Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Minggu, 10 Agustus 2014

Makan Malam di Perayaan Malam Natal

Assalamualaikum warah matullahi wabarakatuh,
Ustad ada satu kejadian yang masih selalu mengganggu pikiran saya. Pada perayaan malam natal tahun 2007 lalu, tepatnya tanggal 24 Desember, saya ikut makan malam dengan teman yang sedang merayakan malam natal di flat.

Saya sungguh tidak punya niat untuk itu, saya ikut atas paksaan teman flat saya yang notabene juga seorang muslim sebenarnya, berasal dari Maroko. Saya berusaha menghindar dari ajakan itu dengan berniat pergi ke luar flat, tapi saya tidak sanggup ke luar karena saat itu sudah masuk puncak musim dingin.

Saya mencoba pergi ke kamar teman lain, di lantai yang berbeda, juga tidak bisa karena dia merasa terganggu dengan kehadiran saya. Saat itu memang sedang persiapan ujian akhir term 1. AKhirnya saya terpaksa kembali ke kamar saya.

Karena kamar saya persis di depan dapur, sulit saya menghindar dari si Maroko dan si Korea yang sedang mempersiapkan makan malam itu. Apalagi saat itu, hanya ada kami bertiga di flat, penghuni lain sedang liburan.

Dengan berat hati saya ikut makan bersama mereka. Teman saya yang Maroko (Muslim) mengucapkan selamat natal pada si Korea. Saya diam saja. Selama makan malam, pikiran dan perasaan saya kacau sekali. Terbayang fatwa MUI yang mengatakan kalau natal bersama itu haram.

Setelah selesai makan, saya merasa berdosa sekali. Menyesal kenapa saya begitu lemah, sehingga tidak sanggup untuk mengatakan "tidak" pada paksaan teman ini. Saya menangis seharian keesokan harinya, menyesali kejadian itu

Yang ingin saya tanyakan, apakah acara makan malam ini sudah termasuk "natal bersama? Di dalam hati, saya hanya berniat untuk makan bersama-sama, bukan untuk ikut cristmast celebration-nya.

Tapi persaan bersalah itu begitu besar, sampai saya sakit selama 3 hari setelah itu. Lalu saya bercerita pada seorang teman tentang perasaan saya yang kacau karena makan malam itu. Lalu teman itu bertanya, apa saya sudah bertaubat pada Allah SWT. Saya jawab sudah. Lalu teman itu melanjutkan, kalau sudah mohon ampun, harus yakin kalau Allah SWT menerima taubat kita, InsyaAllah kita akan bisa merasa tenang. Bagaimana pendapat ustad tentang pengalaman saya ini?

Terima kasih dan mohon maaf atas deskripsi yang panjang sekali.
Wassalam


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Kami kagum pada sikap anda yang benar-benar menjaga diri agar tidak terbawa pada perayaan agama lain. Karena ikut merayakan ritual agama lain memang hukumnya dilarang dalam syariat Islam.
Betapa banyak orang yang mengaku muslim di Indonesia yang justru tidak bisa bersikap sebagaimana anda bersikap, yaitu tetap tegar untuk tidak ikutan dalam perayaan agama lain.

Yang Meringankan Kasus Anda
Sikap anda untuk menolak ajakan makan malam itu sudah benar. Karena anda menganggap bahwa makan malam itu bagian dari ritual keagamaan. Tapi ada juga hal yang sebenarnya meringankan anda. Misalnya, anda toh melakukannya bukan karena keinginan anda, melainkan karena paksaan. Apalagi anda mengatakan bahwa malam itu sangat dingin, karena sudah masuk musim dingin. Kalau anda harus keluar rumah, maka hal itu akan membahayakan diri anda.

Lagian anda toh tidak menghadiri sebuah ritual agama secara khusus di dalam rumah ibadah milik agama lain. Yang merayakan hanya satu orang saja. Anda bertiga dan teman Anda yang orang Maroko itu anda bilang muslim. berarti sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa makan malam itu sebuah ritual agama.

Mungkin teman anda yang nasrani itu berniat di dalam hatinya bahwa jamuan makan malam itu sebagai perayaan hari besar. Tapi dia kan hanya sendirian, sedangkan ada berdua sama-sama muslim. Logikanya, mana bisa anda dikatakan sedang merayakan hari besar agama lain?

Kalau secara nyata misalnya anda masuk ke dalam sebuah gereja, di mana saat itu sedang diadakan perayaan ibadah mereka, maka barulah anda boleh disebut sebagai orang yang ikut merayakan natal. Itupun sebenarnya tergantung niatnya juga, bukan asal masuk lalu boleh dituduh sebagai orang yang ikut merayakan.
Bayangkan anda adalah seorang petugas kebakaran yang bertugas untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di dalam sebuah gereja. Kebetulan saat itu sedang ada acara kebaktian. Bisakah anda 'dituduh' telah mengikuti acara kebaktian?

Jadi yang namanya ikut sebuah ritual agama lain tidak cukup sekedar berada di tengah mereka, namun diperlukan juga niat. Kalau niat anda memang tidak ingin merayakan ibadah ritual itu, maka insya Allah Dia Maha tahu atas apa yang terintas di hati hamba-Nya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru