Assalamu
'alaikum wr. wb.
Mohon izin bertanya ustadz, yaitu tentang hukum talak tiga dalam fiqih pernikahan.
Teman saya menyesal menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. Dan dia ingin kembali lagi tetapi tidak mungkin, karena istri harus menikah dulu dengan orang lain.
Bisa apa tidak ya kalau istri pura-pura menikah dulu dengan orang lain, tetapi campur atau tidak digauli oleh suaminya yang baru. Maksudnya biar bisa halal dinikahi oleh suaminya yang asli?
Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat Islam?
Mohon izin bertanya ustadz, yaitu tentang hukum talak tiga dalam fiqih pernikahan.
Teman saya menyesal menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. Dan dia ingin kembali lagi tetapi tidak mungkin, karena istri harus menikah dulu dengan orang lain.
Bisa apa tidak ya kalau istri pura-pura menikah dulu dengan orang lain, tetapi campur atau tidak digauli oleh suaminya yang baru. Maksudnya biar bisa halal dinikahi oleh suaminya yang asli?
Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat Islam?
Terima
kasih sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Apa yang Anda ceritakan itu
dalam ilmu fiqih disebut dengan nikah muhallil. Singkatnya, pernikahan seperti
ini termasuk salah satu bentuk pernikahan yang diharamkan.
A. Pengertian
A. Pengertian
Kata muhallil berasal dari kata hallala (حلّل) yang
maknanya menghalalkan. Muhallil adalah bentuk isim fail dari kata hallala, yang
maknanya menjadi sesuatu yang menghalalkan.
Sehingga
istilah nikah muhallil yang banyak digunakan di tengah
masyarakat adalah nikah yang tujuannya hanya sekedar untuk menghalalkan sebuah
pernikahan yang lain, dimana nikah itu sendiri hanya digunakan untuk
perantaraan saja.
Kasus
nikah muhallil ini terjadi dalam bab talak tiga atau bainunah kubra,
dimana istri yang telah ditalak untuk yang ketiga kalinya itu akan kembali
dinikahi. Sementara aturan baku dari syariat Islam mengharamkan untuk menikahi
kembali istri yang telah ditalak untuk yang ketiga kalinya.
Untuk
itu agar boleh dinikahi kembali, maka diaturlah sebuah sandiwara, dimana ada
laki-laki yang bersedia untuk menikahi wanita itu, namun perjanjiannya tidak
boleh menggaulinya, dan setelah itu diharuskan untuk menceraikannya.
Seolah-olah sudah terjadi pernikahan namun pada hakikatnya cara ini hanya
merupakan siasat, alibi dan trik untuk menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan.
B. Dalil
Dalil
yang mengharamkan untuk menikahi kembali istri yang telah ditalak untuk ketiga
kalinya adalah firman Allah SWT :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Kemudian
jika si suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (QS.
Al-Baqarah : 230)
C. Hukum
Nikah
muhallil seperti yang digambarkan di atas, yaitu yang hanya digunakan sebagai
alibi agar bisa kembali ke suami pertama, dengan sandiwara pernikahan, hukumnya
diharamkan oleh jumhur ulama.
Dasar
pengharaman mereka adalah sabda Rasulullah SAW, dimana Allah SWT dan Rasulullah
SAW, keduanya sama-sama melaknat orang yang menikah dengan cara demikian.
لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّل لَهُ
Allah
melaknat orang yang menikah muhallil. (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ الْمُحَلِّل وَالْمُحَلَّل لَهُ
Rasulullah
SAW melaknat orang yang menikahi dan dinikahi secara muhallil. (HR.
Tirmizy)
Selain
itu juga ada hadits nabawi yang menegaskan apa yang telah ditetapkan kitabullah.
إِذَا طَلَّقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ ثَلاَثاً لاَ تَحِلُّ لَهُ حَتىَّ تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ وَيَذُوْقَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عُسَيْلَةَ صَاحِبِهِ
Bila
seorang laki-laki mentalak istrinya untuk yang ketiga kalinya, maka istrinya
itu lagi tidak halal baginya hingga istrinya itu menikah dengan suami yang
baru, sehingga masing-masing merasakan usailah pasangannya. (HR).
Merasakan usailah (عسيلة)
adalah sebuah perumpamaan yang dikenal di masa Nabi SAW, yang maknanya
adalah melakukan persetubuhan dan merasakan kelezatannya.
Bila
seorang suami yang telah mentalak istrinya tiga kali berkeinginan menikah lagi
dengan istrinya, maka hukumnya sudah tidak mungkin lagi untuk selama-lamanya,
kecuali setelah menikah dulu dengan laki-laki lain. Hal itu karena sebelumnya
dia sudah pernah mentalak istrinya dua kali. Maka untuk yang ketiga kalinya,
dia dihukum untuk tidak bisa kembali lagi mengulanginya.
Ketentuan
ini ditetapkan dalam syariat Islam, setelah sebelumnya di masa lalu seorang
suami bisa mentalak dan merujuk istrinya hingga berpuluh-puluh kali, sehigga
pihak istri selalu dirugikan.
