Assalamu'alaikum wr. wb.
Maaf pak Ustadz, saya
langsung saja. Adakah haji badal itu, bagaimana hukumnya? Seorang teman telah
menghajikan almarhum ayahnya yang telah wafat dengan cara membayari orang lain
untuk berhaji dan kemudian mendapatkan sertifikat. Logika saya tidak sependapat,
tapi saya masih awam, sehingga saya bertanya pada pak Ustadz. Jika sah, apa
saja persyaratannya? Apakah memang ada dasar hukumnya? Terima kasih banyak.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Jawaban :
Assalamu `alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Boleh-boleh saja kita
mengatakan bahwa sebuah ritual agama tidak masuk logika. Sebab memang yang
namanya ritual tidak membutuhkan logika. Ritual hanya butuh petunjuk dan
panutan resmi, namun tidak butuh logika.
Sama halnya dengan ritual
mengusap khuff (sepatu) sebagai pengganti dari mencuci kaki
saat wudhu'. Secara logika sangat tidak masuk akal, sebab ternyata yang diusap
bukan bagian bawah sepatu, malah bagian atasnya. Ini tidak masuk logika bukan?
Karena itulah sayyidina Ali
bin Abi Thalib mengomentari masalah ini dengan ungkapannya yang fenomenal,
"Seandainya agama itu semata-mata mengacu kepada logika, seharusnya yang
diusap bagian bawah sepatu, bukan bagian atasnya."
Namun inilah hakikat agama
dan ibadah ritual, tata caranya sama sekali tidak menggunakan logika, melainkan
menggunakan petunjuk resmi dari Rasuullah SAW. Sebagaimana juga dalam masalah
badal haji yang anda pertanyakan itu. Secara logika, mungkin kita agak sedikit
kurang bisa menerima, tapi begitulah petunjuk Rasulullah SAW tentang haji.
Sebab bukankah shalat kta,
ibadah kita, hidup dan mati kita hanya semata-mata untuk Allah? Jika demikian,
maka semua itu tidak kita lakukan kecuali atas petunjuk resmi dari Allah, bukan
atas logika dan perasaan manusiawi.
Badal Haji
Badal haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam.
Bentuknya seseorang adalah melakukan ibadah haji namun pahalanya diniatkan bagi
orang lain, baik yang masih hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah
wafat.
Dasarnya adalah hadits
Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa
seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan
bertanya,"Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana
sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah haji untuknya?"
Rasulullah SAW menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah
lebih berhak untuk dibayar." (HR
Bukhari).
Haji Badal atau al-hajju
anil ghair mensyaratkan bahwa orang yang melakukan badal itu harus
sudah menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, karena itu merupakan kewaiban
tiap muslim yang mampu. Setelah kewajibannya sudah tunai dilaksanakan, bolehlah
dia melakukan haji sunnah atau pergi haji yang diniatkan untuk orang lain.
Dalam hal ini tidak
disyaratkan harus orang tua sendiri atau bukan, juga tidak disyaratkan harus
sama jenis kelaminnya. Juga tidak disyaratkan harus sudah meninggal.
Seorang wanita dari
Khats`am bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya
untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di
atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?" Rasulullah SAW
menjawab,"Ya." (HR Jamaah)
Kebolehan menghajikan orang
masih hidup ini didukung oleh Ibnul Mubarak, Imam Asy-Syafi`i, Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan tata aturannya sama persis dengan haji
biasa, yang membedakan hanya niatnya saja.
Tentunya baik dan buruknya
kualitas ibadah itu akan berpengaruh kepada nilai dan pahala disisi Allah SWT.
Dan bila diniatkan haji itu untuk orang lain, tentu saja apa yang diterima oleh
orang lain itu sesuai dengan amal yang dilakukannya.
Adapun masalah sertifikat,
sebenarnya tidak ada dasar syariahnya. Sertifikat itu hanya sekadar pengganti
kuitansi bahwa yang bersangkutan telah benar-benar menjalankan amanah, yaitu
mengerjakan haji dengan niat agar pahalanya disampaikan kepada pihak tertentu
yang meminta.
Wallahu a`lam bishshawab,
wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/