Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Selasa, 03 Februari 2015

Rumah Cicilan Ini Milik Ayah Atau Milik Ibu?


Assalaamualaikum wr.wb 
Pak Ustadz, Saat Ayah kami meninggal 24 tahun yl, meninggalkan sebuah rumah yang belum lama dimulai cicilannya. Setelah ayah meninggal, ibu menghidupi kami dari pensiunan ayah dan menerima jahitan untuk mencukupinya serta melunasi cicilan rumah tersebut.
Kami 5 bersaudara perempuan semua. Saat ditinggal ayah, kami masih kecil kecil. Kakak tertua baru lulus SMA dan adik terkecil kelas 3 SD.

Pertanyaannya: 
1. Status pemilik rumah ada pada ayah atau ibu atau keduanya, mengingat ibu yg melunasi sebagian besar cicilannya dan juga menghidupi kami berlima.
2. Jika rumah tersebut ternyata adalah hak ayah, apakah warisnya harus segera dibagikan? Atau jika milik ibu dan ayah apakah juga harus dibagikan segera? Sebagai informasi tidak ada hutang yang ditinggalkan ayah.
3. Bagaimana cara pembagiannya? Saat ayah meninggal, selain istri dan 5 anak perempuannya, ayah masih mempunyai 1 saudara laki-laki, 3 saudara perempuan, ibu (nenek), yang saat ini sebagian dari mereka sudah wafat.
Demikian pertanyaan dari kami Ustad... mohon pencerahannya. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang masalah cicilan yang belum lunas dan ditinggal mati oleh pencicilnya agak sedikit bermasalah. Sebab akan ada dua kemungkinan, yaitu apakah barang yang dibeli itu sudah sah dianggap 100% milik pencicil, ataukah hanya sebesar nilai yang sudah dicicilnya saja, lalu sisanya jadi milik orang yang meneruskan cicilan itu.

Potensi perbedaan pendapatnya ada dua kemungkinan. Dan keduanya berangkat dari dua pendekatan logika yang berbeda.

1. Pendekatan Pertama
Pendekatan pertama berasumsi bahwa rumah itu 100% sudah jadi milik Ayah, walaupun masih ada hutang. Dan Ibu dianggap tidak punya hak atau porsi kepemilikan atas rumah itu, kecuali lewat jalur pembagian waris saja.

Logika pendekatan pertama ini bahwa jual-beli cicilan yang dilakukan oleh Ayah dianggap sudah sah sebagai jual-beli, sehingga meski uangnya belum dibayarkan, tetapi rumah itu 100% sudah sah jadi milik Ayah sebagai pembeli.

Kalau pun Ibu meneruskan cicilannya, uangnya pun didapat dari uang pensiun Ayah juga. Pendekatannya, uang pensiun ini adalah uangnya Ayah juga. Jadi seolah-olah Ibu hanya berperan menjadi kasir atau juru bayar saja. Walaupun yang membayarkan cicilannya adalah Ibu, namun secara status rumah 100% milik Ayah.

Dengan pendekatan ini, ketika membagi warisan, rumah itu tidak dibagi dua antara hak ayah dan ibu, karena 100% dianggap milik Ayah. Ibu sama sekali tidak punya hak apapun dari rumah itu sebelumnya. Maka ibu hanya menjadi salah satu pihak yang menerima warisan, tetapi bukan termasuk pemilik rumah.

Untuk memudahkan, kita anggap saja nilai rumah itu 200 juta dengan asumsi 100% milik ayah. Maka rincian pembagian warisnya sebagai berikut :
  • Ibu (sebagai istri almarhum) mendapat warisan 1/8 dari 200 juta, yaitu sebesar Rp. 25 juta.
  • Ibunya Ayah (sebagai ibu almarhum) mendapat 1/6 dari 200 juta, yaitu sebesar Rp. 33 juta
  • Lima anak perempuan almarhum, secara keseluruhan mendapat 2/3 dari 200 juta, yaitu 133 juta. Uang ini nanti dibagi sama rata berlima, jadi masing-masing mendapat Rp. 26 juta
  • Saudara dan saudari Ayah, mereka semua menerima sisa (ashabah) yang nilai totalnya adalah 200 juta dikurangi (25 + 33 + 133 juta) = 8,3 juta. Karena saudara laki harus menerima dua kali lipat dari saudari perempuan, maka saudara laki-laki Ayah menerima Rp. 3,3 juta dan masing-masing saudari ayah menerima Rp. 1,6 juta.

Semua ahli waris ayah di atas harus masih hidup ketika ayah menghembuskan nafas terakhir. Bahwa setelah wafatnya Ayah, ada sebagian dari mereka ikut wafat juga, maka harta mereka dibagi waris lagi sesuai dengan komposisi ahli waris masing-masing.

Perhatikan, dengan menggunakan pendekatan pertama ini, hak ibu sebagai istri almarhum hanya Rp. 25 juta saja. Asumsinya, beliau hanya berposisi sebagai ahli waris dan bukan bagian dari pemilik rumah.

2. Pendekatan Kedua
Kalau pakai logika kedua, pembelian rumah cicilan itu masih belum dianggap sah dengan wafatnya Ayah. Sehingga kepemilikan rumah itu belum secara 100% menjadi milik Ayah.
Maka kepemilikan rumah itu harus dishare dengan pihak yang melunasi hutang cicilan, yang dalam hal ini adalah Ibu. Maka pemilik rumah itu bukan hanya Ayah seorang, tetapi ada Ibu juga sebagai pemiliknya. Sebab yang melunasi sebagian besar cicilannya justru Ibu.
Bukankah uangnya uang milik Ayah juga dari hasil pensiun?

Penjelasannya begini :

Pertama : Masalah Status Uang Pensiun
Uang dana pensiun itu sesungguhnya bukan uang milik Ayah. Sehingga tidak dibagi waris kepada ahli waris. Uang pensiun itu 100% milik ibu, sebagai istri alias janda dari karyawan yang wafat.
Bukti bahwa uang pensiun itu bukan harta Ayah bahwa uang itu tidak berstatus al-milku at-ttam(kepemilikan sempurna) saat Ayah masih hidup. Ketika masih hidup, Ayah bukan pemilik uang pensiun. Beliau tidak bisa memakainya, membelanjakannya, mencairkannya, apalagi menghibahkannya. Status uang itu masih milik negara/kantor tempat Ayah bekerja.

Ketika Ayah wafat, maka negara/kantor memberikan uang pensiun itu yang jelas-jelas dialamatkan ke ibu sebagai janda almarhum. Maka status uang pensiun itu 100% milik Ibu. Dan terserah ibu, mau diapakah uang pensiun itu.
Dalam hal ini uang itu Ibu gunakan untuk melunasinya bukan uang Ayah, maka otomatis Ibu menjadi salah satu pemilik rumah itu. Nilai prosentase kepemilikannya tentu harus disesuaikan porsinya.

Anggaplah nilai total rumah itu 200 juta. Cicilan yang dibayarkan Ayah baru 20 juta dan masih ada hutang 180 juta yang dibayarkan oleh Ibu. Berarti perbandingan hak kepemilkan ayah dan ibu adalah 1 banding 9.
Maka rumah itu tidak bisa dibagi waris begitu saja, sebab 90% nilainya bukan milik almarhum, tetapi milik ibu. Kalau rumah itu mau dibagi waris, maka yang dibagi waris hanya porsi milik ayah saja, yaitu sebesar 10% atau dengan nilai 20 juta. Sedangkan yang menjadi hak ibu tentu tidak boleh dibagi waris, karena masih ada pemiliknya dan masih hidup.

Justru ibu dalam hal ini malah jadi salah satu ahli waris atas harta ayah yang 20 juta itu. Secara lebih lengkap, pembagiannya sebagai berikut :
  • Ibu (sebagai istri almarhum) mendapat warisan 1/8 dari 20 juta, yaitu sebesarRp. 2,5 juta.
  • Ibunya Ayah (sebagai ibu almarhum) mendapat 1/6 dari 20 juta, yaitu sebesar Rp. 3,3 juta
  • Lima anak perempuan almarhum, secara keseluruhan mendapat 2/3 dari 20 juta, yaitu 13,3 juta. Uang ini nanti dibagi sama rata berlima, jadi masing-masing mendapat Rp. 2,6 juta
  • Saudara dan saudari Ayah, mereka semua menerima sisa (ashabah) yang nilai totalnya adalah 20 juta dikurangi (2,5 + 3,3 + 13,3 juta) = 833 ribu. Karena saudara laki harus menerima dua kali lipat dari saudari perempuan, maka saudara laki-laki Ayah menerima Rp. 333 ribu dan masing-masing saudari ayah menerima Rp. 166 ribu.
Perhatikan, dengan pendekatan kedua ini, maka harta ibu sebagai istri almarhum adalah Rp. 182,5 juta. Rinciannya, Rp. 180 adalah harta milik beliau asli yaitu atas kepemilikan rumah. Dan ditambah Rp. 2,5 juta  yang merupakan harta dari hak waris.

Apakah Harta Waris Harus Segera Dibagi?Tentu saja harta waris harus segera dibagi, biar semua ahli waris segera mendapatkan hak-haknya. Haram hukumnya mendunda-nunda pembagian harta warisan. Karena berarti menahan hak milik seseorang dan itu merupakan tindakan kezaliman.
Namun jangan salah paham, bahwa yang namanya pembagian harta waris tidak harus dilakukan dengan cara menjual semua harta itu ke orang lain lalu uangnya dibagi-bagi. Tidak harus seperti itu.

Bukankah kita juga mengenal sistem kepemilikan bersama dari beberapa orang atas suatu barang yang sama. Jadi yang kita bagi tidak lain sebatas nilai saham atau nilai prosentase kepemilikannya. Adapun barang itu nanti oleh masing-masing pemiliknya mau dijual, atau disewakan, atau mau dipakai bersama-sama, tidak ada masalah dan silahkan disepakati antar sesama pemilik.

Boleh jadi salah satu pemilik rumah ingin membeli hak milik yang lain, asalkan keduanya sama-sama rela, bisa-bisa saja dilakukan. Atau sebaliknya, salah satu pemilik ingin menjual 'saham' miliknya kepada orang lain lagi, itupun asalkan semua pihak setuju, bisa juga dilakukan.

Artinya, rumah milik bersama kalau belum menguntungkan untuk dijual, tidak harus buru-buru dijual. Apalagi mungkin nilainya akan merosot. Bisa saja para pemilik rumah itu kompak untuk menggunakan bersama, entah disewakan atau lainnya.

Yang penting, setiap ahli waris sudah tahu berapa 'jatah' bagiannya dari suatu harta. Sedangkan bagaimana harta itu mau diolah, silahkan dirembuk bersama dan yang ini tidak harus dilakukan dengan cara buru-buru.
Demikian jawaban kami semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru