
Setelah empat bulan dari ucapan talaknya Paijo, keluarga Painem menuntut Atang untuk segera menikahi Painem. Dan terjadilah pernikahan antara Atang dengan Painem.
Pertanyaan :
- Iddah apa yang harus dilakukan
Painem dari talaknya Paijo?
- Bagaimana status pernikahan di
atas?
- Apa konsekwensinya bila tidak
sah?
- Adakah dari imam madzhab yang
memperbolehkan menikahi wanita yang sedang melakukan iddah?
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Titik pangkal masalah yang Anda tanyakan ini adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang istri yang sudah bersuami. Suaminya meninggalkannya merantau ke luar negeri dalam jangka waktu yang lama, sehingga beresiko terjadinya perselingkuhan.
Dan malangnya, zina itu berbuah kehamilan yang amat memalukan. Pantas saja suami kecewa dan marah besar, sehingga langsung menjatuhkan talak. Maka otomatis talak jatuh begitu kata cerai diucapkan.
Hanya saja yang menjadikan masalah ini tambah runyam, empat bulan setelah itu yang mana sebenarnya belum selesai masa iddah si istri, dia sudah dinikahkan dengan pasangan zinanya. Kalau dihitung-hitung bayinya masih belum lahir. Padahal masa iddah yang harus dilewati oleh seorang wanita yang sedang hamil itu adalah hingga dia melahirkan bayi.
Dari sinilah kemudian masalah akan kita mulai, yaitu dari urusan masa iddah si istri yang sedang hamil.
1. Iddah Apa Yang Harus Dilakukan Painem Dari Talaknya Paijo?
Di dalam Al-Quran Al-Karim kita mengenal ada empat macam masa iddah, yaitu 3 kali quru', 3 bulan, 4 bulan 10 hari dan hingga melahirkan bayi.
a. Tiga Kali Quru' : Wanita Aktif Haidh dan Dicerai Suaminya
Jenis masa iddah yang pertama adalah selama tiga kali quru'. Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru', sebagian mengatakan tiga kali quru' itu adalah tiga kali masa suci dari haidh. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa maksudnya adalah tiga kali mendapat haidh.
Masa iddah seperti ini berlaku untuk wanita yang masih aktif haidh. Maksudnya bukan wanita yang sedang haidh, namun maksudnya adalah wanita yang masih rutin mendapat darah haidh.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
Titik pangkal masalah yang Anda tanyakan ini adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang istri yang sudah bersuami. Suaminya meninggalkannya merantau ke luar negeri dalam jangka waktu yang lama, sehingga beresiko terjadinya perselingkuhan.
Dan malangnya, zina itu berbuah kehamilan yang amat memalukan. Pantas saja suami kecewa dan marah besar, sehingga langsung menjatuhkan talak. Maka otomatis talak jatuh begitu kata cerai diucapkan.
Hanya saja yang menjadikan masalah ini tambah runyam, empat bulan setelah itu yang mana sebenarnya belum selesai masa iddah si istri, dia sudah dinikahkan dengan pasangan zinanya. Kalau dihitung-hitung bayinya masih belum lahir. Padahal masa iddah yang harus dilewati oleh seorang wanita yang sedang hamil itu adalah hingga dia melahirkan bayi.
Dari sinilah kemudian masalah akan kita mulai, yaitu dari urusan masa iddah si istri yang sedang hamil.
1. Iddah Apa Yang Harus Dilakukan Painem Dari Talaknya Paijo?
Di dalam Al-Quran Al-Karim kita mengenal ada empat macam masa iddah, yaitu 3 kali quru', 3 bulan, 4 bulan 10 hari dan hingga melahirkan bayi.
a. Tiga Kali Quru' : Wanita Aktif Haidh dan Dicerai Suaminya
Jenis masa iddah yang pertama adalah selama tiga kali quru'. Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru', sebagian mengatakan tiga kali quru' itu adalah tiga kali masa suci dari haidh. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa maksudnya adalah tiga kali mendapat haidh.
Masa iddah seperti ini berlaku untuk wanita yang masih aktif haidh. Maksudnya bukan wanita yang sedang haidh, namun maksudnya adalah wanita yang masih rutin mendapat darah haidh.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah : 228)
b. Tiga Bulan : Wanita Tidak Haidh dan Dicerai Suaminya
b. Tiga Bulan : Wanita Tidak Haidh dan Dicerai Suaminya
Jenis masa iddah yang kedua
adalah selama tiga bulan. Masa iddah ini juga berlaku bagi wanita yang
diceraikan oleh suaminya, namun kondisinya sudah tidak bisa haidh, entah karena
sudah memasuki masa menopouse, atau sebab penyakit atau sebab-sebab lainnya.
Pendeknya, wanita yang
semacam ini tidak menjalani masa haidh seperti umumnya yaitu tiga kali quru',
tetapi cukup dengan tenggat waktu tiga bulan.
