Assalammu'alaikum
Ustadz, saya ingin bertanya. Saya telah mendengar dari perkataan dosen ushul fiqh saya, bahwasanya jikalau orang yang berzina itu tidak akan diampuni dosanya, terkecuali orang tersebut harus dirajam.
Dan tidak akan bisa diampuni oleh tebusan kebaikan apapun. Karena hukuman orang yang berzina itu dalam islam, tidak ada cara lain, yaitu harus dirajam. Yang sampai saat ini ada dipikiran saya, zaman sekarang bagaimana orang yang berzina bisa dihukum rajam, sedangkan bila hukuman itu terlaksana, itu akan melanggar HAM di indonesia saat ini?
Ustadz, saya ingin bertanya. Saya telah mendengar dari perkataan dosen ushul fiqh saya, bahwasanya jikalau orang yang berzina itu tidak akan diampuni dosanya, terkecuali orang tersebut harus dirajam.
Dan tidak akan bisa diampuni oleh tebusan kebaikan apapun. Karena hukuman orang yang berzina itu dalam islam, tidak ada cara lain, yaitu harus dirajam. Yang sampai saat ini ada dipikiran saya, zaman sekarang bagaimana orang yang berzina bisa dihukum rajam, sedangkan bila hukuman itu terlaksana, itu akan melanggar HAM di indonesia saat ini?
Apakah benar, jalan satu-satunya agar dapat diampuni dosa orang berzina tersebut hanya dirajam saja ustadz? Dan bila org itu (yang berzina) tidak dirajam sampai sepeninggalnya, apakah ia akan mempunyai hutang di dunia dan tidak akan diampuni dosa berzinanya itu?
Mohon jawaban dari ustadz. Jazakumullahulakum katsiran.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Benar sekali bahwa hukuman
buat orang yang berzina adalah rajam, yaitu hukuman mati dengan cara dilempari
batu.
Namun walaupun demikian,
perlu diketahui bahwa rajam bukan satu-satunya hukuman. Selain rajam, juga ada
hukuman cambuk 100 kali buat pezina. Bahkan hukum cambuk malah didasari
langsung dengan ayat Al-Quran :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Wanita dan laki-laki yang
berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas
kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS.
An-Nuur : 2)
Sedangkan dasar masyru'iyah
rajam kita dapati pada hadits Nabi :
وَاغْدُ يَا أُنَيْس عَلىَ امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Wahai Unais, datangi wanita
itu dan bila dia mengaku zina maka rajamlah
Lalu kapan orang yang
berzina itu dihukum rajam dan kapan dihukum cambuk?
Rajam adalah hukuman khusus
buat orang yang berzina dengan status muhshan, yaitu sudah menikah. Sedangkan
cambuk 100 kali adalah hukuman buat yang belum menikah. Baik rajam atau pun
cambuk 100 kali, sama-sama disepakati oleh para ulama sebagai hukum hudud,
yaitu hukuman yang cara dan bentuknya 100% ditetapkan oleh Allah SWT secara
langsung.
Syarat Diterapkannya Hukum
Rajam
Benar sekali bahwa orang yang
terlanjur berzina, dia harus menjalani hukuman sesuai dengan ketentuan dari
Allah SWT, yaitu dihukum rajam atau cambuk. Namun untuk menjalankan hukum
rajam dan cambuk itu, Allah SWT juga telah mengatur dan membuat syarat serta
ketetapan yang wajib dilaksanakan. Salah satunya adalah mengharuskan hakim
untuk menghindari keduanya, selama masih ada syubuhat. Rasulullah SAW bersabda
:
اِدْرَؤُوا الحُدُودَ باِلشُّبُهَاتِ
Hindarilah hukum hudud
dengan masih adanya syubuhat.
Ada beberapa syarat untuk
dapat menerapkan hukum rajam dan hukum-hukum hudud lainnya, antara lain :
1. Wilayah Hukum
Resmi
Hukum rajam dan hukum-hukum
syariah lainnya harus diberlakukan secara resmi terlebih dahulu sebuah wilayah
hukum yang resmi menjalankan hukum Islam. Di dalam wilayah hukum itu
harus ada masyarakat yang melek hukum syariah, sadar, paham, mengerti dan tahu
persis segala ketentuan dan jenis hukuman yang berlaku. Ditambahkan lagi mereka
setuju dan ridha atas keberlakuan hukum itu.
2. Adanya Mahkamah
Syar'iyah
Pelaksanaan hukum rajam itu
hanya boleh dijalankan oleh perangkat mahkamah syar'iyah yang resmi dan sah.
