Assalamu 'alaikum wr. wb.
Masih saja saya merasa agak terganggu dengan adanya sebagian saudara kita yang menggunakan sistem hisab atau perhitungan astronomi dalam urusan ibadah. Sebenarnya bagaimana kedudukan sistem hisab dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan atau pun 1 Syawwal dalam ilmu fiqih Islam? Terima kasih sebelumnya.
Masih saja saya merasa agak terganggu dengan adanya sebagian saudara kita yang menggunakan sistem hisab atau perhitungan astronomi dalam urusan ibadah. Sebenarnya bagaimana kedudukan sistem hisab dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan atau pun 1 Syawwal dalam ilmu fiqih Islam? Terima kasih sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Menggunakan metode hisab
untuk menentukan awal Ramadhan atau Syawwal sesungguhnya merupakan hal yang
diperdebatkan oleh fuqaha di masa lalu.
Tetapi kalau harus jujur
dan amanah apa adanya, memang dalam literatur agama Islam tercatat bahwa
umumnya para fuqaha menolak keabsahan metode hisab ini dan lebih menggunakan
rukyatul hilal.
Namun pemikiran tentang
penggunaan hisab untuk menetapkan hilal Ramadhan dan Syawwal kalau mau diteliti
lebih jauh, kita akan menemukan pendapat yang membolehkan pada satu dua
pendapat orang tertentu, meski pun sebenarnya penisbatannya masih juga menjadi
perdebatan.
1. Jumhur : Tidak Membolehkan
Kebanyakan pendapat sepanjang
zaman mengatakan bahwa tidak sah menggunakan metode hisab untuk menetapkan awal
Ramadhan dan Syawwal.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Pendapat yang muktamad dari
mazhab Al-Hanafiyah bahwa syarat wajibnya puasa dan lebaran adalah rukyatul
hilal. Dan pendapat muaqqitin diabaikan saja meski punya sifat adil. Dan siapa
saja yang mengikuti imam seperti itu maka dia telah menyalahi syariat.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Madzhab Al-Malikiyah dengan
tegas menolak penggunaan hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Di dalam
kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir karya Ad-Dardir disebutkan :
tidak sah penentuan awal
Ramadhan dengan mengikuti al-munajjim (ahli bintang),
maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik untuk
diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain.[1]
Selain itu Al-Malikiyah
juga mempersalahkan pemerintah apabila menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal
dengan menggunakan hisab, serta menyebutkan tidak perlu ikut imam dalam kasus
seperti ini.
إِنَّ الإْمَامَ الَّذِي
يَعْتَمِدُ عَلَى الْحِسَابِ لاَ يُقْتَدَى بِهِ وَلاَ يُتَّبَعُ
Imam yang berpegangan
kepada hisab tidak dijadikan pemimpin dan tidak perlu diikuti.
c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Ulama kenamaan dari mazhab
Asy-Syafi'iyah, Al-Imam An-Nawawi menuliskan masalah ini di dalam Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab : [2]
لاَ يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ
إِلاَّ بِدُخُولِهِ وَيُعْلَمُ دُخُولُهُ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَل فَإِنْ غُمَّ
وَجَبَ اسْتِكْمَال شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ يَصُومُونَ سَوَاءٌ كَانَتِ
السَّمَاءُ مُصْحِيَةً أَوْ مُغَيِّمَةً غَيْمًا قَلِيلاً أَوْ كَثِيرًا
Tidaklah diwajibkan puasa
Ramadhan kecuali telah masuk. Dan masuknya diketahui dengan rukyatul-hilal.
Apabila terhalang awan wajiblah istikmal bulan sya'ban menjadi 30 hari.
Kemudian berpuasalah, sama saja apakah langit terang atau gelap, gelap sedikit
atau banyak.
d. Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawanya yang terkenal itu menegaskan bahwa
orang-orang yang berpegangan kepada hasil perhitungan (hisab) dalam penetapan
hilal, hukumnya sesat di dalam syariah, dan merupakan bid’ah di dalam
agama. [3]
2. Pendapat Yang Membolehkan
Namun kalau ditelurusi
lebih jauh, tentu masih ada sebagian kalangan yang mendukung metode hisab. Di
antaranya Mutarrif bin Abdullah Asy-Syikhkhir (w. 87 H) dari kalangan kibarut-tabi’in,
Abul Abbas bin Suraij (w. 306 H) dari kalangan Asy-Syafi'iyah, dan Ibu Qutaibah
(w. ) dari kalangan muhadditsin.
Ketiga tokoh ini konon
dianggap punya pendapat bahwa apabila hilal tidak nampak, digunakan hisab dan
bukan dengan cara menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.
Pendapat hisab ini didasarkan
atas penafsiran dari hadits lainnya, yaitu :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
"Puasalah dengan
melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak
olehmu, maka kadarkanlah". (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kata faqduru lahu ditafsirkan
oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena qadar atau
ukuran artinya adalah hitungan. [4]
Namun penisbatan Muhtarrif
sebagai tokoh yang membolehkan penggunaan hisab masih jadi perdebatan. Sebab
Ibnu Abdil Barr berkata bahwa Muhtarrif tidak berpendapat demikian. Dan
dikuatkan lagi oleh Ibnu Rusydi yang mengatakan bahwa
Namun menurut jumhur ulama,
makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu
hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya'ban menjadi 30 hari,
sebagaimana hadits shahih di atas.
Dari keterangan ini bisa
kita simpulkan bahwa penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan bukan pendapat
jumhur ulama, melainkan pendapat sebagian ulama.
Dan lebih penting dari itu
semua, penggunaan hisab tidak disandingkan dengan ru'yatul hilal,
apalagi mengalahkannya. Metode hisab baru digunakan manakala sistem ru'yah
tidak bisa berjalan karena langit tertutup awan. Hal ini ditegaskan dengan
sabda Rasulullah SAW,
"Kalau tidak nampak
hilal dalam pandangan kalian, maka..."
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[1] Asy-Syarhu
Ash-Shaghir li Ad-Dardir, jilid 1 hal. 241
[2] Al-Imam An-Nawawi,
Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab
[3] Ibnu Taimiyah,
Majmu’ Fatawa, jilid 5 hal. 207
[4] Ibnu Rusydi
Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, jilid 2 hal.
46-47