Assalamualaikum warah matullahi wabarakatuh,
Ustad ada satu kejadian yang masih selalu
mengganggu pikiran saya. Pada perayaan malam natal tahun 2007 lalu, tepatnya
tanggal 24 Desember, saya ikut makan malam dengan teman yang sedang merayakan
malam natal di flat.
Saya sungguh tidak punya niat untuk itu,
saya ikut atas paksaan teman flat saya yang notabene juga seorang muslim
sebenarnya, berasal dari Maroko. Saya berusaha menghindar dari ajakan itu
dengan berniat pergi ke luar flat, tapi saya tidak sanggup ke luar karena saat
itu sudah masuk puncak musim dingin.
Saya mencoba pergi ke kamar teman lain, di
lantai yang berbeda, juga tidak bisa karena dia merasa terganggu dengan
kehadiran saya. Saat itu memang sedang persiapan ujian akhir term 1. AKhirnya
saya terpaksa kembali ke kamar saya.
Karena kamar saya persis di depan dapur,
sulit saya menghindar dari si Maroko dan si Korea yang sedang mempersiapkan
makan malam itu. Apalagi saat itu, hanya ada kami bertiga di flat, penghuni
lain sedang liburan.
Dengan berat hati saya ikut makan bersama
mereka. Teman saya yang Maroko (Muslim) mengucapkan selamat natal pada si
Korea. Saya diam saja. Selama makan malam, pikiran dan perasaan saya kacau
sekali. Terbayang fatwa MUI yang mengatakan kalau natal bersama itu haram.
Setelah selesai makan, saya merasa berdosa
sekali. Menyesal kenapa saya begitu lemah, sehingga tidak sanggup untuk
mengatakan "tidak" pada paksaan teman ini. Saya menangis seharian
keesokan harinya, menyesali kejadian itu
Yang ingin saya tanyakan, apakah acara makan
malam ini sudah termasuk "natal bersama? Di dalam hati, saya hanya berniat
untuk makan bersama-sama, bukan untuk ikut cristmast celebration-nya.
Tapi persaan bersalah itu begitu besar,
sampai saya sakit selama 3 hari setelah itu. Lalu saya bercerita pada seorang
teman tentang perasaan saya yang kacau karena makan malam itu. Lalu teman itu
bertanya, apa saya sudah bertaubat pada Allah SWT. Saya jawab sudah. Lalu teman
itu melanjutkan, kalau sudah mohon ampun, harus yakin kalau Allah SWT menerima
taubat kita, InsyaAllah kita akan bisa merasa tenang. Bagaimana pendapat ustad
tentang pengalaman saya ini?
Terima kasih dan mohon maaf atas deskripsi
yang panjang sekali.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Kami kagum pada sikap anda yang benar-benar menjaga diri agar tidak terbawa pada perayaan agama lain. Karena ikut merayakan ritual agama lain memang hukumnya dilarang dalam syariat Islam.
Kami kagum pada sikap anda yang benar-benar menjaga diri agar tidak terbawa pada perayaan agama lain. Karena ikut merayakan ritual agama lain memang hukumnya dilarang dalam syariat Islam.
Betapa banyak orang yang mengaku muslim di
Indonesia yang justru tidak bisa bersikap sebagaimana anda bersikap, yaitu
tetap tegar untuk tidak ikutan dalam perayaan agama lain.
Yang Meringankan Kasus Anda
Sikap anda untuk menolak ajakan makan malam
itu sudah benar. Karena anda menganggap bahwa makan malam itu bagian dari
ritual keagamaan. Tapi ada juga hal yang sebenarnya meringankan anda.
Misalnya, anda toh melakukannya bukan karena keinginan anda, melainkan karena
paksaan. Apalagi anda mengatakan bahwa malam itu sangat dingin, karena sudah
masuk musim dingin. Kalau anda harus keluar rumah, maka hal itu akan membahayakan
diri anda.
Lagian anda toh tidak menghadiri sebuah
ritual agama secara khusus di dalam rumah ibadah milik agama lain. Yang
merayakan hanya satu orang saja. Anda bertiga dan teman Anda yang orang Maroko
itu anda bilang muslim. berarti sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa makan
malam itu sebuah ritual agama.
Mungkin teman anda yang nasrani itu berniat
di dalam hatinya bahwa jamuan makan malam itu sebagai perayaan hari besar. Tapi
dia kan hanya sendirian, sedangkan ada berdua sama-sama muslim. Logikanya, mana
bisa anda dikatakan sedang merayakan hari besar agama lain?
Kalau secara nyata misalnya anda masuk ke
dalam sebuah gereja, di mana saat itu sedang diadakan perayaan ibadah mereka,
maka barulah anda boleh disebut sebagai orang yang ikut merayakan natal. Itupun
sebenarnya tergantung niatnya juga, bukan asal masuk lalu boleh dituduh sebagai
orang yang ikut merayakan.
Bayangkan anda adalah seorang petugas
kebakaran yang bertugas untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di dalam sebuah
gereja. Kebetulan saat itu sedang ada acara kebaktian. Bisakah anda 'dituduh'
telah mengikuti acara kebaktian?
Jadi yang namanya ikut sebuah ritual agama
lain tidak cukup sekedar berada di tengah mereka, namun diperlukan juga niat.
Kalau niat anda memang tidak ingin merayakan ibadah ritual itu, maka insya
Allah Dia Maha tahu atas apa yang terintas di hati hamba-Nya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/