Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Kamis, 08 Januari 2015

Zakat Dagangan Modal Patungan, Bagaimana Menghitungnya?


Assalamu 'alaikum warohmatullohi wa barakaatuh.
Semoga asatidz rumahfiqih ini selalu diberikan kesehatan dan barokah kehidupan. Aaamiin.
Gini ustadz, pada akhir bulan maret 2013 saya dan kakak saya mencoba melakukan usaha dari nol dalam bentuk jualan busana muslimah secara online khususnya jilbab dengan modal patungan. Uang yang kami jadikan modal awal pada saat itu sejumlah 20 juta.
Dengan uang tersebut kami beli peralatan seperti etalase, handphone, domain, hosting, dll. Sisanya kami belikan untuk jilbab.
Seiring waktu berjalan usaha kami ini mengalami perkembangan sehingga di tengah-tengah perjalananan modal mengalami penambahan, terutama setelah adanya tambahan modal dari 3 saudara kami lainnya yang ikut gabung dalam usaha ini sehingga pada saat pertanyaan ini sy buat total modal menjadi 95 juta (total semua termasuk yang dibelikan buat peratalan)

Yang ingin saya tanyakan
  1. Apakah pada akhir bulan maret 2014 kami harus mengeluarkan zakat dalam artian apakah sudah nishab dan haul?
  2. Apakah total nishab ini dari modal + keuntungan atau dari modal saja.
  3. Jika sudah wajib zakat bagaimana cara hitungan praktisnya dari barang dagangan dengan modal hasil patungan?
  4. Zakat yang harus dikeluarkan diambil dari modal atau keuntungan?
Cat: Setiap pemilik modal mendapatkan keuntungan berdasarkan presentase dari modal masing-masing.
Terima kasih.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada hal penting untuk diketahui terlebih dahulu sebagai dasar pijakan, yaitu fenomena semakin banyaknya 'ijtihad kreatif' tentang zakat, lalu masing-masing hasil ijtihad itu satu sama lain saling  tumpang tindih.

Di satu sisi kita gembira dengan adanya 'ijtihad' kreatif ini. Namun juga harus hati-hati, karena ternyata kita menemukan banyak sekali konten ijtihad mengubah dan serta mengobrak-abrik dari fiqih zakat aslinya. Dan tidak sedikit yang malah keluar jauh melenceng dari fiqih zakat original yang dahulu telah ditetapkan oleh para fuqaha.

Sayangnya, perubahan demi perubahan terjadi begitu saja, dimana siapa pun orang merasa berhak untuk berijtihad seenaknya, walaupun sesungguhnya tanpa disadari dia sedang melanggar dan menentang apa yang sudah selama ini disepakati para ulama.

Hari ini muncul begitu banyak nama-nama zakat 'baru'  yang  sepanjang 14 abad ini tidak pernah ada. Selain itu juga muncul perluasan-perluasan dalam ketentuan harta yang wajib dizakatkan, padahal dahulu para ulama sudah sangat hati-hati dalam menetapkannya.

Dan karena siapa saja merasa berhak bikin aturan-aturan zakat semaunya, akhirnya ketentuan zakat satu dengan yang lain jadi saling tumpang tindih, juga bertambah runyam dan makin semrawut.

Apakah suatu harta terkena zakat atau tidak, tidak akan pernah mencapai kata sepakat. Sebab tiap-tiap orang bisa seenaknya bikin aturan main sesuai selera mereka sendiri. Lalu bagaimana tata cara menghitung zakatnya, bagaimana menentukan nishabnya, apakah harus pakai haul atau tidak, juga tidak akan ada kata sepakat. Sebab di depan hidung kita terdapat lusinan versi tata cara menghitug zakat yang saling berbeda.

Maka jangan kaget kalau pertanyaan-pertanyaan Anda di atas disampaikan kepada 10 pihak yang berbeda, Anda akan mendapatkan 10 jawaban yang saling berbeda juga.

Kenapa?
Karena fenonema yang saya bilang tadi, bahwa hari ini tiap orang merasa berhak menetapkan tata cara menghitung zakat berdasarkan selera dan kecenderungan masing-masing.

Gawat sekali, bukan?
Dengan dalih bahwa pintu ijtihad masih terbuka, serta alasan bahwa zaman sekarang ini sudah berbeda dengan zaman dahulu, maka lahir sebuah keyakinan bahwa siapa saja boleh dengan seenaknya bikin aturan sendiri dalam masalah fiqih zakat.

