saya makan sama sekali tidak ada darahnya (ikan salmon dan udang). Bagaimana hukumnya memakan salmon mentah atau sushi jenis lainnya. Terima kasih.
Wassalaam,


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Secara umum, darah itu memang hukumnya najis, sehingga haram untuk dimakan. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT berikut ini:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah: 3)

Namun apa yang diharamkan di suatu dalil, boleh jadi dikecualikan dengan dalil lainnya. Salah satunya adalah pengecualian hukum memakan bangkai. Kalau di dalam ayat di atas, secara umum bangkai itu haram, namun bila ada dalil lainnya yang menyatakan kehalalan jenis bangkai tertentu, maka yang dikecualikan itu hukumnya halal.

Untuk menjawab masalah ini, kami ingin menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah SAW tentang hukum hewan yang hidup di laut. Hadits ini kalau kita rujuk kepada sebabnya, sebenarnya bukan secara langsung membicarakan hukum makan ikan. Melainkan jawaban atas pertanyaan tentang kebolehan berwudhu' dengan menggunakan air laut.

Suatu ketika ada serombongan shahabat melakukan perjalanan di laut lepas. Bekal air yang mereka bawa sangat terbatas. Hanya cukup untuk minum saja. Padahal mereka tetap wajib shalat dengan berwudhu' sebelumnya. Tapi bekal air itu pasti tidak cukup bila digunakan untuk wudhu'. Lantas mereka berijtihad untuk berwudhu' dengan menggunakan air laut.

Sekembalinya mereka bersama Rasulullah SAW, segera saja mereka bertanya tentang hukum berwudhu' dengan menggunakan air laut.Jawaban yang diberikan oleh beliau SAW ternyata juga dilengkapi dengan penjelasan lainnya, bukan hanya kebolehan berwudhu' dengan air laut, bahkan juga hukum lainnya tentangkebolehan memakan bangkai hewan laut. Jawaban beliau SAW singkat tapi padat.
(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya.

Dari penjelasan nabi SAW ini jelaslah bahwa jangankan darah ikan, bahkan bangkai ikan sekalipun tetap halal dimakan.
Selain itu kehalalan bangkai ikan itu juga diperkuat dengan adanya hadits lainnya, sebagaimana yang kami kutipkan berikut ini:
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Telah dihalalkan untuk bagi kita (muslim) dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa." (HR. Ad-Daruquthuni)

Maka memakan darah ikan, atau bahkan bangkai ikan, hukumnya halal dan dibenarkan dalam syariah Islam. Bahkan meski ikan itu masih mentah, sebagaimana kebiasaan bangsa Jepang.
Kalau pun seseorang merasa jijik karena tidak terbiasa memakan ikan mentah, rasa jijiknya itu tidaklah mengubah hukumnya. Hukumnya halal, tetapi kalau masalah selera seseorang tentu tidak bisa dipaksakan.
Demikian jawaban kami, 
wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Kulit Hewan Qurban

Saya mengucapkan banyak terima kasih atas jawaban Pak Ustadz mengenai hukum menjual kulit hewan qurban. Saya ingin menanyakan kembali bagaimana sebaiknya agar kulit qurban itu bisa dimanfaatkan lebih baik, karena selama ini kulit qurban itu tidak didistribusikan, kita hanya membagikan dagingnya atau yang selain kulit. Dan bagaimana hukumnya apabila kulit qurban itu menjadi haknya yang berqurban, kemudian orang yang berqurban tersebut menginfakan kulit tersebut kepada DKM dan bolehkah kulit tersebut dijual dan dijadikan sebagai uang kas DKM. Sebelum dan sesudahnya kami mengucapkan banyak terima kasih.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang telah banyak disebutkan oleh para ulama dan juga didukung oleh nash-nash yang shahih, bahwa pihak yang menyembelih kambing berhak atas daging atau bagian tubuh hewan tersebut. Kalau dagingnya tentu bisa dimakan langsung setelah dimasak. Sedangkan kulitnya bisa dimanfaatkan sendiri atau juga boleh saja diinfaqkan untuk kepentingan lain.

