Pak Ustadz yang saya
hormati,
Saya memahami bahwa haji adalah serangkaian ibadah ritual di Makkah di mana yang melakukannya harus sudah mampu, terutama mampu secara finansial.
Saya memahami bahwa haji adalah serangkaian ibadah ritual di Makkah di mana yang melakukannya harus sudah mampu, terutama mampu secara finansial.
Baru-baru ini teman saya ada yang berkata bahwa, haji bukan hanya serangkaian ibadah ritual saja, tapi ada sesuatu yang cukup besar di balik itu. Dia berkata bahwa, ada hadist yang berisi "Haji adalah arofah." Kalau dipahami secara makna harfiahnya, kata arofah berarti pertemuan. Jadi sebenarnya haji itu adalah "pertemuan" antara utusan/duta dari penjuru dunia di mana persyaratannya bukan hanya mampu secara finansial, tapi dianggap mampu mewakili komunitas/negaranya. Tentu saja orang-orang pilihan. Lalu saya tanyakan, berarti orang yang tidak cukup mampu (dalam artian untuk memenuhi kriteria sebagai duta) sebenarnya tidak perlu berhaji. Dia menjelaskan, itulah makanya ada hadist yang antara lain berisi bahwa ada ibadah atau perbuatan tertentu yang pahalanya setara dengan haji.
Menurut saya konsep ini
sungguh fantastis dan besar. Bayangan seluruh orang muslim mengikat tali
silaturahmi yang selalu diperbaharui terus setiap tahunnya mengandung kekuatan
yang sangat dahsyat. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, betulkah konsep ini menurut
Islam? Adakah dalil atau penjelasan yang memang ada landasannya.
jazakallahu atas jawabannya
ustadz.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatulahi wabarakatuh,
Pemikiran seperti yang anda
sebutkan itu memang benar, tidak ada salahnya. Tetapi kalau sampai mengatakan
bahwa orang yang tidak pantas menjadi duta tidak perlu pergi haji, tentu saja
tidak benar. Sebab syarat wajib dan syarat sah ibadah haji tidak mencantumkan
kapasitas seseorang harus bisa jadi duta.
Jangan lupa bahwa meski
kita dibolehkan menguraikan falsafah ibadah haji secara nalar dan logika
pemikiran sebagaimana teman anda itu, akan tetapi jangan sampai melanggar
aturan kongkrit yang esensial dari segi fiqihnya. Misalnya, jangan
mentang-mentang kita ingin mengatakan bahwa haji itu adalah pertemuan
international para duta dari berbagai wilayah, lalu kita kelewatan dan
menghilangkan ritual wuquf di Arafah sebagai bagian pokok ibadah haji.
Seharusnya kedua sisi falsalah dan fiqih harus sejalan dengan berlandaskan
dalil-dalil yang kuat.
Dari segi falsafahnya,
ibadah haji memang merupakan sebuah even umat Islam sedunia, besar dan terbesar
di dunia. Tidak pernah ada ritual agama di mana pun yang bisa mengumpulkan
jumlah jamaah sampai 3 jutaan manusia di satu titik di permukaan bumi.
Yang menarik lagi, ritual
seperti ini terjadi setiap tahun tanpa dikomando atau disuruh-suruh. Semua
berjalan secara otomatis tanpa ada kekuasaan atau kekuatan manusia apapun di belakangnya.
Juga tidak pernah ada kepentingan ormas, orsospol, negara atau yayasan apapun
yang berhak mengklaim bahwa ritual itu milik mereka.
Mestinya kesempatan
berkumpul dengan duta-duta umat Islam sedunia itu harus terjadi padang Arafah
itu. Paling tidak, acara wuquf itu menjadi simbol persatuan dan kesatuan umat
Islam sedunia. Pakaian mereka yang seragam itu adalah cerminan bahwa mereka
tidak mewakili negara manapun, karena pada hakikatnya semua umat Islam di mana
pun adalah satu. Bayangkan, umat Islam sedunia berkumpul di satu titik dengan
jumlah 3 juta. Menakjubkan!
