Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz,
Apa hukum membangun masjid yang megah yang dipenuhi dengan ornamen dan hiasan yang mahal-mahal, bahkan ada sebagian ada yang hiasannya terbuat dari emas.
Bagaimana syariat Islam memandang masalah bermegahan dalam menghias masjid?
Demikian, jazakallah atas penjelasannya
Apa hukum membangun masjid yang megah yang dipenuhi dengan ornamen dan hiasan yang mahal-mahal, bahkan ada sebagian ada yang hiasannya terbuat dari emas.
Bagaimana syariat Islam memandang masalah bermegahan dalam menghias masjid?
Demikian, jazakallah atas penjelasannya
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada dua istilah yang terkait dengan renovasi masjid yang seringkali dipahami orang secara terbolak-balik. Kedua istilah itu adalah tasy-yid al-masjid dan tazyin al-masjid. Keduanya berbeda, baik dari segi pengertian dan juga dari segi hukumnya.
Ada dua istilah yang terkait dengan renovasi masjid yang seringkali dipahami orang secara terbolak-balik. Kedua istilah itu adalah tasy-yid al-masjid dan tazyin al-masjid. Keduanya berbeda, baik dari segi pengertian dan juga dari segi hukumnya.
A. Tasy-yid Al-Masjid
1. Pengertian
Kita mengenal istilah tasy-yid al-masjid (تشييد المسجد),
yang merupakan istilah dalam bahasa Arab, berasal dari kata dasar syayyada
| yusyayyidu | tasy-yidan (شيّد - يشيّد - تشْييدا).
Pengertian istilah ini dalam bahasa Indonesia adalah membangun
ulang, merenovasi atau merekonstruksi ulang. Sehingga istilah tasy-yid
al-masjid bisa kita artikan sebagai upaya untuk memperbaiki,
merekosntruksi, atau merenovasi sebuah majis.
Merenovasi masjid bisa saja kecil-kecilan, tanpa mengubah apapun,
baik bentuk maupun struktur bangunan, kecuali hanya memastikan semua
kelengkapan masjid berfungsi dengan baik.
Tetapi merenovasi masjid juga tetapi bisa bisa bermakna lebih luas
yaitu renovasi total. Renovasi total bisa saja melakukan perubahan struktur
bangunan, penambahan luas, dan juga termasuk dalam arti merobohkan bangunan
lama dan membangun kembali dari awal. Semua termasuk dalam kategori tasy-yid
al-masjid.
2. Hukum
Seluruh ulama sepakat membolehkan tindakan merenovasi masjid,
karena renovasi masjid termasuk ke dalam bagian memakmurkan masjid. Dan
memakmurkan masjid adalah salah satu perintah Allah SWT yang telah ditetapkan
pensyariatannya di dalam Al-Quran Al-Kariem :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka
merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah : 18)
Selain ayat di ayat, dasar masyru’iyah renovasi masjid juga
berlandaskan apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab dan Utsman bin
Al-Affan radhiyallahuanhuma. Meski Rasulullah SAW tidak pernah
melakukan renovasi masjid, namun kedua shahabat beliau yang berposisi
sebagai amirul-mukminin,dalam masa pemerintahan masing-masing
melakukan renovasi.
Tentu kalau Rasullah SAW tidak merenovasi masjid, karena saat itu
belum ada alasan yang kuat dan menjadi pendorong. Sedangkan di masa kedua
khalifah, ada kebutuhan untuk memperluas bangunan, terkait dengan semakin
membeludaknya jamaah di masjid, atau juga karena kebutuhan lainnya.
B. Tazyin Al-Masjid
1. Pengertian
Secara bahasa, kata tazyin dalam bahasa Arab
adalah bentuk masdar dari kata dasar zayyana | yuzayyinu |
tazyinan (زيّن - يًزيِّن - تزْيِينا). Artinya
adalah memberi hiasan agar terlihat menjadi indah dipandang mata.
Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A’raf : 31)
Kata tazyin (تَزْيِين) adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang
bermakna :
اسْمٌ جَامِعٌ لِكُل شَيْءٍ يُتَزَيَّنُ بِهِ
Kata yang mencakup segala hal yang terkait dengan sesuatu yang
dihias
Istilah tazyinul-masjid secara bebas bisa diterjemahkan dengan
istilah menghias masjid. Namun sebagian dari para ulama memahami istilah
tazyinul-masjid ini bukan sekedar dalam makna membuat masjid yang indah atau
sekedar menghiasnya, tetapi sudah sampai kepada titik berlebih-lebihan dalam
menghiasnya.
2. Hukum
Masalah menghias masjid memang diperselisihkan para ulama di masa
lalu. Namun perselisihan mereka berangkat dari kenyataan bahwa hiasan itu
sangat mahal, karena terbuat dari ukiran kaligrasi dan aksesorisnya yang
terbuat dari emas dan perak. Hiasan seperti itu tentu sangat mahal harganya,
bahkan untuk ukuran seorang penguasa sekalipun.
