Assalamu 'alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh...
Pak ustadz Ahmad Sarwat, Lc yang budiman dan yang saya hormati.
Saya sebentara lagi mau melangsungkan pernikahan. Tetapi ada beberapa hal terkait dengan kebolehan melihat calon istri yang akan dinikahi.
1. Apa dalil yang membolehkan seorang laki-laki boleh memandang wanita yang akan dinikahinya? Bukankah seharusnya sebelum pernikahan masih belum boleh karena belum halal?
2. Bagaimana pendapat para ulama terkait denga hukum melihat calon istri?
3. Kalau memang dibolehkan, adakah ketentuan atau syarat dalam proses atau teknisnya. Apakah harus seizin dari calon istri? Bagian mana saja yang boleh dilihat? Apakah boleh terjadinya persentuhan, misalnya bersalaman atau berduaan?
4. Bagaimana kalau tidak melihat langsung tetapi lewat perantaraan orang lain?
Mohon dijelaskan dengan mudah, ustadz.
Atas perhatian dan jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih...
Saya minta maaf karena saya tidak bisa memberikan apa-apa, hanya ucapan terima kasih dan do'a semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada Pak ustadz beserta semua kru Rumah Fiqih dan mudah-mudahan kita semua bisa berjumpa dgn Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Amin....
Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Pak ustadz Ahmad Sarwat, Lc yang budiman dan yang saya hormati.
Saya sebentara lagi mau melangsungkan pernikahan. Tetapi ada beberapa hal terkait dengan kebolehan melihat calon istri yang akan dinikahi.
1. Apa dalil yang membolehkan seorang laki-laki boleh memandang wanita yang akan dinikahinya? Bukankah seharusnya sebelum pernikahan masih belum boleh karena belum halal?
2. Bagaimana pendapat para ulama terkait denga hukum melihat calon istri?
3. Kalau memang dibolehkan, adakah ketentuan atau syarat dalam proses atau teknisnya. Apakah harus seizin dari calon istri? Bagian mana saja yang boleh dilihat? Apakah boleh terjadinya persentuhan, misalnya bersalaman atau berduaan?
4. Bagaimana kalau tidak melihat langsung tetapi lewat perantaraan orang lain?
Mohon dijelaskan dengan mudah, ustadz.
Atas perhatian dan jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih...
Saya minta maaf karena saya tidak bisa memberikan apa-apa, hanya ucapan terima kasih dan do'a semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada Pak ustadz beserta semua kru Rumah Fiqih dan mudah-mudahan kita semua bisa berjumpa dgn Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Amin....
Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Pada dasarnya sebelum terjadinya pernikahan, disunnahkan bagi masing-masing calon pengantin, baik calon suami atau calon istri, untuk sama-sama saling melihat bentuk fisik calon pasangan hidupnya.
Pada dasarnya sebelum terjadinya pernikahan, disunnahkan bagi masing-masing calon pengantin, baik calon suami atau calon istri, untuk sama-sama saling melihat bentuk fisik calon pasangan hidupnya.
1. Dalil Masyru'iyah
Meskipun wajah dan kedua
tangan hingga pergelangan bukan termasuk aurat, namun yang lebih dianjurkan
bagi laki-laki agar menahan atau membatasi pandangannya kepada wanita yang
bukan mahramnya.
Dasarnya adalah firman Allah
SWT :
قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Katakanlah kepada
orang-orang yang beriman bahwa haruslah mereka menahan pandangannya. (QS. An-Nur : 30)
Namun dalam konteks
seseorang ingin menikah, maka memandang yang seharusnya dihindari justru malah
disyariatkan. Ada banyak dalil yang menjadi dasar masyru'iyah atas perlunya
melihat calon istri atau calon suami. Di antara dalil-dalil itu misalnya :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Apabila salah seorang di
antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat
sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.
(HR Ahmad dan Abu Daud)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ اَلنَّبِيَّ قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً : أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قَالَ : لا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا
Dari Abu Hurairah
radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi
wanita,"Apakah kamu sudah pernah melihatnya?". "Belum",
jawabnya. Nabi SAW bersabda,"Pergilah melihatnya dahulu". (HR. Muslim)
Selain dua hadits di atas,
juga ada beberapa hadits lainnya yang senada, seperti berikut ini :
Dari Abu Hurairah
radhiyallahuanhu berkata,"Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan
seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia
mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena
dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (HR. Muslim)
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَال :خَطَبْتُ امْرَأَةً فَقَال لِي رَسُول اللَّهِ
: أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ قُلْتُ : لاَ . قَال : فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Mughirah bin Syu`bah
radhiyallahuanhu berkata,"Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW
bertanya padaku,"Apakah kamu sudah melihatnya?". "Tidak",
jawabku. Beliau SAWbersabda,"Lihatlah dia Karena melihat itu lebih dapat
menjamin untuk mengekalkan kamu berdua. (HR.