Misalnya diinfaqkan buat masjid untuk keperluan yang kira-kira dibutuhkan. Misalnya untuk kulit jilid kitab, atau buat masjid tertentu buat bedug. Meskipun sebenarnya masalah bedug ini ada bab pembahasannya tersendiri.

Namun semua itu jangan dijadikan syarat, haruslah berangkat dari kerelaan si pengurban. Pengurus masjid yang menyelenggarakan penyembelihan hewan qurban tidak boleh mensyarati bahwa kulitnya harus diserahkan kepada mereka. Tapi pihak pemilik hewan itulah dengan berangkat dari keikhlasannya menyerahkannya kepada pihak masjid untuk digunakan demi keperluan masjid.
Wallahu a'lam bishshawab.
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Wasiat Almarhum Berbeda Dengan Ketentuan Hukum Waris, Mana Yang Harus Dimenangkan?


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Izinkan saya mengajukan pertanyaan seputar masalah wasiat dan waris.
Dalam salah satu musyawarah keluarga tentang masalah harta waris, disebutkan bahwa almarhum pernah berwasiat yang intinya telah mengatur bagaimana cara harta miliknya itu dibagikan.
Sayangnya konten wasiat itu sendiri agak berbeda dengan ketentuan dalam pembagian waris Islam. Misalnya, almarhum mewanti-wanti agar bagian anak perempuan disamakan saja dengan bagian anak laki-laki. Bahkan ada anak yang beliau tidak rela untuk diberi harta warisan.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Bukankah di dalam Al-Quran sendiri juga disebutkan tentang kewajiban menjalankan wasiat almarhum. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa wasiat merupakan perintah Allah SWT juga?
Di satu sisi ayat Al-Quran memerintahkan pembagian waris dengan aturan tertentu, tetapi di lain sisi, ayat Al-Quran juga memerintahkan kita menjalankan wasiat dari almarhum. Kalau kedua ketentuan ini bertentangan, mana yang harus kita dahulukan dan kita jalankan.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya jawaban singkatnya mudah saja, yaitu yang harus dimenangkan adalah hukum waris dan bukan wasiat. Alasannya karena ayat-ayat tentang masyruiyah wasiat itu turun lebih awal, kemudian turun ayat-ayat waris. Sehingga menurut sebagian ulama, sebagian ketentuan wasiat itu dihapus dengan ketentuan waris.

A. Hukum Waris di Masa Awal Islam : Berdasarkan Wasiat
Hukum waris dalam syariat Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu harta diserahkan kepada mereka yang dikehendaki oleh si pemilik harta.

Jadi di masa itu, siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima, semata-mata didasarkan pada selesai, suasana hati, keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya.
Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan. Allah SWT telah tetapkan kewajiban berwasiat dalam beberapa firman-Nya, antara lain :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Dengan adanya ketetapan ini, maka bisa saja seseorang yang kedudukannya bukan sebagai ahli waris dari almarhum, tetapi jadi berhak menerima harta dalam jumlah tertentu, karena namanya disebut dalam surat wasiat.

Dan hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, yaitu mungkin saja yang termasuk ahli waris malah tidak menerimanya, lantaran si pemilik harta tidak mewasiatkan bagian harta untuknya.
Dari ketentuan ini, bisa disimpulkan bahwa penetapan harta warisan dengan cara wasiat ini semata-mata didasarkan pada faktor suka atau tidak suka ( like and dislike).

Dalam kasus nyata, bisa saja seorang ayah sebelum wafat mengatur seenaknya perasaannya sendiri bagaimana cara pembagian harta sepeninggalnya. Bisa saja dia berwasiat untuk memberikan sejumlah harta tertentu kepada salah satu dari anaknya, sebagian mendapat jumlah yang lebih besar, sebagian lainnya mendapat jumlah yang lebih kecil, bahkan bisa juga ada anak yang sama sekali tidak diberikan harta.