Mahkamah ini hanya boleh dipimpin oleh qadhi yang ahli di bidang syariah Islam.
Qadhi ini harus ditunjuk dan diangkat secara sah dan resmi oleh negara, bukan
sekedar pemimpin non formal.
3. Peristiwa Terjadi di
Dalam Wilayah Hukum
Kasus zina dan kasus-kasus
jarimah lainnya hanya bisa diproses hukumnya bila kejadiannya terjadi di dalam
wilayah hukum yang sudah menerapkan syariah Islam di atas. Sebagai
ilustrasi, bila ada orang Saudi berzina di Indonesia, tidak bisa diproses
hukumnya di wilayah hukum Kerajaan Saudi Arabia. Dan sebaliknya, meski
berkebangsaan Indonesia, tetapi kalau berzina di wilayah hukum Kerajaan Saudi
Arabia, harus dijatuhi hukum rajam.
4. Terpenuhi Semua Syarat
Bagi Pelaku Zina
Tidak semua pelaku zina
bisa dijatuhi hukum rajam. Setidaknya-tidaknya dia harus seorang muhshan yang
memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu beragama Islam, usianya sudah mencapai
usia baligh, sehat akalnya alias berakal, berstatus orang merdeka dan bukan
budak, iffah dan sudah menikah (tazwij). Bila salah satu syarat di atas
tidak terpenuhi, maka hukum rajam batal demi hukum, tidak bisa dilaksanakan,
malah hukumnya terlarang berdasarkan syariat Islam.
5. Kesaksian 4 Orang Atau
Pengakuan Sendiri
Untuk bisa diproses di
dalam mahkamah syar'iyah, kasus zina itu harus diajukan ke meja hijau. Hanya
ada dua pintu, yaitu lewat kesaksian dan pengakuan diri sendiri pelaku
zina. Bila lewat kesaksian, syaratnya para saksi itu harus minimal
berjumlah 4 orang, semuanya laki-laki, akil, baligh, beragama Islam, dan
semuanya melihat langsung peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam
kemaluan perempuan yang berzina, secara langsung dan bukan dengan rekaman, di
waktu yang bersamaan. Saking susahnya syarat kesaksian ini, maka dalam
kenyataannya Rasulullah SAW sendiri belum pernah menjatuhkan hukum rajam pada
kasus-kasus zina yang didasarkan pada kesaksian orang lain. Selama tiga kali
kasus pezina dijatuhi hukuman rajam, semuanya didasarkan hanya pada pengakuan
yang bersangkutan. Maka kalau kita simpulkan, betapa sulitnya penerapan
hukum rajam ini, bahkan Rasulullah SAW tidak bisa menerapkan hukuman ini
seenaknya saja. Beliau pernah menolak wanita yang menyerahkan dirinya untuk
dirajam, lantaran masih banyak syarat yang tidak terpenuhi.
Apakah Rajam Menjadi Syarat
Diterimanya Taubat?
Maka kalau rajam ini
dijadikan syarat diterimanya taubat, rasanya agak berlebihan. Agak kurang
tepat kalau dikatakan bahwa dilaksanakannya hukuman ini bukan menjadi syarat
diampuninya dosa. Masalahnya meski yang berzina rela dirajam, belum tentu hukum
rajamnya bisa diterapkan.
Lantas apakah pelaku zina
itu jadi tidak bisa diterima taubatnya, cuma gara-gara secara prosedur tidak
dimungkinkan pelaksanaan hukuman rajam?
Jawabannya tentu tidak. Urusan ampunan itu tidak ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan hukum rajam. Urusan ampunan itu ditentukan dari apakah pelakunya bertaubat atau tidak. Jadi walaupun seorang pezina dijatuhi hukum rajam, tetapi bila di dalam dirinya sendiri dia tidak bertaubat, maka tidak akan diampuni. Sebaliknya, meski tidak diterapkan hukum rajam dengan berbagai problematikanya, asalkan seorang pezina sudah bertaubat, tentu Allah SWT Maha Pengampun. Kita tidak bilang pasti diterima taubatnya, namun kita tahu Allah SWT Maha Penerima taubat.
Tentu kita tetap wajib menegakkan hukum syariat, termasuk di dalamnya hukum rajam. Namun langkahnya harus runtut, yaitu mulai dari pendidikan hukum Islam di semua lini kehidupan. Kalau bangsa ini bisa kita cerdaskan, sehingga melek hukum syariah, amatlah mudah mendirikan wilayah hukum yang secara resmi menerapkan hukum Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/