Assalamu 'alaikum wr. wb.
Semoga ustadz selalu dalam keadaan sehat wal afiyat dan hidayat dari Allah SWT.
Mohon izin untuk menyampaikan pertanyaan yang barangkali sudah sering ditanyakan, tetapi saya ingin yang ustadz menjawabnya dengan moderat, adil, seimbang dan tanpa harus menyalahkan.
Pertanyaan saya seputar miqat haji bangsa Indonesia. Yang saya perhatikan miqat jamaah haji kita bukan Yalamlam atau Qarnul Manazil atau yang sejajar dengannya, tetapi Kementerian Agama RI menetapkan bahwa miqat kita adalah bandara King Abdul Aziz Jeddah.
Lalu ada seorang ustadz dalam ceramahnya mengatakan bahwa haram menjadikan Jeddah sebagai tempat miqat, karena tidak ada dalilinya. Sehingga semua jamaah haji kita wajib membayar dam karena telah melakukan pelanggaran.
Kami sebagai jamaah haji yang awam jadi bingung karena mendapatkan informasi simpang siur. Bagaimana ini, kok ada yang membolehkan tetapi ada yang bilang tidak boleh.
Mohon penjelasan yang mudah dan bisa dimengerti dari ustadz, yaitu bolehkah sesungguhnya kita menjadikan Jeddah sebagai tempat miqat haji dan umrah?
Semoga bisa terjawab dengan segera dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalam
Semoga ustadz selalu dalam keadaan sehat wal afiyat dan hidayat dari Allah SWT.
Mohon izin untuk menyampaikan pertanyaan yang barangkali sudah sering ditanyakan, tetapi saya ingin yang ustadz menjawabnya dengan moderat, adil, seimbang dan tanpa harus menyalahkan.
Pertanyaan saya seputar miqat haji bangsa Indonesia. Yang saya perhatikan miqat jamaah haji kita bukan Yalamlam atau Qarnul Manazil atau yang sejajar dengannya, tetapi Kementerian Agama RI menetapkan bahwa miqat kita adalah bandara King Abdul Aziz Jeddah.
Lalu ada seorang ustadz dalam ceramahnya mengatakan bahwa haram menjadikan Jeddah sebagai tempat miqat, karena tidak ada dalilinya. Sehingga semua jamaah haji kita wajib membayar dam karena telah melakukan pelanggaran.
Kami sebagai jamaah haji yang awam jadi bingung karena mendapatkan informasi simpang siur. Bagaimana ini, kok ada yang membolehkan tetapi ada yang bilang tidak boleh.
Mohon penjelasan yang mudah dan bisa dimengerti dari ustadz, yaitu bolehkah sesungguhnya kita menjadikan Jeddah sebagai tempat miqat haji dan umrah?
Semoga bisa terjawab dengan segera dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Sepanjang 14 abad
penetapan miqat makani nyaris tidak pernah menimbulkan polemik
yang berarti. Sebab tempat-tempat itu tidak pernah berubah atau bergeser dari
posisinya. Para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia pasti akan melewati
tempat-tempat yang telah disebutkan Rasulullah SAW itu. Kalau pun ada
perubahan, hanya perubahan nama tempat saja, tetapi tempat miqat itu
tetap pada posisinya sejak zaman nabi.
Tetapi ketika manusia sudah
menemukan pesawat terbang, dan para jemaah haji mulai menumpang ’besi terbang’
ini, mulai muncul sedikit masalah. Sebab pesawat-pesawat terbang ini terbang di
atas langit, sementara tidak ada satu pun dalil dari Rasulullah SAW yang
menjelaskan miqat makani buat jamaah yang datang lewat
’langit’.
Misalnya, bila suatu ketika
ada orang bisa tinggal di bulan, tentunya datang ke bumi tidak melewatimiqat-miqat yang
telah ditetapkan, karena mereka muncul dari atas langit. Lantas dimanakah miqatmakani buat
jamaah haji yang muncul dari atas langit?
Dan pesawat terbang pada
ketinggian di atas 27.000 kaki dari permukaan laut, nyaris tidak melewati
batas-batas miqat itu. Maka dalam hal ini setidaknya ada dua
pendapat yang berkembang :
1. Pendapat Pertama :
Ikut Miqat di Darat
Para ulama kontemporer
berpendapat bahwa miqat makani buat para jamaah yang menumpang
pesawat itu adalah garis-garis 'imajiner' yang menghubungkan titik-titik yang
ada pada masing-masingmiqat.
Dan sangat mudah untuk
menemukan garis imaginer itu dengan pesawat modern, karena pasti dilengkapi dengan
alat semacam Global Positioning System (GPS) dan sejenisnya. Biasanya GPS yang
tersedia di kursi masing-masing penumpang pada pesawat tertentu. GPS akan memberitahukan
dengan pasti posisi pesawat terhadap titik-titik koordinat tertentu di muka
bumi, bahkan juga bisa memastikan kecepatan pesawat, ketinggian (altitude),
perkiraan waktu yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan dan sebagainya.
Maka mudah saja bagi jamaah
haji yang ingin memulai berihram, karena kapten akan memberitahukan bahwa dalam
hitungan beberapa menit lagi pesawat akan berada di atas posisi titik miqat.
Bahkan para penumpang bisa melihat sendiri posisi pesawat yang mereka tumpangi
di layar LCD di kursi masing-masing.
Dan tanpa harus mendarat di
titik-titik yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW itu, para jemaah mulai
berganti pakaian ihram, berniat dan melantunkan talbiyah, dari
ketinggian sekian ribu kaki di atas permukaan laut. Bahwa miqat makani buat
mereka yang naik pesawat terbang harus mengikuti miqat yang
ada di darat, sehingga mulai berihram harus dilakukan di atas pesawat, adalah
pendapat beberapa ulama, di antaranya :
a. Majelis Bahtsul Masail
Nadhatul Ulama
Majelis Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama (NU), lembaga yang banyak mengurusi fatwa kontemporer di
kalangan nahdhiyyin ini, dalam salah satu keputusannya
menegaskan bahwa Bandara Jeddah tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat makani buat
jamaah haji Indonesia.
Majelis ini tegas
menyebutkan bahwa jamaah haji Indonesia harus melakukan niat tawaf pada waktu
pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-Manazil. Berikut ini petikannya:
Soal:
Orang Indonesia yang
melaksanakan ibadah haji melalui Jeddah yang akan langsung menuju Makkah,
apabila mereka memulai ihramnya dari Jeddah, apakah terkena wajib membayar dam
bagi mereka?
Jawab:
Mengingatkan bahwa lapangan
terbang Jeddah di mana jamaah haji Indonesia mendarat, ternyata tidak memenuhi
ketentuan sebagai miqat, maka apabila para jamaah haji Indonesia
(yang berangkat pada hari terakhir) akan langsung menuju Makkah, hendaknya
mereka melakukan niat pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-Manazil
atau daerah Yalamlam atau miqat-miqat yang lain (yaitu
setelah mereka menerima penjelasan dari petugas pesawat udara yang
bersangkutan).
Untuk memudahkan
pelaksanaannya, dianjurkan agar para jamaah memakai pakaian ihramnya sejak dari
lapangan terbang Indonesia tanpa niat terlebih dahulu.
Kemudian niat ihram baru
dilakukan pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarnul-manazil atau
Yalamlam. Tetapi kalau para jamaah ingin sekaligus niat ihram di Indonesia,
itupun diperbolehkan.
b. Fatwa Syeikh Abdul Aziz
bin Baz
Mufti Kerajaan Saudi Arabia
di masa lalu, Syeikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang keabsahan
Bandara King Abdul Aziz sebagai pengganti dari miqat dengan
tegas menolak dan mengatakan tidak sah apabila jamaah haji mulai berihram dari
Bandara itu. Berikut kutipan fatwa beliau :
Hal yang mewajibkan kami
menjelaskan masalah ini adalah adanya buku kecil yang datang dari sebagian
rekan pada akhir-akhir ini yang berjudul 'Adillatul Itsbat anna Jaddah Miqat',
yaitu Dalil-dalil yang membuktikan Jeddah adalah Miqat.
Di dalam buku kecil ini
penulisnya berupaya mengadakan miqat tambahan di luar miqat-miqat yang sudah
ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Dia beranggapan bahwa Jeddah itu adalah miqat
bagi orang-orang yang datang dengan pesawat udara di bandara atau datang ke
Jeddah lewat laut atau lewat darat.
Maka menurut penulis buku
ini, mereka boleh menunda ihramnya sampai tiba di Jeddah, kemudian berihram
dari sana. Karena, menurut anggapan dia, Jeddah itu sejajar dengan dua miqat,
yaitu Sa'diyah dan Juhfah.
Ini adalah kesalahan besar
yang dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang
realita sebenarnya. Sebab, Jeddah itu berada di dalam wilayah miqat, dan orang
yang datang ke Jeddah pasti telah melalui salah satu miqat yang telah
ditetapkan oleh Muhammad SAW atau berada dalam posisi sejajar dengannya baik di
darat, laut maupun di udara. Maka tidak boleh melewati miqat itu tanpa ihram
jika berniat menunaikan ibadah haji atau ibadah umrah.