Ibnu Majah)
Kemudian Mughirah pergi
kepada kedua orang tua calon istrinya, dan memberitahukan apa yang diomongkan
di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan
tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah
menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas
melihatnya dan kemudian mengawininya.
2. Hukum Melihat Calon
Istri & Suami
Meski semua ulama sepakat
berpendapat bahwa melihat pasangan calon istri atau suami punya dasar masyru'iyah
sebagaimana hadits-hadits di atas, namun mereka berbeda pendapat tentang
hukumnya. Sebagian berpendapat bahwa hukumnya sunnah, namun sebagian lainnya
berpendapat hukumnya boleh.
a. Jumhur Ulama : Sunnah
Jumhur ulama dari empat
mazhab secara umum cenderung kepada pendapat yang menyunnahkannya. Mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan sebagian ulama mazhab
Al-Hanabilah sama-sama sepakat bahwa hukum melihat calon istri atau suami
mandub atau sunnah.
Dasarnya adalah hadits
Mughirah di atas, dimana Rasulullah SAW memerintahkannya untuk melihat calon
istrinya terlebih dahulu.
فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Mughirah bin Syu`bah
bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi SAW mengatakan
kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk
mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua
perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi
tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar
dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu
supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan
kemudian mengawininya. (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
b. Mazhab Al-Hanabilah :
Boleh
Sedangkan secara resmi
mazhab Al-Hanabilah memandang bahwa kesimpulan dari hadits-hadits di atas bukan
menunjukkan kesunnahan, melainkan hanya menunjukkan kebolehan saja.
Dasarnya karena perintah
untuk melihat diberikan setelah adanya larangan, sehingga perintah itu bukan
menjadi sunnah atau wajib, melainkan menjadi kebolehan. Seperti halnya perintah
untuk mencari rejeki seusai shalat Jumat, walau pun shighatnya dalam bentuk
fi'il amr yang seharusnya menjadi kewajiba, tetapi karena perintah itu datang
setelah adanya larangan, maka hukumnya bukan wajib melainkan boleh.
3. Ketentuan Dalam Melihat
Meski melihat kepada calon
suami atau istrinya disunnahkan atau setidaknya dibolehkan, namun bukan berarti
segalanya menjadi boleh. Tentu saja tetap ada aturan dan ketentuan yang harus
dipatuhi, antara lain :
a. Niat Ingin Menikahi
Hanya calon suami yang
benar-benar berniat untuk menikahi calon istrinya saja yang dibolehkan untuk
melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekedar iseng-iseng atau coba-coba,
sementara di dalam hati masih belum berniat untuk menikahi, tentu tidak dibenarkan
untuk melihat.
Bahkan Jumhur ulama seperti
mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan bahwa orang
yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun
akan menerimanya.
Sementara mazhab
Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi
adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara
keduanya.
b. Tidak Harus Seizin
Wanita
Jumhur ulama berpendapat
bahwa tidak ada ketentuan bahwa wanita yang sedang dilihat oleh calon yang
ingin menikahinya harus memberi izin.
Dasarnya adalah apa yang
dilakukan oleh Mughirah yang melihat calon istrinya tanpa sepengetahuannya.
Bahkan sebagian ulama
berpandangan bahwa sebaiknya memang tidak diberitahu, agar benar-benar tampil
alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin
ditutupi. Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat,
secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang
mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah
tidak akan tercapai.
Namun mazhab Al-Malikiyah
berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya
harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa
bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamarnya.
c. Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun syariat Islam
mengajurkan melihat calon pasangan masing-masing, namun tetap saja ada batasan
mana yang boleh dilihat dan mana yang tidak boleh dilihat.
Jumhur ulama yaitu mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah sepakat bahwa wajah dan kedua
tangan hingga pergelangan tangan termasuk bagian tubuh wanita yang boleh
dilihat oleh calon suaminya. Sebab kedua bagian tubuh itu memang bukan termasuk
aurat.
Bagian tubuh selain
keduanya tentu merupakan aurat bagi wanita, sehingga walaupun dengan alasan
anjuran melihat calon istri, tetap saja seorang calon suami masih diharamkan
untuk melihatnya.
