Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Jumat, 13 Februari 2015

Wasiat Almarhum Berbeda Dengan Ketentuan Hukum Waris, Mana Yang Harus Dimenangkan?


Assalamu 'alaikum wr. wb.
Izinkan saya mengajukan pertanyaan seputar masalah wasiat dan waris.
Dalam salah satu musyawarah keluarga tentang masalah harta waris, disebutkan bahwa almarhum pernah berwasiat yang intinya telah mengatur bagaimana cara harta miliknya itu dibagikan.
Sayangnya konten wasiat itu sendiri agak berbeda dengan ketentuan dalam pembagian waris Islam. Misalnya, almarhum mewanti-wanti agar bagian anak perempuan disamakan saja dengan bagian anak laki-laki. Bahkan ada anak yang beliau tidak rela untuk diberi harta warisan.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Bukankah di dalam Al-Quran sendiri juga disebutkan tentang kewajiban menjalankan wasiat almarhum. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa wasiat merupakan perintah Allah SWT juga?
Di satu sisi ayat Al-Quran memerintahkan pembagian waris dengan aturan tertentu, tetapi di lain sisi, ayat Al-Quran juga memerintahkan kita menjalankan wasiat dari almarhum. Kalau kedua ketentuan ini bertentangan, mana yang harus kita dahulukan dan kita jalankan.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya jawaban singkatnya mudah saja, yaitu yang harus dimenangkan adalah hukum waris dan bukan wasiat. Alasannya karena ayat-ayat tentang masyruiyah wasiat itu turun lebih awal, kemudian turun ayat-ayat waris. Sehingga menurut sebagian ulama, sebagian ketentuan wasiat itu dihapus dengan ketentuan waris.

A. Hukum Waris di Masa Awal Islam : Berdasarkan Wasiat
Hukum waris dalam syariat Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih dahulu adalah hukum wasiat, yaitu harta diserahkan kepada mereka yang dikehendaki oleh si pemilik harta.

Jadi di masa itu, siapa yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima, semata-mata didasarkan pada selesai, suasana hati, keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya.
Berwasiat atau menetapkan siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan kewajiban yang ditetapkan. Allah SWT telah tetapkan kewajiban berwasiat dalam beberapa firman-Nya, antara lain :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Dengan adanya ketetapan ini, maka bisa saja seseorang yang kedudukannya bukan sebagai ahli waris dari almarhum, tetapi jadi berhak menerima harta dalam jumlah tertentu, karena namanya disebut dalam surat wasiat.

Dan hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, yaitu mungkin saja yang termasuk ahli waris malah tidak menerimanya, lantaran si pemilik harta tidak mewasiatkan bagian harta untuknya.
Dari ketentuan ini, bisa disimpulkan bahwa penetapan harta warisan dengan cara wasiat ini semata-mata didasarkan pada faktor suka atau tidak suka ( like and dislike).

Dalam kasus nyata, bisa saja seorang ayah sebelum wafat mengatur seenaknya perasaannya sendiri bagaimana cara pembagian harta sepeninggalnya. Bisa saja dia berwasiat untuk memberikan sejumlah harta tertentu kepada salah satu dari anaknya, sebagian mendapat jumlah yang lebih besar, sebagian lainnya mendapat jumlah yang lebih kecil, bahkan bisa juga ada anak yang sama sekali tidak diberikan harta.

Maka anak yang pandai mengambil hati orang tua, tentu dia akan beruntung karena bisa dipastikan akan mendapat wasiat yang lebih besar nilainya.
Sebaliknya, anak yang kurang dekat dengan orang tuanya, bahkan dibenci dan dimarahi, bisa-bisa tidak mendapatkan harta peninggalan serupiah pun.

B. Hukum Waris di Masa Penyempurnaan
Di masa penyempurnaan syariah, para ahli waris kemudian ditetapkan hak-hak mereka. Dari semula ditentukan berdasarkan wasiat, kemudian ditentukan dengan hukum waris. Wasiat kemudian tidak berlaku kalau untuk para ahli waris :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu Daud dan Ibnu Majah )

Rincian siapa saja yang menerima harta warisan dan berapa nilainya masing-masing, ditetapkan Allah SWT lewat firman-Nya yang turun kemudian, yaitu pada surat An-Nisa' dari ayat 11 hingga ayat 14.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

Ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.

Maka terjadilah apa yang sebelumnya terjadi di masa jahiliyah, yaitu :
1. Istri dan Anak Wanita Mendapat Bagian Waris
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah SAW berupa ayat-ayat tentang waris kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh).

Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbasradhiyallahuanhu berkata:
"Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut.”

Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?

Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'

Padahal di masa sekarang, justru ayat-ayat waris inilah yang bisa dijadikan salah satu bentuk nyata bahwa syariat Islam sangat menyantuni kaum wanita. Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya).

Lucunya, ternyata masih saja ada kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk, yang menuduh bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris, lantaran hanya memberikan separuh dari hak kaum laki-laki.

Padahal kalau tahu bagaimana sejarahnya, justru awalnya para istri dan anak-anak wanita malah sama sekali tidak berhak atas harta waris. Sedangkan dalam syariat yang disempurnakan itu, anak perempuan bisa saja mendapat ½ bagian alias 50% dari seluruh total harta orang tuanya. Dan seorang istri berhak menerima sampai ¼ bagian atau 25%, bila almarhum tidak punya anak atau keturunan yang menerima harta waris.