Di bagian akhir dari fatwa
itu, beliau memberi kesimpulan :
Sesungguhnya fatwa khusus
yang dikeluarkan tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para
penumpang pesawat udara dan kapal laut adalah fatwa batil (tidak benar) karena
tidak bersumber dari nash al-Qur`an ataupun hadits Rasulullah SAW ataupun ijma'
para ulama salaf, dan tidak pernah dikatakan oleh seorang ulama kaum muslimin
yang dapat dijadikan sandaran.
c. Fatwa Lajnah Daimah
Kerajaan Saudi Arabia
Penulis kutipkan bagian
terpenting dari Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia :
Tidak syak bahwa Jeddah
tidak termasuk miqat. Siapa yang mengakhirkan ihramnya sampai ke Jeddah, maka
dia telah melewati miqat menurut syar'i.
Karena itu dia terkena dam,
yaitu satu kambing atau sepersepuluh unta atau sepersepuluh sapi yang
disembelih di tanah haram dan dibagikan kepada orang miskin tanah haram.
d. Fatwa Majma' Fiqih
Al-Islami
Selain Lajnah Daimah, juga
ada fatwa dari Majma' Fiqih Al-Islami yang kami kutipkan bagian terpentingnya
saja :
Jika hal ini diketahui,
maka bagi orang-orang yang haji dan umrah lewat jalan udara dan laut serta yang
lainnya tidak boleh mengakhirkan ihram sampai mereka tiba di Jeddah.
Sebab Jeddah tidak termasuk
miqat yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula
orang-orang yang tidak membawa pakaian ihram, maka mereka juga tidak boleh
mengakhirkan ihram sampai ke Jeddah.
2. Pendapat Kedua : Dimana
Pesawat Mendarat
Sementara di sisi lain,
memang tidak sedikit kalangan ulama yang menjadikan Bandara King Abdul Aziz di
Jeddah sebagai tempat miqat. Mereka berpendapat bahwa
orang yang datang lewat ’langit’ tidak mulai berihram di atas miqat-miqattadi,
tetapi mulai mengambil miqat dari tempat dimana pesawat itu
menyentuh daratan, yang dalam hal ini adalah Bandara King Abdul Aziz yang
terletak di kota Jeddah.
Bandara Jeddah saat ini
boleh dibilang satu-satunya bandara untuk jamaah haji, kecuali pesawat-pesawat
milik maskapai Saudi Arabia yang bisa langsung mendarat di Bandara Amir Muhammad
bin Abdul Aziz di kota Madinah.
Yang jadi masalah adalah
karena posisi Bandara King Abdul Aziz ini sudah berada di sebelah Barat tanah
haram. Sedangkan jamaah haji Indonesia, tentunya tidak datang dari arah Barat
melainkan dari Timur atau Tenggara. Jadi kalau mendarat di Jeddah, sudah
pasti akan melewati garis miqat.
Dan seharusnya cara ini
terlarang, karena setiap orang yang melewati garis miqat wajib
berihram, kalau tujuannya semata-mata menuju ke Ka’bah untuk haji atau ihram.
Di zaman dulu ketika kita
masih menggunakan kapal laut, jamaah haji Indonesia bisa dengan mudah berihram
dari miqat yang ditentukan. Namun agak lain ceritanya bila
berihram di atas pesawat terbang.
Sebab yang namanya berihram
itu adalah membuka pakaian biasa berganti dengan dua lembar handuk sebagai
pakaian resmi berihram. Memang akan sedikit merepotkan, bila dilakukan di dalam
pesawat terbang. Yang jadi masalah, bukan
pilot tidak tahu tempat batas miqat, tetapi bagaimana memastikan
bahwa sekian ratus penumpang di dalam pesawat yang sedang terbang tinggi di
langit, bisa berganti pakaian bersama pada satu titik tertentu.
Sementara untuk berpakaian
ihram sejak dari Indonesia, sebenarnya bisa saja dilakukan, namun jaraknya
masih terlalu jauh. Kalau kita tarik garis lurus Jakarta Makkah di peta google
earth, sekitar 9.000-an km jaraknya. Perjalanan ditempuh sekitar 8 sampai 10
jam penerbangan non-stop.
a. Kementerian Agama RI
Departemen Agama Republik
Indonesia yang kini berubah nama menjadi Kementerian Agama Republik Indonesia
sebagai biro perjalanan haji terbesar di dunia, nampaknya lebih cenderung
berpendapat bahwa Jeddah bisa menjadi alternatif miqat makani.
Hal itu bisa dibuktikan
dengan seragamnya semua petunjuk yang diarahkan berupaya mencari
pendapat-pendapat yang membolehkan jamaah haji bermiqat dari
bandara Jeddah.
Pendapat pihak Kementerian
Agama RI ini untuk menjadikan Bandara King Abdul Aziz sebagai tempatmiqat berpegang
pada beberapa pendapat berikut ini :
1. Pendapat Ibnu Hajar
pengarang Kitab Tuhfah memfatwakan bahwa jamaah haji yang datang dari arah
Yaman boleh memulai ihram setelah tiba di Jeddah karena jarak Jeddah-Makkah
sama dengan jarak Yalamlam-Makkah. An-Naswyili Mufti Makkah dan lain-lain
sepakat dengan Ibnu Hajar ini.
2. Menurut mazhab Maliki
dan Hanafi, jamaah haji yang melakukan dua miqat memenuhi
ihramnya darimiqat kedua tanpa membayar dam.[1]
3. Menurut Ibnu Hazm,
jamaah haji yang tidak melalui salah satu miqat boleh ihram
dari mana dia suka, baik di darat maupun di laut.[2]
b. Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
Tercatat tiga kali Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang bolehnya berihram dari bandara
Jeddah, yaitu tahun 1980, 1981 dan 2006. Berikut petikannya fatwa terakhirnya:
Membaca:
Surat dari Ditjen Bimas
Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI No.D/Hj.00/2246/1996, tanggal 26
April 1996 tentang usul perbaikan Fatwa MUI tentang ketentuan Miqat Makani bagi
Jama'ah Haj i Indonesia.
1. Surat dari KH. Syukron
Makmun tentang pendapat tertulis kepada Sidang Komisi yang berkenaan dengan
masalah Miqat Makani tersebut.
2. Pendapat Al-Marhum Syekh
Yasin Al-Fadani.
Memperhatikan:
Pendapat, saran dan uraian
yang disampaikan oleh para peserta sidang dalam pembahasan masalah tersebut.
Berpendapat:
1. Karena Jama'ah Haji
Indonesia yang akan langsung ke Makkah tidak melalui salah satu dari MiqatMakani yang
telah ditentukan Rasulullah, Komisi berpendapat bahwa masalah Miqat bagi
mereka termasuk masalah ijtihadiyah.
2. Mengukuhkan Keputusan
Fatwa Komisi Fatwa tanggal 12 Jumadil Ula 1400 H/29 Maret 1980 tentangMiqat Makani bagi
Jama’ah Haji Indonesia, yaitu Bandara Jenddah (King Abdul Aziz) bagi yang
langsung ke Makkah dan Bir Ali bagi yang lebih dahulu ke Madinah.
3. Dengan Fatwa tersebut di
atas tidak berarti menambah miqat baru selain dari yang telah
ditentukan Rasulullah SAW. Sebenarnya berihram dari Jeddah (Bandara King Abdul
Aziz) dengan alasan-alasan, antara lain, sebagai berikut:
a. Jarak antara Bandara
King Abdul Aziz Jeddah dengan Makkah telah melampaui 2 (dua) marhalah.
Kebolehan berihram dari jarak seperti itu termasuk hal yang telah disepakati
oleh para ulama.
b. Penggunaan mawaqit
mansusah (dengan teori muhazah) menunjukkan bahwa
pelaksanaan penggunaan miqat adalah masalah ijtihadi
Ditetapkan:
Jakarta, 16 Zulhijah 1416
H/04 Mei 1996 M
DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
KH. HASAN BASRI
|
Sekretaris
DRS. H.A. NAZRI ADLANI
|
c. Pendapat Syeikh Mustafa
Az-Zarqa’
Salah satu ulama besar dan
berpengaruh yang juga berpendapat bahwa Bandara King Abdul Aziz di Jeddah boleh
dijadikan tempat miqat makani adalah Syeikh
Mustafa Az-Zarqa’.[3]
Dengan bahasa yang tegas
beliau mengatakan bahwa orang yang datang dengan pesawat terbang tidak wajib
melakukan ihram, kecuali setelah pesawat mendarat di daerah
yang akan mereka tempuh dengan jalur darat.
Karena Bandara
Internasional Jeddah terletak di dalam miqat makani maka dari
situlah mereka harus memulai ihram karena mereka disamakan
dengan penduduk Jeddah. Seandainya bandara itu nanti dipindah ke Makkah, maka
tempat ihram mereka adalah dari Makkah sama dengan penduduk
Makkah.
Begitu seterusnya sesuai
dengan miqat-miqat makani yang sudah ditentukan lewat jalur
darat pada masa Nabi SAW. Menurutnya ketentuan miqat makani ihram yang
sudah ada nashnya tidak berlaku bagi orang yang naik pesawat.
Beliau termasuk ulama
modern yang agaknya menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa teks hadits
mengenai miqat makani berlaku baik lewat darat, laut, maupun
udara.
Dalam hal ini ia berbeda
pendapat dengan semua ulama anggota RAA yang bersidang di Yordania tahun 1407
H.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/