Adapun hiasan yang biasa kita lihat di masjid-masjid di sekeliling
kita ini, tidak lain hanya terbuat dari cat tembok. Indah memang, tetapi hanya
imitasi belaka, bukan emas dan perak seperti di masa lalu. Kalau hanya berupa
kaligrafi dengan cat tembok, rasanya tidak ada nash yang secara langsung
melarangnya.
Sebaliknya, bila hiasan itu sampai menghabiskan dana yang teramat
mahal, karena harus menghabiskan emas berton-ton, banyak para ulama di masa
lalu yang memakruhkannya, bahkan juga tidak sedikit yang sampai mengharamkannya.
Awalnya masalah tazyinul masjid ini tidak pernah
terangkat menjadi perbedaan pendapat, karena umumnya masjid di masa Rasulullah
SAW dan di masa para shahabat, didirikan dengan amat bersahaja dan
sederhana.
Hanya sebagiannya yang beratap, itu pun hanya berupa daun kurma.
Alasnya bukan marmer, tetapi tanah atau pasir. Tiangnya bukan beton tetapi
hanya batang-batang kurma. Dan hal itu terjadi hingga masa Al-Khulafa’
Ar-Rasyidun.
Barulah pada masa khilafah Al-Walid bin Abdil Malik, masjid-masijd
dihias dengan berlebihan, yaitu dengan ukiran kaligrafi dari emas dan perak.Dan
kalau dihitung jumlahnya, bisa mencapai ratusan kilogram bahkan sampai berton
emas dan perak. Jadi harganya memang terlalu amat sangat mahal sekali.
Realitas ini kemudian disimpulkan oleh sebagian ulama sebagai
isyarat tidak bolehnya kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah. Bahkan
oleh sebagiannya dianggap bid’ah, buang harta dan haram.
Namun masalah ini memang sejak awal termasuk masalah khilaf pada
fuqaha. Bahkan ke-empat imam mazhab utama pun tidak seragam pendapatnya.
C. Naqsy Al-Masjid
Selain itu juga ada istilah-istilah khusus yang secara lebih
sempit sering digunakan, terkait dengan istilah tazyinul-masjid, misalnya
istilah naqsy dan lainnya.
1. Pengertian : Naqsy
Istilah an-naqsy (النقش) adalah kosa kata dalam bahasa Arab, yang
maknanya membuat gambar, ukiran atau motif yang timbul.
Contoh mudah naqsy ini adalah stempel yang biasa digunakan untuk
mengesahkan surat. Karet stempel itu diukir sedemikian rupa sehingga tulisan
atau gambarnya menjadi timbul.
Stempel yang merupakan naqsy ini dimiliki oleh Rasulullah SAW
berbentuk cincin namun berfungsi untuk mengesahkan surat resmi yang beliau
kirim kepada para penguasa dunia. Cincin beliau SAW itu tidak lain adalah
stempel, bertuliskan tiga lafadz suci : Muhammad Rasul Allah
(محمّد رسول الله), maknanya adalah Muhammad utusan Allah.
Karena ketiga lafadz ini tergolong suci, maka setiap kali beliau
masuk ke WC, untuk menghormati lafadz yang suci ini, beliau SAW melepas cincin
itu terlebih dahulu.
Selain stempel Rasulullah SAW, para khalifah pengganti beliau
dalam kedudukan sebagai kepala negara pun juga memilikinya. Abu Bakar
radhiyallahuanhu memiliki stempel yang bertuliskan ni’mal qadiru Allah
(نعم القادر الله) yang bermakna Allah sebaik-baik penentu atau penguasa.
Amirul Mukminin radhiyallahuanhu juga memiliki stempel kenegaraan.
Stempel Umar bertuliskan lafadz kafa bil-mauti wa’iza
(كفى بالموت واعظا), yang maknanya cukuplah kematian itu menjadi
pengingat.
Stempel Amirul Mukminin Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu
bertuliskan lafadz : latashbiranna au latandamanna
(لتصبرنّ أو لتندمنّ). Maknanya : bersabarlah atau kamu akan rugi.
Sedangkan stempel Ali bin Abi Thalib bertuliskan lafadz : al-mulku
lillah (الملك لله ), yang maknanya : Kerajaan itu milik Allah.
2. Hukum Naqsy Masjid
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menghias masjid
dengan ukiran yang timbul, atau an-naqsy.
a. Jumhur Ulama : Makruh
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah sepakat memakruhkan tindakan ini, dengan dasar hukum bahwa
an-naqsy ini termasuk kategori bermewah-mewah dalam tingkat yang dianggap sudah
berlebihan.
Barangkali an-naqsy di masa itu selain sulit dikerjakan, juga
terbilang sangat mahal. Karena lazimnya naqsy ini adalah membuat ukiran timbul
yang terbuat dari emas atau logam-logam mulia. Sehingga tindakan seperti itu
dianggap berlebihan dan buang-buang biaya.
