Assalamu'alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang dimuliakan
Allah SWT, saya ingin menanyakan mengenai babi. Menurut yang pernah saya dengar
di pengajian yang saya ikuti bahwa babi tidak najis/haram apabila bersentuhan
dengan kaum muslim begitu juga dengan anjing, yang diharamkan/najis adalah air
liur dan dagingnya apabila telah menjadi bangkai/mati. Apakah yang disampaikan
oleh ustadz tersebut benar? Karena sepengatahuan saya babi apapun bentuknya
adalah haram. Pejelasan dari Pak Ustadz sangat saya harapkan. Terima kasih
sebelumnya.
Wassalam,
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz anda itu memang
tidak salah sepenuhnya, hanya saja sayangnya beliau hanya menyajikan pendapat
sepihak saja, sehingga buat sebagian orang yang belum pernah mengenal hal
seperti itu, menjadi sebuah tanda tanya besar.
Memang para ulama sepakat
untuk mengharamkan daging babi dalam kaitannya untuk dimakan, berdasarkan ayat
Al-Quran Al-Karim. Dan pengharaman daging ini juga termasuk bagian lainnya dari
tubuh babi. Maka tulang, kulit, jeroan, otot, minyak dan gajihnya pun termasuk
haram dimakan.
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut
selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 173)
Demikian juga tidak ada
masalah dengan kenajisan bagian tubuh babi bila sudah mati. Karena babi yang
sudah mati terhitung sebagai bangkai (maytah). Di mana secara umum,
hewan apapun meski bukan babi, badannya menjadi najis begitu mati tanpa proses
penyembelihan syar'i. Dan umumnya babi itu tidak pernah disembelih secara
syar'i. Buat apa seorang muslim menyembelih babi dengan penyembelihan syar'i?
Maka bagian tubuh babi yang
sudah mati sudah pasti najis, bahkan mazhab As-syafi'i menggolongkannya sebagai
najis berat. Tidak bisa disucikan kecuali dengan mencucinya 7 kali salah
satunya dengan tanah.
Perbedaan pendapat
Semua itu dalam kerangka
bahwa babi itu dimakan atau disentuh setelah matinya, misalnya digunakan untuk
membuat benda-benda tertentu. Namun kalau bukan untuk dimakan, tetapi menyentuh
bagian tubuh selama babi itu masih hidup, memang ada sedikit perbedaan pendapat
meski minoritas.
Misalnya Imam Malik rahimahullah,
beliau menyatakan bahwa kenajisan tubuh babi tidak ditemukan dalilnya secara
langsung. Yang ada hanya dalil yang menyatakan bahwa babi itu haram dimakan.
Sehingga beliau menetapkan bahwa bila bukan untuk dimakan, daging babi itu
tidak najis untuk sekedar disentuh atau dipegang.
Namun pendapat yang
demikian adalah pendapat yang menyendiri. Sebab mayoritas (jumhur) ulama
sepakat bahwa babi itu bukan hanya haram dimakan, tetapi juga semua tubuhnya
najis ketika masih hidup, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Munzir.
Kesimpulan:
Berarti yang disampaikan
oleh ustadz tersebut memang ada di dalam wacana perbedaan pendapat para fuqaha'
di masa lalu. Sayangnya, beliau hanya menampilkan satu pendapat saja dengan
meninggalkan pendapat jumhur ulama. Itu pun pendapat yang boleh dibilang agak
menyendiri.
Idealnya, ketika
menerangkan suatu masalah, jangan lupa agar beberapa pendapat lain yang
berkembang turut disampaikan, sebagai bentuk penyebaran wawasan syariah Islamiyah.
Wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/