Maka
untuk adanya kepastian hukum, syariat Islam memberi batasan tentang talak yang
masih bisa dirujuk yaitu hanya dua kali saja. Bila setelah itu ditalak lagi,
maka setelah itu suaminya tidak boleh lagi menikahinya, untuk selama-lamanya.
Dasar
bahwa batasan talak yang bisa dirujuk itu hanya untuk dua kali saja adalah
firman Allah SWT :
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak
dua kali yang boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf, atau menceraikan dengan
cara yang baik. (QS. Al-Baqarah : 229)
D.
Ketentuan Yang Menghalalkan
Agar
bisa kembali lagi, Allah SWT memberikan ketentuan yang cukup berat dan nyaris
hampir mustahil, walau pun bukan berarti tidak mungkin.
Ketentuan
untuk bisa kembali lagi bagi suami yang telah menceraikan istrinya untuk yang
ketiga kali adalah berdasarkan firman Allah SWT :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Kemudian
jika si suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (QS.
Al-Baqarah : 230)
Untuk
itu para ulama telah menetapkan bahwa hal itu bisa saja terjadi asalkan
terpenuhi syarat-syaratnya, antara lain :
1. Istri
Menikah
Yang
Allah SWT haruskan menikah adalah pihak istri, dan tentunya bukan pihak suami.
Suami tidak perlu menikah terlebih dahulu, karena tidak harus cerai pun seorang
laki-laki dihalalkan menikah dengan wanita lain, bahkan sampai empat istri
sekaligus.
2.
Pernikahan Harus Sah
Penikahan
itu tidak boleh merupakan hanya sebuah dagelan atau sandiwara, dimana suami dan
istri seolah-olah duduk bersanding di pelaminan, tetapi pada hakikatnya meeka
tidak merasa menjadi suami istri.
Untuk
itu maka pernikahan ini harus memenuhi semua persyaratan dan rukun nikah, antara
lain harus adanya wali yang sah, yaitu ayah kandung dari istri. Juga harus ada
ijab kabul antara ayah kandung yang menjadi wali dengan suami baru itu dengan
akad yang diterima secara syariah Islam.
Dan
tentu saja ada syarat pernikahan itu harus disaksikan oleh sejumlah umat Islam,
yang memenuhi syarat, yaitu muslim, akil, baligh, laki-laki, dan adil.
Setidak-tidaknya minimal ada dua orang yang menjadi saksinya.
Dan
tentunya harus ada mahar atau maskawin sebagai syarat menurut sebagian ulama,
atau menjadi rukun bagi ulama yang lain.
3. Suami
Barunya Harus Sudah Baligh
Dalam
syariat Islam, sebuah pernikahan atau akad nikah memang sah bila dilakukan oleh
mereka yang sudah mumayyiz tapi belum baligh.
Namun
dalam kasus ini, para ulama khususnya mazhab Al-Malikiyah mensyaratkan bahwa
yang menjadi suami baru haruslah seorang laki-laki yang sudah baligh secara
biologis.
Sedangkan
ulama dari mazhab Al-Hanabilah mensyaratkan suaminya yang baru itu minimal
berusia 12 tahun.
Hal itu
karena laki-laki yang belum baligh atau belum berusia 12 tahun belum
memungkinkan untuk melakukan jima’, sehingga tujuan utama dari pernikahan itu
tidak mungkin terjadi.
4. Niat
Untuk Menikah Selamanya
Baik
suami atau istri yang menikah itu tidak boleh di dalam hatinya berniat untuk menikah
sementara saja. Sebab menikah dengan niat talak telah diharamkan oleh banyak
ulama.
Apalagi
bila sejak awal sudah ada perjanjian atau persyaratan bahwa usia pernikahan itu
hanya akan berlangsung beberapa waktu saja, maka pernikahan yang seperti itu dianggap
tidak sah.
Kalau
pun pernikahan seperti itu nekat untuk tetap dilaksanakan juga, maka secara
hukum syariah pernikahan seperti ini tidak bisa menghalalkan si istri untuk
kembali kepada suami yang sebelumnya.
5.
Melakukan Hubungan Seksual
Yang
dimaksud dengan menikah ini bukan sekedar akad atau jijab kabul saja, melainkan
mereka harus melakukan hubungan suami istri secara sah. Maksudnya, bukan
sekedar bercumbu atau melakukan mula’abah, namun para ulama mensyaratkan harus
terjadi masuknya kemaluan suami ke dalam kemaluan istri hingga lenyap hasyafah
(ujung kemaluan).
Jumhur
ulama sepakat bila suami istri itu melakukan jima’ yang tidak sampai masuknya
kemaluan suami ke dalam kemaluan istri, maka belum dianggap jima’. Misalnya
suami memasukkan kemaluannya ke dalam dubur istrinya, selain haram juga tidak
dianggap sebagai jima’.