Sebab biar bagaimana pun
juga, status calon suami 100% masih laki-laki ajnabi, yang kedudukan sama
persis dengan laki-laki ajnabi manapun di dunia ini.
Namun ada riwayat dari
mazhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa kedua kaki hingga batas pergelangan
atau mata kaki juga bukan termasuk aurat.
Dan para ulama di dalam mazhab
Al-Hanabilah saling berbeda pendapat mengenai batasan ini. Sebagian berpendapat
sebagaimana umumnya pendapat jumhur ulama, bahwa yang boleh dilihat hanya
sebatas wajah dan kedua tanggan hingga pergelangannya. Namun sebagian lagi
membolehkan lebih dari itu, yaitu termasuk wajah, leher, tangan dan kaki .
d. Tidak Boleh Menyentuh
Dan sebagaimana laki-laki
ajnabi lainnya yang tidak diperbolehkan untuk menyentuh kulit wanita yang bukan
mahram, maka calon suami pun juga tetap diharamkan melakukannya.
Jumhur ulama umumnya
mengharamkan sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram,
meskipun dalam rangka untuk menikahinya.
Dari Ma’qil bin Yasar,
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian
jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh
seorang wanita yang bukan mahramnya”, (HR. Thabrani dan juga Baihaqi).
- Madzhab Al-Hanafiyah
Penulis kitab Al-Hidayah
berkata: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh wajah atau
telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
Penulis kitab Ad-Dur
Mukhtar mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan
wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
- Madzhab Al-Malikiyah
Imam Al-Baaji berkata dalam
kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita”.
Yakni tidak berjabat tangan
langsung dengan tangannya. Dari hal tersebut, diketahui bahwasanya cara
berbaiat dengan laki-laki adalah dengan berjabat tangan dengannya, namun hal
ini terlarang jika membaiat wanita dengan berjabat tangan secara
langsung.
- Madzhab As-Syafi’i
Imam Nawawi berkata dalam
kitabnya Al-Majmu’: “Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan
menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa.
Karena sesungguhnya
seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia
berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin
mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh
untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.
Imam Nawawi pun berkata
dalam Syarah Shahih Muslim: “Hal ini menunjukkan bahwa cara membaiat wanita
adalah dengan perkataan, dan hal ini juga menunjukkan, mendengar ucapan atau
suara wanita yang bukan mahram adalah diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena
suara bukanlah aurat. Dan tidak boleh menyentuh secara langsung wanita yang
bukan mahram jika tidak termasuk hal yang darurat, semisal seorang dokter yang
menyentuh pasiennya untuk memeriksa penyakit”.
- Madzhab Hambali
Ibnu Muflih dalam Al-Furu’
mengatakan: “Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan wanita,
laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya
tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya”. Hal ini
disebutkan dalam kitab Al-Fusul dan Ar-Ri’ayah.
e. Tidak Boleh Berduaan
Meskipun dianjurkan untuk
melihat calon istri, namun dalam prakteknya tidak boleh dilakukan hanya
berduaan. Sebab berduaan dengan wanita yang masih belum halal menjadi istri
adalah perbuatan yang diharamkan, sebagaimana hadis berikut ini :
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Tidaklah seorang laki-laki
berduaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah setan. (HR. At-Tirmizy)
f. Mengirim Utusan Untuk
Melihat
Melihat bagian yang
termasuk aurat dan menyentuh langsung memang diharam, lalu bagaimana memastikan
bahwa tidak ada cacat atau hal-hal yang sekiranya kurang disukai? Apakah harus
membeli kucing dalam karung?
Salah satu jalan keluarnya
adalah lewat utusan atau perwakilan. Pihak suami mengutus wanita yang menjadi
mahramnya kepada calon istrinya, untuk berkenalan dan melihat langsung kondisi
fisik maupun non fisiknya.
Tentu karena sama-sama
wanita, maka diperbolehkan melihat rambutnya, kulitnya, tubuh dan bagian-bagian
lainnya.
Bahkan Rasulullah SAW
sendiri juga melakukan hal yang sama. Disebutkan ketika akan menikahi salah
seorang istrinya, beliau mengutus Ummu Sulaim dan memintanya untuk melihat dan
menilai.
Beliau SAW bersabda :
شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا
Ciumlah aroma mulutnya dan
perhatikan 'urqubnya. (HR. Ahmad)
Urqub oleh banyak
diterjemahkan sebagai tulang lunak di atas tumit atau betis.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/