2. Anak Kecil Mendapat Warisan
Sebelumnya di masa jahiliyah, anak laki-laki memang mendapat warisan, tetapi hanya terbatas anak laki-laki yang sudah dewasa saja yang berhak, sedangkan bila anak laki-laki itu masih kecil, mereka tetap tidak mendapat harta warisan.

Sebagian lagi menetapkan bahwa hanya anak pertama saja yang menerima warisan dari ayahnya. Anak kedua, ketiga dan seterusnya, semua tidak mendapatkan harta warisan.
Cara ini mirim dengan sistem kerajaan atau monarki, dimana yang menjadi calon raja atau putera mahkota adalah anak pertama raja, dan harus yang berjenis kelamin laki-laki.

Dan karena sudah mengakar dan membudaya sejak masa nenek moyang mereka, tidak terlalu mudah buat bangsa Arab untuk menerima ketentuan ini begitu saja.

Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah :
'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?

Namun para shahabat yang punya standar keimanan tinggi dan berkualitas tentu tidak demikian. Mereka tentu tidak lagi meributkan urusan.
Maka ketika Allah SWT berkehendak bahwa semua anak almarhum, pasti mendapat warisan, mereka terima dengan berbahagia tanpa sedikitpun protes atau tidak terima.

Maka demikian ditetapkan bahwa semua anak almarhum, baik yang sudah dewasa atau pun yang masih kanak-kanak, bahkan bayi yang baru saja lahir dari perut ibunya, semua pasti mendapat harta warisan dari almarhum ayah dan ibu mereka.

3. Apakah Ayat Wasiat Dihapus?
Terakhir sebelum kita tutup bab ini, ada satu kajian penting yang agak menyerempet pada masalah ushul fiqih, yaitu pertanyaan kecil tapi penting : Apakah dengan hukum yang disempurnakan ini, berarti ayat-ayat tentang wasiat dihapus atau dinasakh?

Dalam hal ini para ulama ushul berbeda pendapat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan wasiat ini kemudian dihapuskan atau dinasakh keberlakuannya, meski lafadznya tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala.[1] Namun sebagian ulama lainnya tidak menyebut sebagai naskh, melainkan takhshih.

Dalam hal ini secara kajian ushul fiqih, berkembang tiga pendapat :
a. Ayat Wasiat Dinasakh Dengan Hadits
Pendapat pertama adalah pandangan mazhab Al-Hanafiyah. Mereka memandang bahwa ayat wasiat meski teksnya masih ada di dalam Al-Quran, namun esensi hukumnya dihapus dengan hadits.
Ayat wasiat itu adalah :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Ayat ini menurut pendapat pertama, dihapus hukumnya dengan adanya hadits berikut :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu Daud dan Ibnu Majah )

b. Ayat Wasiat Dinasakh Dengan Al-Quran
Pendapat kedua adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan juga mazhab Al-Malikiyah. Mereka menyebutkan bahwa ayat wasiat di atas tidak dinasakh oleh hadits, karena mereka berpendirian bahwa hadits tidak bisa menasakh ayat Al-Quran. Oleh karena itu, menurut mereka ayat wasiat itu dinasakh dengan sesama ayat Al-Quran juga, yaitu ayat tentang waris yang terdiri dari beberapa ayat, di antaranya :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

c. Ayat Wasiat Ditakhshish Dengan Ayat Quran dan Hadits
Pendapat ketiga adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah, juga Adh-Dhahhak, Thawus, Al-Hasan dan para mufassirin seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al-Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya.
Mereka menyebutkan bahwa ayat wasiat tetap berlaku dan tidak pernah dinasakh. Namun karena ada ayat lain tentang waris, maka ada pengkhususan hukum, dengan adanya ayat Al-Quran dan juga hadits-hadits. Istilah yang banyak digunakan adalah takhishshish (تخصيص).

Maksudnya, ayat wasiat itu masih berlaku, namun kalau menyangkut ahli waris, maka untuk ahli waris tidak berlaku hukum wasiat. Sedangkan yang bukan ahli waris, hukum wasiat tetap berlaku.
Lalu adakah dampak perbedaan hukum antara ayat itu dinasakh dengan ditakhshih?
Jawabnya ada. Dampaknya adalah apabila seorang ahli waris terhijab, atau terharamkan dari menerima waris, maka dia masih berhak menerima harta lewat jalur wasiat.

Contoh kasus hijab adalah seorang cucu yang terhijab oleh anak, maka cucu bisa mendapatkan harta bila sang kakek semasa hidupnya memberikan harta lewat jalur wasiat.
Sedangkan contoh kasus terharamkan, misalnya anak yang murtad dan keluar dari agama Islam, seharusnya tidak menerima harta warisan, karena orang kafir tidak menerima harta warisan dari orang Islam.
Tetapi karena sang pewaris memberikan harta lewat jalur wasiat, maka anak yang kafir itu bisa menerima harta.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/



[1] Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, jilid 1 hal. 453


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru