Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dimuliakan Allah.
Saya ingin menanyakan tentang pengertian hadits yang menyebutkan bahwa daging hewan qurban itu harus habis dimakan sebelum tiga hari berikut ini :
Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. (HR. Bukhari)
Bagaimana kita memahami hadits ini?
Wassalam
Ustadz yang dimuliakan Allah.
Saya ingin menanyakan tentang pengertian hadits yang menyebutkan bahwa daging hewan qurban itu harus habis dimakan sebelum tiga hari berikut ini :
Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. (HR. Bukhari)
Bagaimana kita memahami hadits ini?
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Memang benar hadits yang
anda sebutkan itu adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
kitab shahihnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak mentang-mentang suatu
hadits itu shahih, lantas kita bisa langsung menjadikannya sebagai dalil.
Khusus dalam kasus hadits
di atas, para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa kandungan hukumnya sudah
dinasakh atau dihapuskan dengan adanya hadits yang lain. Jadi jawaban atas
pertanyaan ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya sementara saja, dan
kemudian larangan itu pun dihapus.
Tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya larangan ini, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al-Istidzkar. [1]
Memang di jalur riwayat dan
versi yang lain disebutkan bahwa Ibnu Umar tidak mau memakan daging hewan
udhiyah, bila sudah disimpan selama tiga hari.
عَنْ سَالِمٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ t أَنَّ رَسُولَ اللهِ r نَهَى أَنْ
تَأْكُلَ لُحُوْمَ الأَضَاحِي بَعْدَ ثَلاَثٍ . قال سالم : فَكَانَ ْبنُ عُمَرَ
لاَ يَأْكُلُ لُحُوْمَ الأَضَاحِي بَعْدَ ثَلاَثٍ
Dari Salim dari Ibnu Umar
radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW melarang kamu memakan daging hewan
udhiyah yang sudah tiga hari. Salim berkata bahwa Ibnu Umar tidak memakan
daging hewan udhiyah yang sudah tiga hari. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Namun Ibnu Hajar
Al-Asqalani di dalam Fathul Bari mengutip penjelasan Asy-Syafi’i, beliau
menyebutkan bahwa kemungkinan Ibnu Umar belum menerima hadits yang menasakh
larangan itu.
Dihapusnya larangan ini termasuk
jenis nasakh atas sebagian hukum yang pernah disyariatkan.
Sebagaimana dihapuskannya larangan untuk berziarah kubur.
Memang kalau membaca
potongan hadits di atas, seolah-olah kita dilarang untuk menyimpan daging
udhiyah lebih dari tiga hari.
Tetapi kalau kita lebih
teliti, sebenarnya hadits di atas masih ada terusannya, dan tidak boleh
dipahami sepotong-sepotong. Terusan dari hadits di atas adalah :
فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى
قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ
بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
Ketika datang tahun
berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus
melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang),
makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi
simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku
berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”(HR. Bukhari)
Jadi semakin jelas bahwa
‘illat kenapa Nabi SAW pada tahun sebelumnya melarang umat Islam menyimpan
daging hewan udhiyah lebih dari tiga hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik
dan kelaparan dimana-mana. Beliau ingin para shahabat berbagi daging itu dengan
orang-orang, maka beliau melarang mereka menyimpan daging, maksudnya agar
daging-daging itu segera didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Tetapi ketika tahun
berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari tiga hari, Rasulullah SAW
membolehkan. Karena tidak ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.
Dalam hadits di atas juga
dikuatkan dengan hadits lainnya, sebagai berikut :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ
الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ
فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Dulu aku melarang kalian
dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki
kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun
sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.” (HR. Tirmizi)
Larangan Tidak Berpengaruh
Pada Penyembelihan
Selain itu yang perlu juga
dipahami bahwa kalau Nabi SAW melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan
berarti daging itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembeliahnya menjadi
tidak sah. Sebab ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada
penyembelihannya, dan bukan pada bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.
Ekstrimnya, bila seseorang
telah melakukan penyembelihan dengan benar, sesuai dengan syarat dan
ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan diterima Allah SWT secara hukum
fiqih. Ada pun urusan mau diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah
atau tidak sahnya penyembelihan.
Dahulu di Mina, tepatnya di
tempat penyembelihan hewan (manhar), ada ribuan hewan ternak yang disembelih di
Hari Raya Idul Adha, lalu dibiarkan begitu saja tubuh-tubuh hewan itu, tidak
dimakan dan tidak pula diurus oleh panitia macam di negara kita. Lalu
tubuh-tubuh hewan itu pun membusuk, sebagiannya dimakan hewan-hewan pemakan
bangkai. Dan sebagiannya mengering atau terkubur di pasir menjadi tanah dan
debu.
Apakah ritual ibadah para
jamaah haji itu sah? Jawabnya sah. Apakah diterima Allah? Jawabnya tentu saja
diterima. Lalu kenapa dagingnya ‘dibuang’ begitu saja? Jawabnya karena yang
menjadi titik pusat dari ritualnya hanya sebagai penyembelihan, bukan bagaimana
membagi daging itu kepada mustahik, sebagaimana dalam syariat zakat.
Sunnahnya, daging itu
dimakan sendiri sebagian, lalu sebagiannya dihadiahkan, dan sebagian lainnya,
disedekahkan kepada fakir miskin. Tetapi semua itu sunnah dan bukan syarat sah.
Berbeda dengan zakat, zakat harus disampaikan kepada para mustahik dengan
benar. Bila diserahkan kepada mereka yang bukan mustahik secara sengaja dan
lalai, maka zakat itu tidak sah hukumnya.
Daging hewan qurban,
hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi masih sehat untuk dimakan. Sekarang
di masa modern ini, sebagian umat Islam sudah ada yang mengkalengkan daging
qurban ini, sehingga bisa bertahan dengan aman sampai tiga tahun lamanya. Dan
karena sudah dikalengkan, mudah sekali untuk mendistribusikannya kemana pun di
dunia ini, khususnya buat membantu saudara kita yang kelaparan, entah karena
perang atau bencana alam.
Walau pun afdhalnya tetap
lebih diutamakan untuk orang-orang yang lebih dekat, namun bukan berarti tidak
boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi lebih membutuhkan.
Jadi silahkan saja memakan
daging qurban, walau pun sudah tiga tahun yang lalu disembelihnya, yang penting
belum melewati batas kadaluarsa.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[1] Al-Istidzkar,
jilid 15 hal. 173