Sedangkan landasan nash yang mereka jadikan sebagai dasar untuk
memakruhkan adalah hadits berikut ini :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali bila orang-orang telah
bermewah-mewah dalam masjid (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah)
b. Al-Hanafiyah : Tidak Makruh
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah tidak memakruhkan tindakan nasqy
pada masjid. Dan termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Wahab dan
Ibnu Nafi’ dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, dan sebagian ulama mazhab Asy-Syafi’iyah,
apabila nasy itu sedikit saja.
3. Sebab Kemakruhan
Makruh yang ditetapkan oleh jumhur ulama ini karena setidaknya ada
dua alasan :
a. Tidak Amanah
Penyebab makruhnya naqsy pada masjid adalah karena akan
menyebabkan tersia-siakannya amal jariyah umat Islam, dari yang seharusnya
untuk membiayai hal-hal yang lebih produktif dan menempati skala prioritas
utama, menjadi sekedar untuk hal-hal yang kurang produktif dan bukan prioritas.
Sehingga akan berdampak pada kurang berlipatnya pahala orang yang menafkankan
hartanya buat masjid tersebut.
Jadi intinya menurut jumhur ulama, bahwa harta yang telah
orang-orang berikan untuk masjid, baik infaq biasa atau wakaf, tidak layak
untuk sekedar dibelanjakan buat berbagai hiasan yang megah dan mahal-mahal.
Tetapi seharusnya untuk kepentingan yang memang nyata dibutuhkan
dalam operasional masjid, yang langsung dirasakan manfaatnya oleh umat Islam.
Namun jumhur ulama tidak memakruhkan apabila dana yang digunakan
untuk itu adalah dana pribadi langsung. Misalnya seseorang memang sengaja
membangun masjid dengan dana pribadi, bukan dengan dana yang dikumpulkan dari
orang lain atau dari masyarakat, maka bila dia berkeinginan membangunnya dengan
megah, penuh dengan ukiran dan hiasan-hiasan yang mahal, hukumnya tidak menjadi
makruh.
Dan mestinya, bila orang yang mewakafkan hartanya memang tahu
persis bahwa dana yang diberikannya untuk masjid itu bertujuan sekedar untuk
membuat naqsy yang tidak terlalu produktif, dan dia rela serta tidak merasa
dirugikan, tentu tidak menjadi masalah juga.
b. Menggangu Konsentrasi
Kedua, makruhnya naqsy disini karena faktor takut akan memecah
konsentrasi jamaah yang sedang shalat. Dikhawatirkan mereka akan sibuk
memandangi dan mengagumi ukiran dan hiasan yang mewah itu, sehingga boleh jadi
malah tidak bisa fokus dalam mengerjakan shalat.
Oleh karena itu, jumhur ulama membedakan antara naqsy yang
dibuat di arah kiblat dengan yang bukan di arah kiblat.
Kemaruhannya hanyalah apabila naqsy ini dibuat di arah kiblat
jamaah shalat, seperti di mihrab imam, atau diarah dinding depan dari jamaah
shalat. Sebab meski disunnahkan dalam shalat harus menundukkan pandangan, namun
tetap saja besar kemungkinan orang-orang yang sedang shalat akan teralihkan
perhatiannya ke arah depan wajah mereka.
Sebaliknya, bila naqsy itu dibuat bukan di arah kiblat, atau dalam
kata lain, tidak sampai mengalilhkan konsentrasi orang yang sedang shalat, maka
tidak ada kemakruhan di dalamnya.
c. Menyalahi Sunnah Nabi
Pendapat yang memakruhkan naqsy ini juga punya dalil yang lain,
yaitu menghias masjid dengan gemerlap tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dan para shahabat beliau.
Masjid di masa mereka sama sekali sepi dari berbagai macam
perhiasan yang mahal dan merusak konsentrasi jamaah. Namun tidak mengurangi
nilai kemuliaan dan keutamaan masjid-masjid itu sampai sekarang ini.
Maka kalau di masa sekarang ada keinginan agar masjid itu menjadi
mulia dan punya kedudukan yang tinggi, bukan dengan jalan membuat perhiasan
yang mewah, melainkan dengan cara menjadikan masjid itu sebagai pusat aktifitas
dan kegiatan masyarakat.
Jadi bukan bangunannya yang diurus, tetapi bagaimana mengurus
sumber daya manusianya. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT :
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah : 108)
Dan juga sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, yang lebih
mengutamakan penyebutan orang yang hati nya bergelantungan atau terpaut selalu
dengan masjid. Dalam hal ini Beliau SAW sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang
arti dan nilai kemegahan suatu masjid dari sudut pandang keindahan bangunan dan
aneka ragam hiasannya.
Tetapi yang beliau sebut adalah sumber daya manusianya, yang
dikatakan terpaut dengan masjid. Rasulullah SAW bersabda :
سَبْعَةٌ يَظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّه : إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌ نَشَأَ فيِ طَاعَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالمَسَاجِدِ ...
Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada hari yang
tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang
tumbuh dengan beribadat kepada Allah dan laki-laki yang hatinya terpaut dengan
masjid. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/