Dalilnya adalah firman
Allah SWT berikut ini :
وَاللآئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللآئِي لَمْ يَحِضْنَ
Wanita-wanita yang tidak
haid lagi (monopause) di antara wanita-wanita kalian jika kalian ragu-ragu
(tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Begitupula
wanita-wanita yang tidak haid. (QS.
Ath-Talak: 4)
c. Empat Bulan 10 Hari : Wanita Yang Suaminya Wafat
c. Empat Bulan 10 Hari : Wanita Yang Suaminya Wafat
Jenis masa iddah yang
ketiga adalah selama empat bulan 10 hari. Masa iddah ini berlaku buat wanita
yang suaminya wafat. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para
isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari.“(QS. Al-Baqarah: 234)
d. Sampai Kelahiran Bayi :
Wanita Yang Sedang Hamil dan Dicerai Suaminya Atau Suaminya Wafat
Jenis masa iddah yang
keempat adalah selama masa kehamilan hingga bayi dalam kandungan dilahirkan.
Jenis ini berlaku buat wanita yang sedang dalam keadaan hamil dan diceraikan
oleh suaminya, atau suaminya meninggal dunia.
Dasarnya adalah firman
Allah SWT berikut ini :
وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Perempuan-perempuan yang
hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS. Ath-Talak : 4)
Jelas sekali dari keempat
jenis masa iddah di atas, kasus yang Anda tanyakan ini lebih sesuai masuk dalam
kasus yang keempat, yaitu wanita yang sedang hamil dan dicerai oleh suaminya.
Maka masa iddahnya tetap masih berjalan hingga bayi di dalam kandungan
dilahirkan.
2. Bagaimana Status
Pernikahan di Atas?
Dalam naskah pertanyaan disebutkan bahwa ketika usia kandungan empat bulan, suaminya menceraikannya. Dan empat bulan kemudian, si istri menikah lagi dengan laki-laki yang menghamilinya.
Dalam naskah pertanyaan disebutkan bahwa ketika usia kandungan empat bulan, suaminya menceraikannya. Dan empat bulan kemudian, si istri menikah lagi dengan laki-laki yang menghamilinya.
Dengan hitungan sederhana,
berarti saat menikah lagi itu, bayi masih belum lahir. Dan kalau belum lahir,
berarti wanita itu masih dalam masa iddah, dimana hukumnya haram untuk menikah
di dalam masa iddah.
Lain halnya bila bayi itu
lahir prematur, misalnya di usia kandungan 7 bulan sudah lahir. Maka begitu
bayinya lahir, wanita itu sudah selesai dari masa iddah dan sudah boleh menikah
lagi.
Jadi status pernikahannya
tergantung dari kapan pernikahan itu dilaksanakan. Kalau dilaksanakan pada saat
bayi masih di dalam kandungan, maka pernikahan itu tidak sah. Sebaliknya, kalau
pernikahan itu dilakukan setelah bayi lahir, maka pernikahan itu sah.
Adapun dalil haramnya
wanita yang masih menjalani masa iddah untuk menikah, di antaranya firman Allah
SWT :
وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235)
Sekilas ayat ini memang
tidak menyebutkan haramnya pernikahan itu, tetapi hanya menyebutkan bahwa
laki-laki diharamkan untuk berazam atau bertekad untuk menikahi wanita yang
masih dalam masa iddah. Namun tentu mafhumnya jelas, yaitu kalau sekedar
bertekad untuk menikahinya saja sudah haram, apalagi kalau sampai benar-benar
menikahinya, tentu hukumnya lebih haram lagi.
3. Apa Konsekwensinya Bila
Tidak Sah?
Ada beberapa konsekuensi
dari kasus di atas, yaitu fasakh atau diharamkan selamanya.
a. Fasakh
Konsekuensi dari sebuah
pernikahan yang tidak sah adaalh membatalkan ikatan pernikahan, alias fasakh.
Sebab dalam kaca mata hukum syariah, mereka 100% bukan pasangan suami
istri.
Mereka harus dipisah dengan
fasakh, sebab akad nikah mereka tidak sah secara hukum. Pernikahan mereka
dianggap tidak pernah terjadi, karena sejak awal sudah tidak terpenuhi
syarat-syaratnya.
Maka haram hukumnya bila
mereka bersikap sebagaimana layaknya suami istri. Tidak boleh tinggal serumah,
dan tentunya juga haram untuk melakukan persetubuhan.
Akad nikah yang mengandung
cacat atau fasad adalah nikah yang menjadi penyebab dibolehkannya terjadi
fasakh. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa hukum fasakh dalam hal ini bukan
sekedar kebolehan, melainkan menjadi sebuah kewajiban atau keharusan.