Siapa saja merasa berhak untuk berijtihad, mereka merasa sah-sah saja untuk menambah-nambahi segala ketentuan zakat, termasuk menambahi, mengurangi, mengotak-atik, membongkar pasang, mencomot sana-sini dan membuat ulang tata cara aturan dalam zakat yang sama sekali belum pernah dikenal sebelumnya.

Sayangnya, kalau saya perhatikan, hampir semua lembaga zakat terjebak dengan arus pemikiran seperti itu. Ada satu kecenderungan yang sama bahwa semua 'ijtihad baru' itu mengarah ke satu titik, yaitu bagaimana bisa menarik dana sebesar-besarnya dari umat dengan mengatas-namakan zakat.

Posisinya hanya sebelas duabelas dengan logika para petugas pajak yang berprinsip bahwa harta apapun milik rakyat akan diupayakan bisa ditarik pajaknya. Wajar kalau rakyat mengeluh, sedikit-sedikit kena pajak, sedikit-sedikit kena pajak.

Para 'mujtahid' zakat yang kreatif hari ini menggunakan logika yang kurang lebih sama, yaitu menarik harta apapun jenisnya dari masyarakat. Dan karena zakat ini punya 'kekuatan' untuk menekan, korbannya adlaah fiqih zakat yang dipermak sedemikian rupa, ditarik kesana kemari dalilnya, akhirnya nyaris semua harta milik umat ini jadi kena zakat.

Wajar kalau banyak orang awam mengeluh, kok sedikit-sedikit kena zakat? Kalau begini caranya, lama-lama kencing di WC umum pun bisa kena zakat juga.

Ketentuan Fiqih Zakat Original Tentang Barang Yang Diperdagangkan
Maka saya dalam hal zakat ini tidak akan berijtihad, karena saya memang bukan mujtahid. Sama sekali saya tidak berhak untuk berijtihad dan tidak ingin sok bikin-bikin aturan 'baru' dalam fiqih zakat.

Posisi saya hanya menyampaikan amanat ilmu dari para fuqaha dan mujtahidin yang original secara apa adanya. Rujukannya tentu kitab-kitab fiqih yang muktamad, sebagaimana kita yakini bahwa mereka itulah yang ulama. Kesanalah kita merujuk. Kalau mau dipakai silahkan, dan kalau mau ditinggalkan, toh saya tidak punya kuasa juga.

Ada beberapa ketentuan dalam masalah zakat atas barang yang diniatkan untuk dijadikan barang dagangan. Beberapa ketentuan itu antara lain adalah :

1. Bukan Zakat Transaksi Tapi Zakat Kepemilikan Barang
Dalam fiqih zakat yang original, sebenarnya tidak dikenal zakat perusahaan, atau zakat jual-beli. Yang dikenal hanyalah zakat atas barang-barang yang ditimbun (distok) dengan niat untuk dijual. 
Makanya dalam khazanah fiqih kita tidak mengenal istilah zakat tijarah (zakat perdagangan), tetapi yang dikenal adalah zakat 'urudhu at-tijarah (zakat barang dagangan). 

Zakat ini memang bukan zakat perdagangan, melainkan zakat yang dikenakan atas barang-barang yang dimiliki, entah dengan cara membelinya atau membuatnya, namun memang judulnya untuk diperdagangkan.
Dengan kata lain, zakat barang perdagangan ini dihitung bukan dari asset yang digunakan untuk perdagangan atau dari profit yang diterima, namun dari barang-barang yang dibeli dan ditimbun selama satu tahun qamariyah dan nilainya setara dengan 85 gram emas. 

Dengan demikian, kalau seseorang buka toko kelontong misalnya, maka modal untuk membeli asset seperti tanah, bangunan toko, lemari, rak, cash register, kulkas, timbangan dan semua perlengkapan yang ada di dalam toko, tidak termasuk yang harus dihitung untuk dikeluarkan zakatnya.
Yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dikeluarkan untuk membeli stok yang ditimbun selama setahun di toko itu. Kalau barang-barang itu tidak ditimbun, tentu tidak kena zakat. Dan kalau barang itu cuma titipan, bukan milik pedagang, juga tidak kena zakat. 
Begitu juga kalau barang jualan yang ditimbun itu belum senilai 85 gram emas, juga tidak ada zakatnya.

