Yang ingin saya tanyakan:
- Bagaimana hukumnya membatalkan
nadzar sebelum terlaksana apa yang diinginkan? Semisal ada seseorang
bernadzar andai ia bisa menikah dengan si A ia ia bernadzar akan tetap
menjaga kesucian isterinya tersebut sampai 3 hari (tidak berjima' sebelum
lewat 3 hari).
- Apa ada konsekwensi bila kita membatalkan nadzar sebelum terlaksana?
Jazakallah
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Bernadzar itu hukumnya
boleh, meski sesungguhnya kurang disukai oleh sebagian ulama. Sebab di balik
nadzar itu tersembunyi sebuah akhlaq yang kurang baik kepada Allah SWT.
Seolah-olah seseorang baru mau mengerjakan ibadah tertentu apabila Allah SWT
memberikan terlebih dahulu apa yang diinginkannya.
Rasulullah SAW telah
melarang untuk bernazar dan bersabda:
”Nazar itu tidak menolak
sesuatu. Sebenarnya apa yang dikeluarkan dengan nazar itu adalah dari orang
bakhil/kikir”.
Sedangkan pengertian nadzar
itu sendiri adalah: mewajibkan atas diri sendiri untuk melakukan sesuatu
perbuatan (ibadah) untuk Allah yang asal hukumnya tidak wajib sehingga menjadi
wajib. (Lihat Kasysyaf Al-Qanna‘ an Matni Iqna‘ 6: 273, As-Sharh
As-Shaghir 2: 249, Mughni Al-Muhtaj 4: 354 dan
lain-lain).
Sebagai contoh adalah
bernazar untuk puasa Senin Kamis selama setahun. Hukum asal puasa Senin Kamis
itu sunnah, namun dengan bernazar untuk melakukannya selama setahun, maka
hukumnya buat yang bernazar berubah menjadi wajib.
Dasar Hukum Nazar
Allah berfirman mengenai
kewjaiban untuk menunaikan nadzar yang terlanjur diucapkan:
Dan hendaklah mereka
melaksanakan nazarnya. (QS. Al-Hajj: 29)
Mereka menunaikan nazarnya
dan takut atas hari yang azabnya merata di mana-mana. (QS. Al-Insan: 7)
Pada dasarnya nazar itu
wajib dilaksanakan apabila telah diucapkan. Dan bila telah diucapkan maka tidak
boleh dicabut lagi. Karena nazar itu merupakan janji kepada Allah. Kecuali bila
nazarnya itu mengandung kemaksiatan atau kemudharatan. Maka tidak boleh dilakukan.
Maka bernadzar untuk tidak menjima' istri pada malam pengantin justru sebuah
kemaksiatan. Sebab jima' itu merupakan hak istri atas suami. Bahkan Rasulullah
SAW sampai mengharuskan untuk menemani istri hingga 7 malam pertama, bila istri
itu seorang wanita perawan.
Janji seperti itu adalah
janji yang batil, sehingga justru harus dilanggar. Sebab pernikahan itu sudah
menghalalkan hubungan badan. Yang menghalalkannya adalah Allah SWT langsung,
sehingga bagaimana mungkin justru seseorang mengharamkan apa yang telah Allah
SWT halalkan. Lalu mengapa setelah pernikahan yang halal dilakukan, kita malah
mengikuti gaya hidup para pendeta dan rahib yang tidak mau melakukan hubungan
suami istri?
Di sisi Allah SWT, perilaku
seperti itu justru tidak ada nilai taqarrub apa-apa, bahkan
justru malah bisa dianggap melanggar karena ada unsur mengharamkan apa yang
telah dihalalkan-Nya.
Adapun bolehkah membatalkan
nazar sebelum terjadinya, pada dasarnya adalah karena seseorang sudah berjanji
kepada Allah. Namun selama apa yang dinadzarkan itu belum terjadi, seseorang
belum lagi dituntut untuk menunaikannya. Dan selama belum ada tanda-tanda
keinginannya itu terkabul, kemudian dia mengurungkan nadzarnya, tentu saja
menjadi haknya. Namun jangan sampai pembatalan itu dilakukan ketika dia sudah
mengetahui tanda-tanda bahwa permintaannya itu hampir terkabul. Agar jangan
sampai seseorang menipu Allah SWT atau membohongi janjinya sendiri kepada Allah
SWT.
Wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber
: http://www.rumahfiqih.com/