Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz, kalau dihitung-hitung harta kekayaan saya saat ini sebenarnya sudah terbilang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Teman saya bilang saya berdosa kalau tidak segera melaksanakannya.
Apakah benar kalau sudah mampu pergi haji tetapi tidak segera melaksanakanya, saya jadi berdosa? Mohon penjelasan dari ustadz.
Wassalam
Ustadz, kalau dihitung-hitung harta kekayaan saya saat ini sebenarnya sudah terbilang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Teman saya bilang saya berdosa kalau tidak segera melaksanakannya.
Apakah benar kalau sudah mampu pergi haji tetapi tidak segera melaksanakanya, saya jadi berdosa? Mohon penjelasan dari ustadz.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Bila seseorang telah dapat memenuhi syarat kemampuan dalam arti dia punya uang untuk berangkat haji, tentu sangat diutamakan agar menyegerakan berangkat haji.
Bila seseorang telah dapat memenuhi syarat kemampuan dalam arti dia punya uang untuk berangkat haji, tentu sangat diutamakan agar menyegerakan berangkat haji.
Namun muncul perbedaan
pendapat di kalangan para ulama, apakah hukum menyegerakan berangkat haji,
apakah wajib sehingga kalau tidak segera berangkat maka dia berdosa? Ataukah
dibolehkan baginya untuk menunda keberangkatannya sampai tahun-tahun mendatang?
Para ulama berbeda
pandangan tentang apakah sifat dari kewajiban itu harus segera dilaksanakan, ataukah
boleh untuk ditunda.
Jumhur ulama di antaranya
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan A-Hanabilah menegaskan bahwa ibadah haji
langsung wajib dikerjakan begitu seseorang dianggap telah memenuhi syarat
wajib, tidak boleh ditunda-tunda..[1]
Dalam istilah yang sering
dipakai oleh para ulama, kewajiban yang sifatnya seperti ini disebut denganal-wujubu
‘ala al- fauri (الوجوب على الفور).
Menunda berangkat haji
padahal sudah mampu termasuk dosa yang harus dihindari menurut pendapat mereka.
Dan bila pada akhirnya dilaksanakan, maka hukumnya menjadi haji qadha', namun
dosanya menjadi terangkat.
Ada banyak dalil yang
dikemukakan oleh mereka yang mewajibkan, antara lain :
a. Diancam Mati Sebagai
Yahudi atau Nasrani
Orang yang punya harta dan
mampu pergi haji, kalau dia menunda-nunda keberangkatannya, maka diancam kalau
mati bisa mati sebagai Yahudi atau Nasrani. Hal itu didasarkan pada hadits
berikut ini :
مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً
تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلاَ عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ
يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا
Orang yang punya bekal dan
kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tapi dia
tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan yahudi
atau nasrani. (HR. Tirmizy) [2]
b. Berhajilah Sebelum Tidak
Bisa Haji
Ada sebuah hadits yang
dijadikan dasar oleh banyak ulama tentang kewajiban untuk menyegerakan ibadah
haji begitu seseorang sudah mampu, dalam arti sudah memiliki harta yang cukup,
yaitu :
حَجُّوا قَبْلَ أَنْ لاَ
تَحُجُّوا
Laksanakan ibadah haji
sebelum kamu tidak bisa haji. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Keadaan tidak bisa haji
bisa saja dengan sakit, kematian atau tidak ada keamanan dalam perjalanan haji.
Maka mumpung ada jalan, diwajibkan segera mengerjakannya.
c. Tidak Tahu Apa Yang Akan
Terjadi
Seorang yang sudah mampu
dan punya kesempatan, wajib segera mengerjakan ibadah haji. Alasannya karena
kita tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian, sebagaimana bunyi hadits
berikut ini :
تَعَجَّلُوا إِلىَ الحّجِّ
يَعْنيِ الفَرِيْضَةِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ
Bersegeralah kamu
mengerjakan haji yang fardhu, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi.
(HR. Ahmad)
Banyak orang yang kurang
pandai memelihara kekayaan. Kecenderungan banyak orang akan segera menghabiskan
hartanya, kalau tidak segera dipakai untuk sesuatu yang berarti. Ada orang yang
kalau punya harta di tangannya, terasa amat panas, jadi rasanya ingin segera
membelanjakan. Dan kalau tidak segera berangkat haji, hartanya cepat menguap
entah kemana.