Namun kalau anda pernah
ikut haji langsung dan hadir di padang Arafah yang sesungguhnya, secara teknis
memang tidak terlalu mudah ide itu diwujudkan. Sebab yang namanya duta atau
perwakilan umat Islam sedunia, tentu tidak sebanyak itu. Kalau tiga juta orang
hadir dalam waktu bersamaan, diskusinya bagaimana? Pakai bahasa apa? Lagian,
mereka tinggal di tenda-tenda yang tidak permanen.
Kenyataannya mereka malah
sibuk mengatur urusan masing-masing, ketimbang mengadakan acara diskusi
misalnya. Sebab secara teknis memang kurang memungkinkan.
Tetapi sebagai sebuah
simbol, tentu even Arafah itu memang punya daya tarik tersendiri. Kita bisa
ambil perbandingannya dengan beragam acara muktamar yang digelar ormas tertentu
di negeri kita. Di lokasi muktamar, memang ada sidang-sidang dan agenda
pembahasan sebagai sentral, tetapi yang ikut tidak semua pengunjung adalah
peserta muktamar. Dengan jumlah ribuan itu, yang ramai adalah suasana di luar
sidang. Pasar malam, tabligh akbar, pameran, temu budaya, ajang kesenian dan
lainnya biasanya lebih semarak.
Barangkali di luar acara
puncak ritual Arafah, para duta betulan yang memang secara formal benar-benar
diangkat oleh umat Islam dari sekian wilayah boleh berkumpul. Mereka adalah
para ulama, umara, ahul halli wal 'aqdi, pemikir, dosen atau minimal
orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Adapun umumnya jamaah haji yang kita
saksikan, banyak di antara mereka yang sudah tua, jompo, penyakitan dan
orang-orang lemah. Tentu bukan pada tempat kalau kita mengharuskan mereka jadi
duta.
Jangankan jadi duta,
sekedar berkomunikasi pun mereka kesulitan. Bukankah salah satu sebab tragedi
Mina tiap tahun itu adalah lantaran tidak terjadi saling paham bahasa antara
jamaah haji dengan para petugas. Petugas bersikukuh untuk menggunakan bahasa
Arab, sementara jamaah haji yang 3 juta itu berbahasa sesuai dengan bahasa
lokalnya masing-masing. Begitu petugas memberi komando, tak satu pun yang
paham. Terus kalau sudah begini, mau diskusi apa?
Jadi bolehlah kita sebut
bahwa wuquf di Arafah adalah tempat berkumpulnya duta umat Islam sedunia. Namun
biar bagaimanapun wuquf ini tetaplah sebuah ritual. Tetapi untuk menggelar
acara diskusi, sidang pembahasan dan sejenisnya, tentu kurang visible bila
dilakukan pada momentum itu.
Sebenarnya Rasulullah SAW
sudah memberi conoth kongkrit untuk ritual Arafah ini, yaitu khutbah Arafah,
yang seharusnya dipimpin oleh satu Khatib saja dan didengar oleh semua jamaah.
Tapi lagi-lagi, kondisi padang Arafah yang tidak ada masjid atau bangunan
apapun membuat jamaah haji terpetak-petak dalam wilayah yang luas dan
berkapling-kapling. Di Arafah tidak ada masjid atau bangunan yang mampu
menampung 3 juta jamaah sekaligus, tidak seperti Masjid Al-Haram di dalam kota
Makkah. Masjid itu memang mampu menampung jutaan manusia sekaligus dan
dilengkapi dengan sound system terbaik di dunia. Sudah ada garis-garis shafnya
yang rapi dan teratur, sehingga jutaan jamaah bisa terlihat sangat kompak.
Pemandangan seperti itu tidak
akan terjadi di padang Arafah. Mereka berkeliaran kesana kemari, masing-masing
sibuk dengan rombongannya. Tiap kelompok membuat acara sendiri-sendiri di dalam
tenda masing-masing.
Wassalamu 'alaikum
warahmatulahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/