Assalamu'alaikum Ustadz
Selama ini saya sering mendengar bahwa
ahmadiyah adalah aliran sesat dan sering mendapatkan hujatan dari masyarakat
luas.
Baru terakhir kemarin ini masalah tersebut
muncul dan berakhir. masalah ini mungkin bukan masalah yang aneh lagi untuk
umat Islam karena sering terjadi hal seperti demikian.
Sampai-sampai saya mendengar bahwa Ahmadiah
itu sesat, jadi bila ada wanita atau pria di luar ahmadiyah menikah dengan
orang Ahmadiyah, maka pernikahannya tersebut tidak sah atau disebut juga haram
apakah itu benar?
Yang berkata demikian adalah masyarakat di
luar Ahmadiah. Apakah seorang muslim menikah dengan muslim yang lain yang
berbeda aliran itu haram meskipun sah? Apakah berbedaan aliran itu merupakan
halangan untuk menjalin hubungan? Bila itu sudah terjadi apakah anak yang
dikandungnya pun itu haram?
Hanya itu yang ingin saya tanyakan.....
Terimakasih Ustadz
Wassalamu'alaikum
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Yang secara jelas diharamkan adalah
perkawinan antara seorang muslim dengan seorang non muslim. Pernikahan antar
agama secara umum disepakati oleh para ulama atas keharamannya. Dengan
satu pengecualian, yaitu laki-laki muslim dibenarkan untuk menikahi wanita ahli
kitab. Bab tentang masalah ini sudah seringkali kami bahas dalam rubrik ini.
Silahkan lakukan penelusuran sendiri. Tinggal masalahnya adalah: apakah
seorang yang ikut aliran sesat semacam Ahmadiyah itu termasuk muslim atau kafir?
Kalau dianggap masih muslim, tentu secara
hukum syariah, tidak ada masalah untuk menikah dengan mereka. Tapi kalau
dianggap sebagai non muslim, maka jelas sekali hukumnya haram.
Jadi titik pangkal permasalahannya ada pada
status keIslaman mereka. Apakah para pengikut aliran sesat Ahmadiyah ini masih
bisa dibilang muslim ataukah sudah sah dibilang kafir?
Vonis Kafir Wewenang Negara
Tentu saja masalah ini tidak bisa
diselesaikan lewat opini, atauungkapan secara lisan dari tokoh tertentu.Sesuai
prosedurnya, vonis kafir itu baru akan berlaku manakala ada sebuah
institusiresmi, dalam hal ini negara, yang menjatuhkannya.
Salah satu fungsi sebuah negara dalam sistem
hukum syariah adalahmenetapkan kekafiran seseorang atau suatu aliran. Itulah
yang dahulu dilakukanoleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dalam
kapasitasnya sebagai khalifah kepada para pembangkang syariah zakat. Vonis
murtad beliau keluarkan atas nama negara, dan pasukan pembasmi kemurtadan
beliau kirim menuju wilayah-wilayah yang penduduknya tidak mau bayar zakat.
Kira-kira kalau kita bandingkan dengan
negara di zaman sekarang ini adalah bahwa seorang kepala negara punya wewenang
untuk menetapkan perang dengan negara lain. Hak itu ada pada dirinya sebagai
eksekutif yang kerjanya memang mengeksekusi.
Sedangkan sebagai warga negara biasa, tidak
ada seorang pun yang berhak memaklumatkan perang dengan negara lain secara
sah. Maka memaklumatkan kekafiran seseorang atau suatu aliran, juga harus
dilakukan oleh seorang kepala negara. Seharusnya yang terjadi untuk kasus
Ahmadiyah ini Kepala negara secara sah menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah adalah
kafir dan tidak berhak mengaku sebagai bagian dari umat Islam.
Tentunya keputusan seorang kepala negara
tidak tiba-tiba diteken begitu saja. Harus ada klarifikasi, persidangan dan
juga dialog. Persis yang dahulu dilakukan oleh para wali ketika memimpin umat
di pulau Jawa ini. Ketika ada oknum yang mengajarkan aliran sesat, di mana
dirinya mengaku telah menyatu dengan Allah (wihdatul wujud), maka biang kerok
penyebar ajaran sesat itu dipanggil, dimintai keterangan, diadili dan
dijelaskan letak point-point kesalahannya.
Dan kepadanya diminta untuk mengubah paham
sesatnya itu, karena telah mengaku menjadi Allah. Sebuah aliran yang sesatnya
tidak tanggung-tanggung. Biasanya orang sekedar mengaku jadi nabi, tapi yang
satu ini malah mengaku jadi Allah, gile bener!!
Maka ketika tokoh central aliran sesat itu
tetap ngeyel dan tidak mau mengubah pendirian kafirnya itu, para wali
bermusyawarah dan menetapkan bahwa orang itu sesat dan hukumnya telah keluar
dari agama Islam. Maka atas nama negara, orang itu telah ditetapkan sebagai
orang kafir.
250 Aliran Sesat
Sekarang ini, menurut sebuah penelitan telah
ada 250 aliran sesat di negeri kita, terhitung sejak tahun 1980. Tidak ada satu
pun yang pernah diproses untuk diteliti, apalagi diadili.
Semua aliran sesat itu dibiarkan hidup
tumbuh subur oleh semua kepala negara yang pernah menjabat sebagai RI-1 di
negeri ini. Bahkan RI-1 tidak pernah melimpahkan wewenangnya kepada menteri
Agama atau pejabat lainnya, yang pada dasarnya hal itu wajib dilakukan. Apalagi
Majelis Ulama Indonesia, meski dianggap mewakili aspirasi ulama, tapi
sebenarnya kedudukan MUI di dalam sturktur negara ini tidak jelas.
Yang pasti sebuah fatwa kafir tidak cukup
bila hanya dikeluarkan oleh lembaga dengan level pengakuan seperti Majelis
Ulama Indonesia itu. Artinya, seharusnya ada SK atau wewenang lebih yang
diberikan oleh RI-1 kepada lembaga ini, yang intinya memberikan kewenangan
untuk menjatuhkan vonis kafir dan hal itu terkait dengan keputusan negara.
Alasannya pasti sudah bisa anda tebak dan amat
klasik, yaitu negara kita ini bukan negara Islam, tapi juga bukan negara
sekuler. Nah, balik lagi kitake bentuknegara kita terkenal sebagai negara yang
'bukan-bukan'.
Indonesia dengan 200 juta penduduknya
muslim, sebuah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masih malu-malu
(atau tidak mau) untuk sekedar melindungi umat Islam dari serbuan aliran sesat.
Tak satu pun yang divonis kafir oleh negara
ini atau instansi yang diberi wewenang.
Pengadilan Agama
Kalau diperhatikan strukturnya, dibandingkan
MUI, sebenarnya yang kelihatannya punya hak lebih besar untuk urusan ini adalah
Pengadilan Agama. Buktinya, kalau ada wanita tidak punya wali, maka walinya
adalah pemerintah (sultan). Maka secara alur hukum, yang ditunjuk untuk
bertindak dalam hal ini adalah para Ketua Pengadilan Agama, atas nama
pemerintah dan dilakukan secara sah.
Tapi meski Pengadilan Agama terdapat di tiap
kabupaten, sayangnya wewenang yang diberikan cuma buat mengurus nikah, talak,
rujuk, bagi waris dan tanah wakaf. Pengadilan Agama di negeri kita bagai anak
yatim yang dianak-tirikan.
Keberadaannya konon sekedar buat iming-iming
kepada umat Islam, biar tidak pada berontak untuk mendirikan sendirinegara
Islam. Maka berharap terlalu jauh dari Pengadilan Agama, memang boleh dibilang
masih merupakan mimpi di siang bolong.
Penggembosan Pengadilan Agama
Dan karena Pengadilan Agama hanya sekedar
kompensasi penguasa orde baru (juga orde lama) kepada umat Islam yang takut
berontak, maka sepanjang perjalanannya kita menyaksikan berbagai 'penggembosan'
ke dalam tubuh Pengadilan Agama itu sendiri. Dan proses ini sudah berlangsung
puluhan tahun yang lalu.
Salah satunya yang paling mencolok di masa
orde baru adalah memasang hakim atau petugas Pengadilan Agama yang bukan
merupakan ulama ahli syariah. Bagi penguasa saaat itu, hal itumudah saja
dilakukan, karena semua hakim harus pegawai negeri. Kata kiyai depan rumah
kami, jadi hakim agama harus berijazah dari IAIN.