Hal itu
karena Rasulullah SAW berkata kepada istri Rifa’ah yang ingin kembali
kepadanya, padahal telah ditalak tiga kali oleh suaminya.
أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ ؟ لاَ حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
Apakah
kamu mau kembali kepada Rifaah? Tidak boleh, sehingga kamu merasakan usailah
suami barumu dan suami barumu itu merasakan usailah dirimu. (HR.
Bukhari)
Di atas
tadi sudah disebutkan tentang makna usailah, yaitu secara fisik terjadi
masuknya kemaluan suami ke dalam kemaluan istrinya.
Jima’
atau hubungan seksual ini harus terjadi. Bila suami istri itu tidak
melakukannya, lalu mereka bercerai, maka pernikahan itu tidak membolehkan istri
kembali kepada suaminya yang sebelumnya.
Kalau
dari pernikahan itu sampai terjadi kehamilan, maka haram hukumnya untuk
digugurkan, karena menggugurkan kandungan itu memang telah diharamkan Allah SWT.
Haruskah
sampai keluar mani?
Meski
jumhur ulama tidak mensyaratkannya, namun Al-Hasan Al-Bashri malah mensyaratkan
harus sampai keluar mani. Sehingga bila jima’ itu terjadi hingga masuk, tetapi
suami tidak sampai mengeluarkan maninya di dalam rahim istrinya itu, maka jima’
itu dianggap tidak pernah terjadi. Dan belum menghalalkan istri itu bila
diceraikan untuk kembali kepada suaminya yang sebelumnya.
Pendapat
yang menyendiri
Pendapat
yang menyendiri ada juga, yaitu Said bin Al-Musayyib. Beliau berpendirian
sesuai dengan lafadz zahir dari ayat Quran, yaitu cukup sekedar terjadi
pernikahan, dan tidak harus sampai terjadi hubungan suami istri. Pendapat
beliau ini tidak diterima oleh mayoritas ulama, karena bertentangan dengan
sunnah nabawiyah yang shahih. Karena Al-Quran tidak berdiri sendiri, namun
dikuatkan dengan sunnah. Dan mengingkari sunnah hukumnya sama dengan
mengingkari Al-Quran.
6. Jima’
Yang Halal
Syarat
jima’ yang halal ini dikemukakan oleh mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah.
Maksud jima’ yang halal adalah jima’ yang tidak dilarang untuk dikerjakan,
misalnya di saat suci dari haidh.
Bila
seorang suami menyetubuhi istrinya pada saat haidh, maka persetubuhan itu
adalah persetubuhan yang dilarang dalam syariat Islam, berdasarkan firman Allah
SWT :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
Maka
dalam pandangan kedua mazhab di atas, bila persetubuhan dilakukan di masa
haidh, hukumnya belum dianggap sah, dan bila wanita itu diceraikan, belum sah
untuk kembali kepada suaminya yang sebelumnya.
Demikian
juga bila persetubuhan itu dilakukan pada siang hari di bulan Ramadhan yang
hukumnya haram dan terlarang serta mewajibkan denda kaffarah, atua pada saat
beri’tikaf di masjid, atau ketika sedang ihram di dalam ritual ibadah haji,
semua adalah termasuk jima’ yang belum memenuhi syarat.
Namun
mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan jima’ itu harus
merupakan jima’ yang halal. Sehingga bila suami menyetubuhi istrinya di saat
haidh, meskipun hal itu dilarang dan haram, namun sudah menggugurkan kewajiban
persetubuhan.
Dengan
demikian, persetubuhan itu sudah membolehkan istri bila dicerai suaminya untuk
kembali ke suaminya yang sebelumnya.
7. Masa
Iddah
Seandainya
suatu ketika tanpa direncanakan, tanpa diniatkan, juga bukan merupakan syarat
perjanjian sejak awal, pasangan itu berpisah dan terjadi perceraian, maka istri
harus menjalani dulu masa iddahnya.
Dan masa
iddah seorang wanita yang dicerai oleh suaminya adalah tiga kali masa quru’,
sebagaimana firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (QS.
Al-Baqarah: 228)
Lama
masa quru` diada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia
(isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid. “(HR.
Ibnu Majah)
Demikian
pula sabda beliau yang lain:
“Dia
menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Jadi
kalau pertanyaannya, apakah masih ada kemungkinan suami kembali lagi menikahi
istrinya yang sudah ditalak tiga?
Maka
jawabnya masih bisa, tetapi kemungkinan berhasilnya sangat kecil. Lagi pula
menikahnya mantan istri dengan laki-laki lain hingga kemudian diceraikan oleh
suaminya lalu dinikahi kembali, semua tu tidak boleh dilakukan by design,
tetapi harus alami dan murni mengalir bersama air kehidupan.
Oleh
karena itu pesan yang paling penting, jangan sampai menjatuhkan talak tiga
kepada istri. Sebab jalan itu satu arah (one way), kalau keliru tidak
bisa putar balik seenaknya.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/