Selain itu menurut pendapat
ini, menunda pekerjaan yang memang sudah sanggup dilakukan adalah perbuatan
terlarang, sebab khawatir nanti malah tidak mampu dikerjakan.
Namun sebagian ulama lain
menyebutkan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji boleh diakhirkan atau
ditunda pelaksanaannya sampai waktu tertentu, meski sesungguhnya telah terpenuhi
semua syarat wajib. Istilah lainnya yang juga sering dipakai untuk menyebutkan
hal ini adalah al-wujubu’ala at-tarakhi (الوجوب على التراخي).
Kalau segera dikerjakan
hukumnya sunnah dan lebih utama, sedangkan mengakhirkannya asalkan dengan azam (tekad
kuat) untuk melaksanakan haji pada saat tertentu nanti, hukumnya boleh dan
tidak berdosa.
Dan bila sangat tidak yakin
apakah nanti masih bisa berangkat haji, entah karena takut hartanya hilang atau
takut nanti terlanjur sakit dan sebagainya, maka menundanya haram.
Di antara yang berpendapat
demikian adalah Mazhab As-Syafi'iyah serta Imam Muhammad bin Al-Hasan. [3]
Dalil yang digunakan oleh
pendapat ini bukan dalil sembarang dalil, namun sebuah dalil yang sulit untuk
ditolak.
a. Semua Hadits di Atas
Lemah
Meski hadits-hadits yang
disodorkan para ulama pendukung kewajiban menyegerakan haji itu kelihatan
sangat mengancam, namun jawaban para ulama yang mendukung mazhab ini tidak
kalah kuatnya. Mereka bilang bahwa semua hadits di atas itu tidak ada satu pun
yang shahih. Semua hadits itu bermasalah, sebagiannya ada yang lemah dan
sebagian lagi malah hadits palsu.
Maka kita tidak perlu repot
dengan dalil-dalil yang nilai derajat haditsnya masih bermasalah. Karena hadits
lemah apalagi palsu, jelas tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil.
b. Praktek Rasulullah SAW
& 124 ribu Shahabat
Sementara di sisi lain
justru Rasulullah SAW sendiri yang mencontohkan dan juga diikuti oleh 124 ribu
shahabat untuk menunda pelaksanan ibadah haji.
Sekedar untuk diketahui,
ayat tentang kewajiban melaksanakan ibadah sudah turun sejak tahun keenam
Hijriyah. Sedangkan beliau SAW bersama 124 ribu shahabat baru melakukannya di
tahun kesepuluh Hijriyah.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan ibadah haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
dari semesta alam.(QS. Ali Imran : 97)
Itu berarti telah terjadi
penundaan selama empat tahun, dan empat tahun itu bukan waktu yang pendek.
Padahal Rasulullah SAW sejak peristiwa Fathu Mekkah di tahun kedelapan hijriyah
sudah sangat mampu untuk melaksanakannya.
Seandainya orang yang
menunda ibadah haji itu berdosa bahkan diancam akan mati menjadi Yahudi atau
Nasrani, tentu Rasulullah SAW dan 124 ribu shahabat beliau adalah orang yang
paling berdosa dan harusnya mati menjadi Yahudi atau Nasrani. Sebab mereka itu
menjadi panutan umat Islam sepanjang zaman.
Namun karena haji bukan
ibadah yang sifat kewajibannya fauri (harus segera
dikerjakan), maka beliau SAW mencontohkan langsung bagaimana haji memang boleh
ditunda pelaksanaannya, bahkan sampai empat tahun lamanya.[4]
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[1] Syarah Al-Kabir jilid 2 hal. 2,
Al-Mughni jilid 3 hal. 241, Al-furu' jilid 3 hal. 243
[2] Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits
ini gharib dimana beliau tidak mengetahui hadits ini kecual lewat wajh ini
saja. Dalam sanadnya ada kritik. Salah seorang perawinya, yaitu Hilal bin
Abdullah adalah majhul.
[3] Al-Umm jilid 2 hal. 117-118,
Raudhatut-talib jilid 2 hal. 456, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 460