Maka anak yang pandai mengambil hati orang tua, tentu dia akan beruntung karena bisa dipastikan akan mendapat wasiat yang lebih besar nilainya.
Sebaliknya, anak yang kurang dekat dengan orang tuanya, bahkan dibenci dan dimarahi, bisa-bisa tidak mendapatkan harta peninggalan serupiah pun.

B. Hukum Waris di Masa Penyempurnaan
Di masa penyempurnaan syariah, para ahli waris kemudian ditetapkan hak-hak mereka. Dari semula ditentukan berdasarkan wasiat, kemudian ditentukan dengan hukum waris. Wasiat kemudian tidak berlaku kalau untuk para ahli waris :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu Daud dan Ibnu Majah )

Rincian siapa saja yang menerima harta warisan dan berapa nilainya masing-masing, ditetapkan Allah SWT lewat firman-Nya yang turun kemudian, yaitu pada surat An-Nisa' dari ayat 11 hingga ayat 14.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.

Maka terjadilah apa yang sebelumnya terjadi di masa jahiliyah, yaitu :
1. Istri dan Anak Wanita Mendapat Bagian Waris
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah SAW berupa ayat-ayat tentang waris kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh).

Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbasradhiyallahuanhu berkata:
"Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.”

Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?

Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'

Padahal di masa sekarang, justru ayat-ayat waris inilah yang bisa dijadikan salah satu bentuk nyata bahwa syariat Islam sangat menyantuni kaum wanita. Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya).

Lucunya, ternyata masih saja ada kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk, yang menuduh bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris, lantaran hanya memberikan separuh dari hak kaum laki-laki.

Padahal kalau tahu bagaimana sejarahnya, justru awalnya para istri dan anak-anak wanita malah sama sekali tidak berhak atas harta waris. Sedangkan dalam syariat yang disempurnakan itu, anak perempuan bisa saja mendapat ½ bagian alias 50% dari seluruh total harta orang tuanya. Dan seorang istri berhak menerima sampai ¼ bagian atau 25%, bila almarhum tidak punya anak atau keturunan yang menerima harta waris.

2. Anak Kecil Mendapat Warisan
Sebelumnya di masa jahiliyah, anak laki-laki memang mendapat warisan, tetapi hanya terbatas anak laki-laki yang sudah dewasa saja yang berhak, sedangkan bila anak laki-laki itu masih kecil, mereka tetap tidak mendapat harta warisan.

Sebagian lagi menetapkan bahwa hanya anak pertama saja yang menerima warisan dari ayahnya. Anak kedua, ketiga dan seterusnya, semua tidak mendapatkan harta warisan.
Cara ini mirim dengan sistem kerajaan atau monarki, dimana yang menjadi calon raja atau putera mahkota adalah anak pertama raja, dan harus yang berjenis kelamin laki-laki.

Dan karena sudah mengakar dan membudaya sejak masa nenek moyang mereka, tidak terlalu mudah buat bangsa Arab untuk menerima ketentuan ini begitu saja.

Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah :
'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?

Namun para shahabat yang punya standar keimanan tinggi dan berkualitas tentu tidak demikian. Mereka tentu tidak lagi meributkan urusan.
Maka ketika Allah SWT berkehendak bahwa semua anak almarhum, pasti mendapat warisan, mereka terima dengan berbahagia tanpa sedikitpun protes atau tidak terima.

Maka demikian ditetapkan bahwa semua anak almarhum, baik yang sudah dewasa atau pun yang masih kanak-kanak, bahkan bayi yang baru saja lahir dari perut ibunya, semua pasti mendapat harta warisan dari almarhum ayah dan ibu mereka.

3. Apakah Ayat Wasiat Dihapus?
Terakhir sebelum kita tutup bab ini, ada satu kajian penting yang agak menyerempet pada masalah ushul fiqih, yaitu pertanyaan kecil tapi penting : Apakah dengan hukum yang disempurnakan ini, berarti ayat-ayat tentang wasiat dihapus atau dinasakh?

Dalam hal ini para ulama ushul berbeda pendapat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan atau dinasakh keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala.[1] Namun sebagian ulama lainnya tidak menyebut sebagai naskh, melainkan takhshih.

Dalam hal ini secara kajian ushul fiqih, berkembang tiga pendapat :
a. Ayat Wasiat Dinasakh Dengan Hadits
Pendapat pertama adalah pandangan mazhab Al-Hanafiyah. Mereka memandang bahwa ayat wasiat meski teksnya masih ada di dalam Al-Quran, namun esensi hukumnya dihapus dengan hadits.
Ayat wasiat itu adalah :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Ayat ini menurut pendapat pertama, dihapus hukumnya dengan adanya hadits berikut :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu Daud dan Ibnu Majah )

b. Ayat Wasiat Dinasakh Dengan Al-Quran
Pendapat kedua adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan juga mazhab Al-Malikiyah. Mereka menyebutkan bahwa ayat wasiat di atas tidak dinasakh oleh hadits, karena mereka berpendirian bahwa hadits tidak bisa menasakh ayat Al-Quran. Oleh karena itu, menurut mereka ayat wasiat itu dinasakh dengan sesama ayat Al-Quran juga, yaitu ayat tentang waris yang terdiri dari beberapa ayat, di antaranya :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

c. Ayat Wasiat Ditakhshish Dengan Ayat Quran dan Hadits
Pendapat ketiga adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah, juga Adh-Dhahhak, Thawus, Al-Hasan dan para mufassirin seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al-Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya.
Mereka menyebutkan bahwa ayat wasiat tetap berlaku dan tidak pernah dinasakh. Namun karena ada ayat lain tentang waris, maka ada pengkhususan hukum, dengan adanya ayat Al-Quran dan juga hadits-hadits. Istilah yang banyak digunakan adalah takhishshish (تخصيص).

Maksudnya, ayat wasiat itu masih berlaku, namun kalau menyangkut ahli waris, maka untuk ahli waris tidak berlaku hukum wasiat. Sedangkan yang bukan ahli waris, hukum wasiat tetap berlaku.
Lalu adakah dampak perbedaan hukum antara ayat itu dinasakh dengan ditakhshih?
Jawabnya ada. Dampaknya adalah apabila seorang ahli waris terhijab, atau terharamkan dari menerima waris, maka dia masih berhak menerima harta lewat jalur wasiat.

Contoh kasus hijab adalah seorang cucu yang terhijab oleh anak, maka cucu bisa mendapatkan harta bila sang kakek semasa hidupnya memberikan harta lewat jalur wasiat.
Sedangkan contoh kasus terharamkan, misalnya anak yang murtad dan keluar dari agama Islam, seharusnya tidak menerima harta warisan, karena orang kafir tidak menerima harta warisan dari orang Islam.
Tetapi karena sang pewaris memberikan harta lewat jalur wasiat, maka anak yang kafir itu bisa menerima harta.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/



[1] Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, jilid 1 hal. 453


Kerja di Bank Ribawi, Haruskah Saya Berhenti?


Bapak Ustadz yth.
Bagaimana hukumnya sebagai pegawai perbankan konvensional yang telah saya geluti selama +/- 10 tahun dan saya sangat tergantung dengan penghasilan di sini untuk nafkah keluarga. Saya bekerja pada bidang transfer dan pembayaran (payment point), tidak berhubungan dengan dana dan kredit (riba). Mohon petunjuk lebih lanjut
Wassalam,


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah riba pada bank konvensional sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:
Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.`(HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.

Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagaisarana yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.

Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang non muslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada di antaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan dan sebagainya. Bahkan boleh dibilang sebenarnya tidak terlalu banyaktransaksiyang termasuk haram.

Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan kepada Allah beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya.
Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan. (HR Bukhari)

Selain itu para fuqaha sering mengenalkan kita istilah darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan Anda menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT:
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.`(QS Al-Baqarah: 173)

Dalil ini memberikan syarat darurat untuk membolehkan seseorang memakan harta yang haram. Dan hal darurat itu harus disesuaikan dengan kadarnya.
Bila Anda punya kesempatan besar untuk mendapatkan job lain yang lebih bersih dan halal, tentu sebaiknya anda segera pindah. Namun bila anda tidak terlalu mudah untuk mendapatkan job lain, janganlah berhenti dulu. Sebab anak istri anda di rumah wajib diberikan nafkah oleh kepala keluarga. Kalau anda berhenti kerja begitu saja, sambil mengabaikan nafkah anak istri, tentu anda jauh lebih berdosa. Jadi sementara ini tetaplah dulu bekerja di sana, sambil mencari dan menunggu kesempatan untuk berhenti.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Beberapa Hukum dalam Ibadah Haji


Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya memiliki beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana jika sedang mengelilingi Ka'bah tiba-tiba bersentuhan dengan yang bukan muhrim, apakah sah atau tidak?
2. Bagaimana jika sedang ibadah haji tiba-tiba haid? Apakah harus mengulangi?
3. Bagaimana jika sedang ibadah haji tiba-tiba sakit?
4. Bagaimana jika kita sedang berjalan dari shafa ke Marwa tiba-tiba jatuh pingsan?
Demikian pertanyaan saya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Sentuhan kulit antara laki dan wanita terkait dengan masalah batal wudhu' atau tidak, adalah masalah khilaf di kalangan para ulama. Meski mereka berdalil pada nash yang sama.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS Al-Maidah: 6)

Sebagian ulama memaknai lafadz au laamastumunnisaa' pada ayat di atas dengan penafsiran zahir dan hakiki, sehingga sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram bagi mereka dianggap penyebab batalnya wudhu'.

Namun sebagian ulama yang lain menggunakan pemahaman maknawi. Kata menyentuh dalam ayat ini bukan sentuhan kulit melainkan bentuk penghalusan dari jima' (setubuh).
Ulama lain membedakan antara yang menyentuh dengan yang disentuh. Yang menyentuh batal wudhu'nya sedangkan yang disentuh tidak batal. Dan sekian perbedaan lainnya yang semua merupakan ijtihad.

Mereka yang berpaham batal wudhu' karena sentuhan kulit ada yang sementara 'pindah mazhab', kalau berhadapan dengan situasi sulit seperti saat tawaf yang berdesakan. Adapula yang tetap berprinsip demikian, namun agar terhindar mereka menggunakan pakaian yang sangat menutup aurat dengan berlapis.

Sedang Haji Tiba-tiba Haidh
Semua ritual ibadah haji tidak ada satu pun yang mensyaratkan suci dari hadats, kecuali tawaf dan sa'i saja. Sedangkan wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah atau melontar jamarat di Mina dan ibadah lainnya, tidak mensyaratkan suci dari hadats kecil atau hadats besar. Jadi tidak ada masalah dengan semua itu, kecuali tawaf ifadhah.
Dan hal ini bisa diantisipasi lewat obat-obatan penunda haidh yang hukumnya telah dibolehkan oleh para ulama salaf dan khalaf.
Di masa lalu, Aisyah ra pernah mengalami hal tersebut dan mungkin belum ada antisipasinya. Sehingga oleh Rasulullah SAW beliau diminta untuk menunggu di Makkah hingga usai haidhnya.

Pingsan Waktu Sa'i
Bila seseorang sedang menjalankan ibadah sa'i lalu pingsan, maka wudhu'nya batal. Untuk itu dia harus mengambil wudhu' lagi. Namun tidak harus mengulangi sejak awal, cukup meneruskan dari posisi terakhir dia pingsan (batal wuhu').

Hal yang sama juga berlaku waktu tawaf di sekeliling Ka'bah. Bila batal wudhu, baik karena kentut atau pingsan dan lainnya, maka begitu selesai berwudhu' kembali, tidak perlu diulang dari awal. Cukup diteruskan dari posis terakhir saat batal wudhu'.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/



Kamis, 12 Februari 2015

Bolehkah Akhawat Ikut Demonstrasi?

Assalamualaikum Wr.Wb
Bagaimana dengan akhwat, mana yang lebih syar'i ikut demo/aksi atau diam saja di rumah atau kuliah mengingat aksi di jalan otomatis akan menjadi tontonan orang banyak sementara wanita lebih banyak auratnya dari laki-laki. Memang kalau kita lihat dari sejarah isteri rasul sendiri ada yang ikut berperang, apakah ini bisa dijadikan alasan?
Wassalamualaikum Wr Wb


Jawaban :

Lepas dari hukum demonya, namun keluarnya para wanita keluar rumah dan tampil di publik diatur oleh Islam batas-batasnya. Semua itu tidak lain demi menjaga kehormatan dan martabat para wanita Islam yang mulia dan terhormat.

Kalau pun memang diperlukan untuk keluar rumah dan berdemosntrasi di ruang publik, maka hendaklah para wanita memperhatikan hal-hal berikut ini.

1. Menutup Aurat Secara Sempurna
Sebab menutup aurat itu hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh. Sedangkan aurat muslimah yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Dalam kondisi sekarang di mana tidak ada lagi larangan menutup aurat/memakai jilbab di kantor-kantor atau kampus maka tidak ada darurat untuk membuka aurat.
Jangan sampai demo yang membela Islam itu dilakukan dengan cara yang melanggar aturan Islam sendiri.

2. Tidak Bercampur Baur
Misalnya tidak boleh sampai terjadi ikhtilath, yaitu berbaurnya kelompok lelaki dan perempuan.Sebagaimana wanita dibolehkan keluar rumah pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dengan laki-laki. Namun di dalam masjid barisan mereka dipisahkan. Tidak boleh laki-laki dan wanita berada di dalam shaff yang sama.
Maka demikian pula dalam aktifitas lainnya. Kelompok wanita jangan dicampur-baurkan dengan kelompok laki-laki. Biarkan mereka berada terpisah agak jauh dari laki-laki. Demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan agamanya kepada kita.

3. Adanya Izin dari Orang Tua/ Suami
Para wanita tidak dihalalkan keluar rumah kecuali atas seizin ayahnya sebagai wali. Atau bila sudah bersuami, harus dengan seizin suami. Jangan sampai aktifitas demo yang jdulnya untuk menegakkan Islam, tetapi para wanita yang ikut demo keluar rumah tanpa izin dari orang tua atau suaminya. Tentu saja hal ini malah terbalik dan justru melecehkan adab Islam.

4. Tugas dan Amanah Utama Jangan Sampai Terlantar
Para wanita biasanya punya tugas dan amanah utama. Buat para istri misalnya, tuga utama mereka adalah mendampingi dan mengasuh anak. Tugas ini sangat mulia dan sangat manusiawi. Namun seringkali dianggap sebagai tugas pembantu.
Padahal mendampingi anak-anak menjalani masa pertumbuhan dan pendidikannya adalah tugas kelas tinggi. Hanya profesor dan ahli pendidikan saja yang mampu melakukannya. Sebab di masa anak masih kecil itulah sesungguhnya karakternya sedang dibentuk.

Akan menjadi pemandangan mengharukan bila ibu-ibu asyik berdemo di jalanan, sementara anak-anak mereka terlantar ditinggal bersama pembantu.
Apalagi bila sampai menelantarkan suami di rumah. Bukankah kewajiban mereka salah satunya adalah melayani suami? Bagaimana mungkin mereka mengejar hal yang sunnah tetapi meninggalkan yang wajib?

Dalam kondisi normal, yang seharusnya tampil didepan umum yang terdiri dari kaum lelaki. Namun dalamkondisi khusus danm tertentu serta sesekali, dimungkinkan adanya peran serta langsung para wanita.Dalam skala umum di mana peran mereka secara langsung memang hanya bisa dilakukan hanya oleh para wanita yang bersangkutan, ia boleh tampil di depan umum untuk menyampaikan da‘wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan Islam.

Akan tetapi kondisi ini tidak perlu terjadi tiap hari. Cukup sesekali saja. Sebab semakin sering wanita keluar rumah dan tampil di muka umum, apalagi dalam bentuk demonstrasi, biasanya akan selalu timbul berbagai ekses dan fitnah sebagai efek. Dan semakin besar kemungkinan terjadinya pandangan yang diharamkan, juga masalah tabarruj yang tidak lagi terkontrol dan lainnya.

Karena itu bila tidak terlalu penting dan tidak terlalu signifikan, sebaiknya jangan mengajak para wanita turun ke jalan untuk berdemo. Biarlah tugas berat seperti itu dilakukan oleh para lelaki yang secara fitrah memang lebih cocok.
Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Mungkinkah Ikhwan, Hizbuttahrir dan Salafi Bergabung?


Assalamu 'alaikum wr wb.
Ustadz, ana adalah salah satu aktivis LDK salah satu kampus di Bogor. Ana seringkali berinteraksi dengan harakah dakwah lainnya yang masing-masing sebenarnya punya tujuan yang sama tapi berbeda dalam bermanhaj
Yang ana ingin tanyakan, bisakah suatu saat nanti harakah-harakah tersebut bergabung menjadi jama'atul muslimin bukan lagi minal muslimin? Bukankah itu lebih baik tujuan yang sama itu lebih cepat terwujud.
Apakah ada upaya-upaya dari para qiyadah jama'ah tersebut untuk menyatukan langkah dan tidak saling mencari kesalahan?
Jazakallah


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Kalau pertanyaannya mungkin apa tidak, rasanya sih mungkin-mungkin saja. Apa sih yang tidak mungkin kalau Allah SWT sudah menghendaki.
Adanya kelompok semacam ikhwan, HT, salafi dan lainnya hanya sekedar sebuah ijtihad. 100 tahun yang lalu semuanya tidak pernah ada. Bagaimana mau ada, lha wong para pendirinya saja belum lahir?
Jadi kelompok-kelompok itu sebelumnya tidak pernah ada, dan sangat mungkin suatu hari nanti semuanya akan musnah hilang dari lembar sejarah.

Apalagi umat ini setiap saat berganti generasi, setiap dekade punya pahlawannya sendiri-sendiri. Selama sejarah panjang 1400 tahun, kita sudah memiliki ribuan pergerakan, bahkan kita pernah punya ratusan daulah Islamiyah.

Yang besar-besar saja, yaitu khilafah Islamiyah, kita pernah punya sampai empat kali. Khilafah Rasyidah selama 30-an tahun. Lalu khilafah Bani Umayyah di Damaskus selama kurang lebih 90-an tahun. Lalu khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad, yang berkuasa ratusan tahun lamanya. Hingga terakhir kita punya khilafah Turki Ustamni yang mengakhirikejayaannya di tahun 1924 kemarin.

Ikhwan, salafi, HT dan sejenisnya sebenarnya mewakili pergerakan umat Islam di abad 20, yaitu setelah bubarnya khilafah terakhir. Berbagai harakah ini sebenarnya boleh dibilang semacam alternatif dari kekosongan khilafah dan kemunduran umat. Apalagi saat itu adalah masa kolonilisme dan imperialisme barat atas umat Islam.

Ada banyak prestasi yang sudah diraih selama abad 20, ada banyak peta yang berubah, dan ada begitu banyak kemunduran yang pernah ditelan.
Nah, bukan tidak mungkin di abad 21 ini, peta pergerakan berubah lagi. Boleh jadi nama-nama pergerakan di abad 20 akan hilang dan musnah. Kemudianberganti dengan pergerakan lainnya lagi. Atau bisa saja tetap ada dan masih berjaya terus. Dan bisa jadi pula khilafah Islamiyah yang pernah hilang selama 100-an tahun itu muncul lagi. Kita tidak pernah tahu. Karena semua itu rahasia Allah SWT.