Sementara lulusan dari Al-Azhar, Madinah,
Riyadh dan negara timur tengah lainnya, selama berpuluh tahun ijazahnya tidak
pernah diakui oleh Depag. Maka para ulama lulusan timur tengah hanya membuka
pesantren atau madrasah, paling jauh sekedar ceramah dan bukan majelis taklim.
Mereka 'diboikot' untuk tidak masuk ke
wilayah pemerintahan dan birokrasi. Akibatnya, yang jadi hakim hanyalah orang
yang sekedar lulus S-1 IAIN, bukan ulama dalam arti sesungguhnya.
Sangat kontras dan berbeda 180 derajat
dengan yang terjadi di Malaysia. Selain jumlah mahasiswa mereka di Al-Azhar
mencapai 10.000 orang (Indonesia cuma 3.000-an), para alumninya begitu kembali
ke negerinya, langsung diterima menjadi pegawai negeri, jadi dosen negeri
hingga jadi hakim agama. Menariknya, mereka bergaji tinggi dan terbuka peluang
karir hingga ke tingkat penentu kebijakan.
Hukum Kompilasi = Penggembosan Dari Dalam
Termasuk kasus penggembosan dari dalam
adalah serbuan Kompilasi Hukum Islam yang mencampur-adukkan hukum syariah
dengan hukum sekuler ala barat, plus bumbu hukum adat.
Meski kelihatan sekilas merupakan pengakuan
atas hukum Islam, tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya, justru hukum
Islamnya malah dipreteli dan dipermak sedemikian rupa, bak celana jeans belel.
Hasilnya adalah hukum Islam jadi-jadian ala zombie, manusia bukan hantu pun
bukan.
Melihat hukum syariah diobrak-abrik oleh
tangan-tangan jahil nan jahat itu, ternyata kita sebagai umat Islam diam saja.
Bengong dan santai-santai saja.
Selidik punya selidik, ternyata penyebabnya
bukan apa-apa. Ternyata umat Islam pun memang tidak pernah tahu syariat Islam.
Maka mereka anteng-anteng saja ketika syariah Islam diotopsi seperti mayat.
Vonis Kafir
Kembali ke masalah semula, urusan vonis
kafir kepada aliran sesat di Indonesia memang tidak bisa kita harapkan datang
dari pemerintah atau instansi yang berwenang. Sementara sebagai rakyat, kita
pun tidak punya wewenang untuk memvonis kafir.
Maka yang bisa dilakukan hanyalah sekedar
mengeluarkan anjuran untuk tidak menikah dengan para pembela aliran sesat.
Namanya anjuran, ya sekedar anjuran, himbauan, ajakan dan sebutlah apa namanya.
Tapi tidak ada kekuatan hukumnya dan kita
belum sah untuk mengatakan bahwa aliran sesat itu kafir dalam arti yang
sebenarnya.
Buktikan saja secara sederhana. Misalnya ada
yang meninggal dari anggota aliran sesat itu, bisakah kita larang untuk tidak
dikuburkan di pekuburan muslim? Lalu mau dikuburkan di mana? Di pinggir kali?
Hallo DPR
Intinya, sebagai pe-er besar umat, status
hukum Islam harus ditegaskan di dalam format negara ini. Dan itu seharunya jadi
pe-er teman-teman kita yang duduk di DPR. Keberadaan mereka di lembaga itu
tidak lain kecuali untuk memperjuangkan sampai diakuinya syariat Islam dalam
format resmi negara secara porsi yang lebih besar. Dan karena tujuan itulah
kemarin mereka kita pilih.
Maka tidak ada salahnya kalau kita minta
progress reportnya. Namanya juga wakil kita, sudah kita pilih dan kita beri
kepercayaan, tidak salah kalau kita minta laporan hasil perjuangannya. Sampai
mana nih ya akhi, hasil perjuangan anda? Bertanya begitu kan tidak salah, kan?
Intinya, mari kita silaturrahim dan
berdialog. Kami yakin umat ini harus bagi-bagi tugas dan saling sinergi, bukan
saling hasad, dengki atau iri hati. Apalagi sampai harus saling hujat dan bikin
front. Bukan berjuang, malah kita berantem dengan teman sendiri. Ironis juga
ya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/