Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Saya sedang menjalani masa iddah karena saya bercerai dengan suami. Selama masa iddah ini, hal-hal apa saja yang terlarang saya lakukan menurut syariat Islam?
Wassalam
Saya sedang menjalani masa iddah karena saya bercerai dengan suami. Selama masa iddah ini, hal-hal apa saja yang terlarang saya lakukan menurut syariat Islam?
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Diantara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah menerima khitbah, menikah, keluar rumah, dan berhias.
Diantara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah menerima khitbah, menikah, keluar rumah, dan berhias.
1. Menerima Khitbah
Seorang wanita yang baru
saja ditalak suaminya, atau ditinggal mati, maka dia harus menjalani masa
iddah, dimana ketika masa iddah itu dia tidak boleh menerima ajakan atau
lamaran (khitbah) dari seorang laki-laki.
Kalau pun laki-laki itu
punya keinginan untuk menikahinya, maka tidak boleh disampaikan dalam bentuk
terang-terangan. Yang dibolehkan hanya bila dilakukan lewat bentuk sindiran.
Hal itu telah diatur Allah SWT di dalam ayat berikut ini :
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرّاً إِلاَّ أَن تَقُولُواْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 235)
2. Menikah
Kalau sekedar menerima
lamaran saja diharamkan, maka tentu saja bila menikah lebih diharamkan lagi.
Sehingga kalau seorang wanita yang dicerai suaminya atau ditinggal mati mau
menikah lagi, dia harus menunggu sampai masa iddahnya selesai terelbih dahulu.
Pernikahan seorang wanita
yang dilakukan ketika masa iddah belum selesai adalah pernikahan yang haram,
dan hukumnya tidak sah dalam syariat Islam.
3. Keluar Rumah
Seorang wanita yang sedang
menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu
as-sakan (ملازمة السكن). Artinya adalah selalu berada di dalam rumah,
tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.
Wanita itu tidak
diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah
itu, kecuali ada udzur-uzdur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan,
atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan.
Pelanggaran ini berdampak
pada dosa dan kemasiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban
untuk menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.
Dalilnya adalah apa yang
telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah.(QS. Ath-Talak : 1)
Namun para ulama, di
antaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, serta
Ats-Tsuari, Al-Auza’i, Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita
yang ditalak bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau
kembali, seperti ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan
untuk keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang hari.
Alasannya karena wanita
yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari
mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan
kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar
rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.
Selain itu memang ada nash
yang membolehkan hal itu, sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَال : طَلُقَتْ خَالَتِي ثَلاَثًا فَخَرَجَتْ تَجِدُّ نَخْلاً لَهَا فَلَقِيَهَا رَجُلٌ فَنَهَاهَا فَأَتَتِ النَّبِيَّ فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَال لَهَا : اخْرُجِي فَجُدِّي نَخْلَكِ لَعَلَّكِ أَنْ تَصَدَّقِي مِنْهُ أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا
Dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun
beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau
bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi
Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW
berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa
bersedekah dan mengerjakan kebaikan. (HR.
Muslim).
Dalam hal ini yang menjadi
‘illat atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang
memberinya nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan bila ada yang memberinya
nafkah, atau dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup
untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar
rumah itu tidak berlaku.
Selain itu juga ada hadits
yang membolehkan para wanita untuk berkunjung ke rumah tetangga pada saat-saat
menjalani masa ‘iddah, dan hal itu atas seizin dan sepengetahuan Rasulullah
SAW.
اسْتَشْهَدَ رِجَالٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَآمَ نِسَاؤُهُمْ وَكُنَّ مُتَجَاوِرَاتٍ فِي دَارٍ فَجِئْنَ النَّبِيَّ فَقُلْنَ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا نَسْتَوْحِشُ بِاللَّيْل فَنَبِيتُ عِنْدَ إِحْدَانَا فَإِذَا أَصْبَحْنَا تَبَدَّرْنَا إِلَى بُيُوتِنَا فَقَال النَّبِيُّ : تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ مَا بَدَا لَكُنَّ فَإِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ فَلْتَؤُبْ كُل امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ إِلَى بَيْتِهَا
Beberapa laki-laki telah
gugur dalam perang Uhud, maka para istri mereka yang saling bertetangga
berkumpul di rumah salah seorang mereka. Mereka pun mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Ya Rasulullah, kami merasa khawatir di malam hari dan kami tidur
bersama di rumah salah seorang dari kami. Bila hari telah pagi, maka kami
kembali ke rumah masing-masing”. Nabi SAW bersabda,”Kalian saling menghibur di
rumah salah seorang kalian. Bila kalian akan tidur, maka kembali masing-masing
ke rumahnya. (HR. Al-Bahaqi)
Mengomentari hadits ini,
para ulama mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya
amanat dan pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka
masing-masing.
4. Berhias
Seorang wanita yang sedang
dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dalam istilah
fiqih disebut dengan al-ihdad (الإحداد) atau al-ihtidad (الإحتداد). Dan
diantara kategori berhias itu antara lain adalah :
- Menggunakan alat perhiasan seperti
emas, perak atau sutera
- Menggunakan parfum atau wewangian
- Menggunakan celak mata, kecuali
ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena
darurat.
- Memakai pewarna kuku seperti pacar
kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
- Memakai pakaian yang berparfum
atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam Fiqih Sunnah
Sayyid Sabiq mengatakan: “Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban
untuk menetap di rumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai
selesai masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah
tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya ia
dari rumahnya.
Seandainya terjadi
perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah
dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib
kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.
Sebagaimana disebutkan di
dalam firman Allah SWT pada surat Ath-Talak ayat pertama.”
Apabila isteri yang ditalak
itu melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu
yang tidakbaik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk
mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menu rut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di
atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid,
Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; dimana Aisyah sendiri pernah
mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan
rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah
bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/