Kalau anda tertarik untuk banyak menelaah masalah seperti ini, kami sarankan anda membaca sebuah karya menarik. Dalam kitabnya, Al-Muslimun baina Qarnain, (umat Islam di dua abad terakhir), Dr. Yusuf Al-Qaradawi banyak bercerita tentang hal ini. Selain segudang prestasi, umat Islam juga mengalami berbagai macam kemunduran.

Benturan Ikhwan, Salafi dan HT
Secara aqidah, ketiga kelompok ini sama-sama ahlussunnah wal jamaah. Bahkan para petingginya saling berhubungan erat. Kalau ada perbedaan, sebenarnya masalah teknis bekerja di lapangan.
Kalau HT lebih senang memulai dari membangun khilafah, ikhwan lebih suka mulai dari pembinaan pribadi hingga akhirnya baru khilafah. Sedangkan Salafi mungkin lebih sering bicara masalah pemurnian aqidah dan memberantas bid'ah.

Tetapi ketiganya sama-sama memakai Al-Quran yang sama, hadits yang sama, dan bernabi kepada nabi yang sama. Nyaris tidak ada perbedaan mendasar dari ketiganya.
Kalau ada kesan satu sama lain saling berbeda, sebenarnya hanya fenomena di level akar rumput. Boleh jadi masing-masing pendukung 'kesebelasan' terlibat baku hina, baku caci dan baku ejek. Memang perlu disayangkan, sebab seharusnya sikap-sikap tidak dewasa seperti itu tidak perlu terjadi. Selain haram hukumnya, yang malu kita-kita juga kalau ditertawakan oleh barisan orang kafir.
Tetapi apa mau dikata, begitulah barangkali ciri-ciri suporter sebuah kesebelasan. Bisanya hanya saling mencaci dan menabuh genderang. Kalau disuruh main bola yang sesungguhnya, belum tentu bisa.

Logika sederhananya, kalau mau akur dan rukun, ada dua jalur yang perlu dipikirkan.
Pertama, jalur kesadaran dari masing-masing elit kelompok. Para petinggi masing-masing kelompok perlu sering-sering bertemu danduduk bersama. Semua pihak harus sadar bahwa di level akar rumput memang sudah terjadi hal-hal yang kurang baik. Adalah merupakan tanggung-jawab masing-masing elit kelompok itu untuk meredam, menahan diri dan menertibkan pada pengikutnya.

Kedua, barangkali kesadaran dari elitnya belum muncul, kita bisa berharap dari akar rumput masing-masing. Penyadaran untuk saling akur dan rukun tidak selamanya harus top down, bisa saja bersifat bottom-up. Dari bawah ke atas.

Untuk itu memang perlu sosialisasi tentang kesadaran kerukunan dan berukhuwah, mengurangi perbedaan pandangan yang mengarah kepada perpecahan, bahkan perlu kajian dan analisa tentang dampak negatif dari munculnya keributan antara kelompok.

Kita mungkin belum mampu untuk mengatakan kepada masing-masing kelompok untuk masing-masing membubarkan diri lalu bersatu dalam satu wadah bersama. Tetapi setidaknya kita bisa berharap bahwa masing-masing tetap berjalan beriringan, saling bela, saling hormat, saling sayang, saling melengkapi dan saling bersikap husnudzdzan.

Mungkin tidak ada salahnya, masing-masing kelompok diajak untuk membahas dna merenungi ayat-ayat berikut ini:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. AlHujurat: 8)

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. AlHujurat: 9)

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.(QS. AlHujurat: 10)

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.(QS. AlHujurat: 11)

Semoga Allah SWT menyatukan hati-hati umat Islam dan menghangatkan kemesraan dalam memperjuangkan agama-Nya. Amien
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru