Assalamu 'alaikum wr. wb.
Izinkan saya mengajukan pertanyaan seputar masalah wasiat dan waris.
Dalam salah satu musyawarah keluarga tentang masalah harta waris, disebutkan
bahwa almarhum pernah berwasiat yang intinya telah mengatur bagaimana cara
harta miliknya itu dibagikan.
Sayangnya konten wasiat itu sendiri agak berbeda dengan ketentuan dalam
pembagian waris Islam. Misalnya, almarhum mewanti-wanti agar bagian anak
perempuan disamakan saja dengan bagian anak laki-laki. Bahkan ada anak yang
beliau tidak rela untuk diberi harta warisan.
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Bukankah di dalam Al-Quran sendiri juga disebutkan tentang kewajiban
menjalankan wasiat almarhum. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa wasiat
merupakan perintah Allah SWT juga?
Di satu sisi ayat Al-Quran memerintahkan pembagian waris dengan aturan
tertentu, tetapi di lain sisi, ayat Al-Quran juga memerintahkan kita
menjalankan wasiat dari almarhum. Kalau kedua ketentuan ini bertentangan, mana
yang harus kita dahulukan dan kita jalankan.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya jawaban singkatnya mudah saja, yaitu yang harus dimenangkan adalah
hukum waris dan bukan wasiat. Alasannya karena ayat-ayat tentang masyruiyah
wasiat itu turun lebih awal, kemudian turun ayat-ayat waris. Sehingga menurut
sebagian ulama, sebagian ketentuan wasiat itu dihapus dengan ketentuan waris.
A. Hukum Waris di Masa Awal Islam : Berdasarkan Wasiat
Hukum waris dalam syariat
Islam diturunkan untuk menghapus sistem hukum waris dari tradisi Arab
jahiliyah. Namun sebelum hukum waris diberlakukan, yang ditetapkan terlebih
dahulu adalah hukum wasiat, yaitu harta diserahkan kepada mereka yang
dikehendaki oleh si pemilik harta.
Jadi di masa itu, siapa
yang mendapat warisan dan siapa yang tidak menerima, semata-mata didasarkan
pada selesai, suasana hati, keinginan atau kehendak dari pemilik harta ketika
masih hidup. Maka sebelum seseorang meninggalkan dunia ini, diwajibkan atasnya
untuk menentukan terlebih dahulu, siapa saja orang-orang yang nantinya berhak
atas harta yang dimilikinya, sepeninggal dirinya.
Berwasiat atau menetapkan
siapa orang-orang yang berhak atas harta bila nanti wafat, awalnya merupakan
kewajiban yang ditetapkan. Allah SWT telah tetapkan kewajiban berwasiat dalam beberapa
firman-Nya, antara lain :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya
secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)
Dengan adanya ketetapan
ini, maka bisa saja seseorang yang kedudukannya bukan sebagai ahli waris dari
almarhum, tetapi jadi berhak menerima harta dalam jumlah tertentu, karena
namanya disebut dalam surat wasiat.
Dan hal yang sebaliknya
juga bisa terjadi, yaitu mungkin saja yang termasuk ahli waris malah tidak
menerimanya, lantaran si pemilik harta tidak mewasiatkan bagian harta untuknya.
Dari ketentuan ini, bisa
disimpulkan bahwa penetapan harta warisan dengan cara wasiat ini semata-mata
didasarkan pada faktor suka atau tidak suka ( like and dislike).
Dalam kasus nyata, bisa
saja seorang ayah sebelum wafat mengatur seenaknya perasaannya sendiri
bagaimana cara pembagian harta sepeninggalnya. Bisa saja dia berwasiat untuk
memberikan sejumlah harta tertentu kepada salah satu dari anaknya, sebagian
mendapat jumlah yang lebih besar, sebagian lainnya mendapat jumlah yang lebih
kecil, bahkan bisa juga ada anak yang sama sekali tidak diberikan harta.
Maka anak yang pandai
mengambil hati orang tua, tentu dia akan beruntung karena bisa dipastikan akan
mendapat wasiat yang lebih besar nilainya.
Sebaliknya, anak yang
kurang dekat dengan orang tuanya, bahkan dibenci dan dimarahi, bisa-bisa tidak
mendapatkan harta peninggalan serupiah pun.
B. Hukum Waris di Masa
Penyempurnaan
Di masa penyempurnaan
syariah, para ahli waris kemudian ditetapkan hak-hak mereka. Dari semula
ditentukan berdasarkan wasiat, kemudian ditentukan dengan hukum waris. Wasiat
kemudian tidak berlaku kalau untuk para ahli waris :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ
ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT
telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada
ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu
Daud dan Ibnu Majah )
Rincian siapa saja yang
menerima harta warisan dan berapa nilainya masing-masing, ditetapkan Allah SWT
lewat firman-Nya yang turun kemudian, yaitu pada surat An-Nisa' dari ayat 11
hingga ayat 14.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي
أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
Ketetapan syariat yang
memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami
mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.
Maka terjadilah apa yang
sebelumnya terjadi di masa jahiliyah, yaitu :
1. Istri dan Anak Wanita
Mendapat Bagian Waris
Ketika turun wahyu kepada
Rasulullah SAW berupa ayat-ayat tentang waris kalangan bangsa Arab pada saat
itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum
yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh).
Sebab menurut anggapan
mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan
dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari
nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari
meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbasradhiyallahuanhu berkata:
"Ketika ayat-ayat yang
menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan
agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua,
suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan
tersebut.”
Dengan nada keheranan
sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian
kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan
setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada
anak-anak ingusan?
Padahal mereka tidak ada
yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula
dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan
hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita
meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.'
Padahal di masa sekarang,
justru ayat-ayat waris inilah yang bisa dijadikan salah satu bentuk nyata bahwa
syariat Islam sangat menyantuni kaum wanita. Islam telah mampu melepaskan kaum
wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita
yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka
sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan
bagian warisannya).
Lucunya, ternyata masih
saja ada kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh
orang-orang yang berhati buruk, yang menuduh bahwa Islam telah menzalimi kaum
wanita dalam hal hak waris, lantaran hanya memberikan separuh dari hak kaum
laki-laki.
Padahal kalau tahu
bagaimana sejarahnya, justru awalnya para istri dan anak-anak wanita malah sama
sekali tidak berhak atas harta waris. Sedangkan dalam syariat yang
disempurnakan itu, anak perempuan bisa saja mendapat ½ bagian alias 50% dari
seluruh total harta orang tuanya. Dan seorang istri berhak menerima sampai ¼
bagian atau 25%, bila almarhum tidak punya anak atau keturunan yang menerima
harta waris.
2. Anak Kecil Mendapat
Warisan
Sebelumnya di masa
jahiliyah, anak laki-laki memang mendapat warisan, tetapi hanya terbatas anak
laki-laki yang sudah dewasa saja yang berhak, sedangkan bila anak laki-laki itu
masih kecil, mereka tetap tidak mendapat harta warisan.
Sebagian lagi menetapkan
bahwa hanya anak pertama saja yang menerima warisan dari ayahnya. Anak kedua,
ketiga dan seterusnya, semua tidak mendapatkan harta warisan.
Cara ini mirim dengan
sistem kerajaan atau monarki, dimana yang menjadi calon raja atau putera
mahkota adalah anak pertama raja, dan harus yang berjenis kelamin laki-laki.
Dan karena sudah mengakar
dan membudaya sejak masa nenek moyang mereka, tidak terlalu mudah buat bangsa
Arab untuk menerima ketentuan ini begitu saja.
Sebagian dari mereka
berkata kepada Rasulullah :
'Wahai Rasulullah, haruskah
kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami
tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak
waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang
kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?
Namun para shahabat yang
punya standar keimanan tinggi dan berkualitas tentu tidak demikian. Mereka
tentu tidak lagi meributkan urusan.
Maka ketika Allah SWT
berkehendak bahwa semua anak almarhum, pasti mendapat warisan, mereka terima
dengan berbahagia tanpa sedikitpun protes atau tidak terima.
Maka demikian ditetapkan
bahwa semua anak almarhum, baik yang sudah dewasa atau pun yang masih
kanak-kanak, bahkan bayi yang baru saja lahir dari perut ibunya, semua pasti
mendapat harta warisan dari almarhum ayah dan ibu mereka.
3. Apakah Ayat Wasiat
Dihapus?
Terakhir sebelum kita tutup
bab ini, ada satu kajian penting yang agak menyerempet pada masalah ushul
fiqih, yaitu pertanyaan kecil tapi penting : Apakah dengan hukum yang
disempurnakan ini, berarti ayat-ayat tentang wasiat dihapus atau dinasakh?
Dalam hal ini para ulama
ushul berbeda pendapat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat yang mewajibkan
wasiat ini kemudian dihapuskan atau dinasakh keberlakuannya, meski lafadznya
tetap tertuang di dalam mushaf dan membacanya tetap berpahala.[1] Namun
sebagian ulama lainnya tidak menyebut sebagai naskh, melainkan takhshih.
Dalam hal ini secara kajian
ushul fiqih, berkembang tiga pendapat :
a. Ayat Wasiat Dinasakh
Dengan Hadits
Pendapat pertama adalah
pandangan mazhab Al-Hanafiyah. Mereka memandang bahwa ayat wasiat meski teksnya
masih ada di dalam Al-Quran, namun esensi hukumnya dihapus dengan hadits.
Ayat wasiat itu adalah :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya
secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)
Ayat ini menurut pendapat
pertama, dihapus hukumnya dengan adanya hadits berikut :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ
ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah SWT
telah menetapkan hak untuk setiap orang. Maka tidak boleh memberi wasiat kepada
ahli waris. (HR. Tirmizy, Abu
Daud dan Ibnu Majah )
b. Ayat Wasiat Dinasakh
Dengan Al-Quran
Pendapat kedua adalah
pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan juga mazhab Al-Malikiyah. Mereka menyebutkan
bahwa ayat wasiat di atas tidak dinasakh oleh hadits, karena mereka
berpendirian bahwa hadits tidak bisa menasakh ayat Al-Quran. Oleh karena itu,
menurut mereka ayat wasiat itu dinasakh dengan sesama ayat Al-Quran juga, yaitu
ayat tentang waris yang terdiri dari beberapa ayat, di antaranya :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي
أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat Wasiat Ditakhshish
Dengan Ayat Quran dan Hadits
Pendapat ketiga adalah
pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah, juga Adh-Dhahhak, Thawus, Al-Hasan dan para
mufassirin seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al-Imam Al-Qurtubi dalam
tafsirnya.
Mereka menyebutkan bahwa
ayat wasiat tetap berlaku dan tidak pernah dinasakh. Namun karena ada ayat lain
tentang waris, maka ada pengkhususan hukum, dengan adanya ayat Al-Quran dan
juga hadits-hadits. Istilah yang banyak digunakan adalah takhishshish (تخصيص).
Maksudnya, ayat wasiat itu
masih berlaku, namun kalau menyangkut ahli waris, maka untuk ahli waris tidak
berlaku hukum wasiat. Sedangkan yang bukan ahli waris, hukum wasiat tetap
berlaku.
Lalu adakah dampak
perbedaan hukum antara ayat itu dinasakh dengan ditakhshih?
Jawabnya ada. Dampaknya
adalah apabila seorang ahli waris terhijab, atau terharamkan dari menerima
waris, maka dia masih berhak menerima harta lewat jalur wasiat.
Contoh kasus hijab adalah
seorang cucu yang terhijab oleh anak, maka cucu bisa mendapatkan harta bila
sang kakek semasa hidupnya memberikan harta lewat jalur wasiat.
Sedangkan contoh kasus
terharamkan, misalnya anak yang murtad dan keluar dari agama Islam, seharusnya
tidak menerima harta warisan, karena orang kafir tidak menerima harta warisan
dari orang Islam.
Tetapi karena sang pewaris
memberikan harta lewat jalur wasiat, maka anak yang kafir itu bisa menerima
harta.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/
[1] Al-Qurthubi,
Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, jilid 1 hal. 453