Kalau pun mereka mau tetap menikah, maka masa iddah dari suami sebelumnya harus dijalani dulu, yaitu hingga bayi lahir ke muka bumi. Setelah itu, mereka berdua boleh menikah secara sah, karena halangan atau mawani' nikah sudah tidak ada lagi.
b. Dicambuk
Kalau pun mereka mau tetap menikah, maka masa iddah dari suami sebelumnya harus dijalani dulu, yaitu hingga bayi lahir ke muka bumi. Setelah itu, mereka berdua boleh menikah secara sah, karena halangan atau mawani' nikah sudah tidak ada lagi.
b. Dicambuk
Dalam kitab Al-Fawakih
Ad-Dawani karya An-Nafarawi (w. 1126 H) pada jilid 2 halaman 34, muallifnya
menukil dari kitab Al-Muwaththa' menyebutkan bahwa Umar bin Al-Khattab pernah
mencambuk pasangan yang menikah ketika masih dalam masa iddah.
وَفِي الْمُوَطَّإِ أَيْضًا : أَنَّ صُلَيْحَةَ الأَسَدِيَّةَ كَانَتْ زَوْجَةَ رَشِيدٍ الثَّقَفِيِّ وَطَلَّقَهَا فَنَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَضَرَبَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَضَرَبَ زَوْجَهَا بِالْمِخْفَقَةِ ضَرَبَاتٍ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا
Di dalam Muwathta' juga :
Shulaihah Al-Asadiyah adalah istri dari Rasyid At-Tsaqafi yang dicerai. Dia
kemudian menikah masih dalam masa iddahnya. Maka Umar bin Al-Khattab
radhiyallahunahu mencambuknya dan juga mencambuk suami barunya beberapa
pukulan. Setelah itu keduanya dipisahkan.
c. Boleh Menikah Atau Haram
Selamanya?
Masih dalam sikap dan
pendapat Umar, beliau berpandangan bila belum terjadi dukhul, pasangan itu
masih boleh menikah, asalkan selesaikan dulu masa iddah dengan suami pertama.
Tetapi kalau sudah terlanjur dukhul, justru pasangan itu malah haram menikah
selamanya, sementara yang perempuan wajib menjalani dua kali masa iddah.
ثُمَّ قَالَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا الَّذِي تَزَوَّجَهَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ عِدَّتَهَا مِنْ زَوْجِهَا الأَوَّلِ وَكَانَ الآخَرُ خَاطِبًا مِنْ الْخُطَّابِ
Di dalam Muwathta' juga :
Shulaihah Al-Asadiyah adalah istri dari Rasyid At-Tsaqafi yang dicerai. Dia
kemudian menikah masih dalam masa iddahnya. Maka Umar bin Al-Khattab
radhiyallahunahu mencambuknya dan juga mencambuk suami barunya beberapa
pukulan. Setelah itu keduanya dipisahkan. Umar berkata,"Siapa pun
perempuan yang menikah di masa iddahnya, maka bila suami barunya belum dukhul
dengannya, keduanya dipisahkan, kemudian perempuan itu menjalani dulu masa
iddah dari suami pertama. Seusai itu suami keduanya menjadi orang yang
melamarnya.
Bila belum terjadi dukhul,
keduanya dipisahkan dulu untuk perempuan itu menyelesaikan dulu masa iddah dari
suami pertama. Begitu selesai iddah, barulah suami kedua itu boleh melamarnya.
Namun bila sudah terlanjur
terjadi dukhul, maka keduanya justru harus dipisah selamanya. Dan perempuan itu
harus menjalani dua kali masa iddah. Iddah yang pertama adalah iddah dari suami
pertama, lalu iddah yang kedua dari suami yang kedua.
وَإِنْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ الأَوَّلِ ثُمَّ اعْتَدَّتْ مِنْ الآخَرِ ثُمَّ لا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا
Namun bila suami kedua itu
sempat dukhul dengannya, keduanya dipisahkan, lantas perempuan itu menjalani
masa iddah dari suami pertama, dilanjutkan dengan masa iddah dari suami kedua.
Setelah itu keduanya tidak boleh menikah selamanya".
4. Adakah dari Imam Madzhab
Yang Memperbolehkan Menikahi Wanita Yang Sedang Melakukan Iddah?
Dalam hukum-hukum pernikahan, memang para ulama mazhab seringkali berbeda pandangan, seperti masalah rukun-rukunnya, apakah harus ada wali, saksi dan lainnya.
Dalam hukum-hukum pernikahan, memang para ulama mazhab seringkali berbeda pandangan, seperti masalah rukun-rukunnya, apakah harus ada wali, saksi dan lainnya.
Namun khusus dalam masalah
haramnya wanita yang sedang menjalani masa iddah untuk menikah, nampaknya
seluruh ulama mazhab yang empat sepakat mengharamkannya. Sebab memang tidak
ditemukan dalil satu pun yang membolehkannya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/