Ijtihad Kreatif
Sedangkan kalau pakai logika ijtihad kreatif kontemporer buatan zaman sekarang, nama zakatnya saja sudah jauh berbeda, yaitu zakat jual-beli atau zakat transaksi perdagangan. Seratus persen merujuk kepada logika petugas pajak, dimana setiap jual-beli atau transaksi terkena pajak, maka apapun jual-beli yang dilakukan oleh dua pihak, diijtihadkan 'harus' terkena zakat juga.
Dengan ijtihad model begini, yang paling untung memang lembaga zakat. Memanfaatkan keawaman umat Islam dalam fiqih zakat, mereka setuju-setuju saja kalau tiap-tiap transaksi langsung terpotong zakat. 

Tentu saja tata cara ini tidak akan kita temukan di semua kitab fiqih manapun, kecuali dalam ijithad-ijtihad kreatif versi zaman sekarang. Dan tentu tidak akan kita temukan sepotong dalil pun dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang pajak yang diberinama zakat ini.

2. Nilai Barang Yang Ditimbun Melewati Nisab
Nisab zakat barang perdagangan disamakan dengan nisabh zakat emas, yaitu 85 gram. Misalnya, harga emas sekarang ini Rp. 500.000,- per gram, maka nishab zakat barang perdagangan adalah 85 gram x Rp. 500.000,- = Rp. 42.500.000.
Coba periksa gudang tempat penyimpanan stok barang Anda, adakah nilai totalnya seharga 42,4 juta? Kalau sudah melebihi, berarti sudah terkena nishab. Tetapi kalau belum senilai itu, tentu saja belum terkena nishab. 

3. Ditimbun Setahun Qamariyah
Penyimpanan barang dagangan yang nilainya 42,5 juta itu juga menjadi salah satu faktor. Kalau ditimbun selama selama satu tahun qamariyah, maka barulah wajib dikeluarkan zakatnya. 
Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi. 
Maka Anda harus mencatat sejak kapan mulai menyimpan stok dagangan senilai 42,5 juta itu. Dan tanggal bulannya harus menggunakan tanggal bulan qamariyah, bukan berdasarkan kalender masehi.

4. Waktu Pembayaran
Pembayaran zakat barang perdagangan dilakukan tiap satu tahun sekali. Istilahnya adalah satu haul sesuai dengan hitungan tahun hijriyah. Tetapnya adalah pada akhir masa setelah melewati satu haul itu, terhitung sejak memenuhi nishab dan syarat-syarat lainnya.
Yang sering terjadi kesalahan di tengah masyarakat adalah bahwa semua zakat ditunaikan di bulan Ramadhan, baik zakat fithr, atau pun zakat-zakat lainnya, termasuk zakat harta perdagangan.

5. Bentuk Zakat Yang Dibayarkan
Aslinya bentuk harta yang dibayarkan sesuai dengan jenis harta yang diperjual-belikan. Misalnya, dalam jual-beli pasir, maka yang bila telah memenuhi syarat, yang disetorkan kepada baitulmal adalah pasir juga. Dalam jual-beli minyak maka yang dibayarkan juga berbentuk minyak juga.
Namun para ulama membolehkan bila harta yang wajib dikeluarkan zakatnya diserahkan dalam bentuk uang yang nilainya setara. Hal itu sesuai dengan ketentuan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu :
قَوِّمْهَا ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا
Taksirlah nilainya dan bayarkan zakatnya.

6. Prosentase Nilai Yang Dibayarkan
Besar zakat yang dikeluarkan adalah rub'ul-usyr (ربع العشر) atau seperempat dari sepersepuluh. Kalau pusing memahaminya, mudahnya adalah 1/40 atau 2,5 % harta itu.
Nilai itu dihitung dari besarnya barang yang diperjual-belikan atau distok oleh pedagang. Misalnya nilai barang-barang itu totalnya menjadi 100 juta rupiah, maka yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah 2,5 juta rupiah. 
Demikianlah sedikit pembahasan terkait dengan Zakat 'Urudhu At-Tijarah (Zakat Barang Yang Diperdagangkan). Semoga pemahaman kita menjadi lebih luas dalam ilmu fiqih, khususnya fiqih zakat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru