Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Minggu, 01 Februari 2015

Hakikat Qurban Lebih Berdimensi Ritual Atau Dimensi Sosial?

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon konfirmasinya tentang hakikat ibadah qurban. Sebenarnya mana yang lebih tepat, ibadah qurban ini lebih merupakan ibadah ritual yang segala ketentuannya sangat ketat, ataukah merupakan ibadah sosial yang sifatnya fleksible dan bisa disesuaikan dengan keadaan.
Wasalamu 'alaikum wr. wb.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya selain beraspek ritual, penyembelihan hewan qurban mengandung aspek sosial juga. Sebab selain menjadi persembahan kepada Allah SWT, daging hewan itu memang disunnahkan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Namun kalau dibandingkan antara aspek ritual dan aspek sosialnya secara lebih dalam, nanti baru akan ketahuan bahwa sesungguhnya aspek ritualnya jaul lebih dominan.

Benarkah? Bagaimana kita bisa sampai kepada kesimpulan tersebut?
Ada banyak fakta dan dalil yang bisa dikemukakan, di antaranya :

1. Latar Belakang Sejarah
Kalau kita perhatikan latar belakang sejarah sejak awal mula disyariatkan, ibadah qurban itu memang lebih menekankan sisi pengorbanannya. Mari kita lihat bagaimana perintah menyembelih qurban itu pertama kali disyariatkan kepada Nabi Ibrahim alaihissalam. Yang diperintah untuk disembelih awalnya malah bukan hewan, tetapi puteranya sendiri yaitu Nabi Ismail alaihissalam. Seandainya memang benar-benar disembelih, maka akan sangat tidak masuk akal kalau daging Nabi Ismail itu dipotong-potong dan dibagikan kepada orang-orang miskin untuk dimakan.

Bangsa paling biadab sekalipun tidak akan memberi makan fakir miskin di antara mereka dengan daging manusia. apalagi anaknya sendiri.

Dan ketika Allah SWT mengganti tubuh Nabi Ismail itu dengan seekor hewan, ternyata kita juga tidak pernah mendengar bahwa daging hewan itu dibagi-bagi kepada orang miskin. Sebab di masa itu Nabi Ibrahim berada di padang pasir tak bertemu, suatu lembah yang kosong dari manusia. Tidak ada gerombolan fakir miskin disana.

Harus kita akui bahwa penyembelihan hewan qurban itu memang tidak didesain untuk semata-mata membantu fakir miskin. Tujuannya bukan membuat mereka kenyang, apalagi untuk mengentaskan kemiskinan.

2. Penyembelihan Tetap Sah Meski Tidak Diberikan Kepada Orang Miskin
Apabila ritual penyembelihan sudah dijalankan dan darah hewan sudah membasahi bumi, maka pahala sudah ditetapkan di sisi Allah. Begitu juga ampunan sudah dijanjikan kepada pelakunya.

Adapun daging hewan itu sendiri, seandainya tidak sampai dimakan oleh orang miskin, tidak menjadi masalah. Bahkan kalau sampai dibuang atau dibiarkan membusuk dimakan hewan pemakan bangkai sekalipun, tidak berpengaruh kepada sah atau tidak sahnya penyembelihan.

Yang terjadi di Mina setiap tahunnya pun demikian juga. Jutaan ekor hewan disembelih lalu ditinggalkan begitu saja oleh penyembelihnya. Sebab jumlah orang yang menyembelih terlalu banyak, sementara yang mau makan dagingnya nyaris tidak ada.

Bukan apa-apa, Mina itu bukan perumahan padat penduduk macam di Kecamatan Tambora, dimana orang-orang hidup di bawah garis kemiskinan. Mina itu sejatinya adalah padang pasir tandus tak berpenghuni. Hanya ramai dalam ukuran sekali setahun, yaitu ketika ada ritual ibadah haji. Di luar itu, Mina kosong tidak ada penghuninya.

3. Syarat Ketentuan Penyembelihan Yang Rumit
Ibadah qurban sejatinya memang tidak ditujukan untuk memberi makan orang miskin. Juga tidak untuk membuat mereka kenyang. Sebab kalau tujuannya memang itu, tentu akan lebih baik kita berikan nasi bungkus dengan lauk-pauk yang lengkap. Karena sebenarnya yang lebih mereka butuhkan memang nasi bungkus lengkap.

Penyembelihan hewan qurban sudah ada ketentuannya, yaitu hanya berlaku setahun sekali dan bukan tiap hari. Kalau kita paksa ibadah ini menjadi berdimensi sosial, sebenarnya malah tidak tepat. Kalau mau memberi makan fakir miskin, sangat tidak masuk akal kalau memberinya hanya setahun sekali. Seharusnya memberinya bukan cuma sekali setahun, tetapi setiap hari sepanjang waktu, sehari tiga kali.

Di sisi lain, kalau judulnya mau memberi makan fakir miskin, maka ketentuan dalam penyembelihan hewan qurban itu terlalu kaku. Sebab yang boleh disembelih hanya sebatas kambing, sapi dan unta saja. Sumber makanan lain seperti ayam, bebek dan ikan yang lebih murah dan hampir semua orang makan, malah tidak boleh dijadikan qurban. Sementara tidak sedikit orang yang berpantang makan daging kambing, karena takut darah tinggi dan kolesterol.

Kalau dilihat dari sisi pihak orang miskinnya pun, masih ada masalah juga. Sebab tidak mungkin mereka hanya makan daging saja tanpa nasi atau lauk pauk yang lain. Bahkan ketentuannya lebih aneh lagi, yaitu daging itu lebih utama untuk diberikan dalam bentuk yang masih mentah, bukan yang matang.

Semua ini menjelaskan bahwa penyembeliah hewan qurban lebih bernuansa ritual ketimbang bernuansa santunan kepada fakir miskin.

4. Dalam Syariat Islam, Ibadah Yang Berdimensi Sosial Sudah Ada Tersendiri
Jangan lupa bahwa di dalam syariat Islam sudah ada tersedia begitu banyak paket ibadah yang didsesain sejak awal untuk memberi makan fakir miskin. Di antaranya zakat, fidyah, kaffarah, dan lainnya.

a. Zakat Al-Fithr
Ada paket ibadah zakat yang merupakan rukun Islam. Bahkan ada zakat khusus yang judulnya sudah merupakan zakat makanan (zakat al-fithr). Makanannya adalah makanan pokok bangsa itu dan bukan daging.

Rasulullah SAW sendiri mengeluarkan zakat makanan, baik berupa gandum atau kurma. Hal itu mengingat bangsa Arab memakan gandum dan kurma. Sementara kita bangsa Indonesia, tidak makan gandum atau kurma tetapi makan nasi. Maka zakat al-fithr yang kita keluarkan berupa beras, yaitu bahan baku nasi yang merupakan makanan pokok kita.

b. Fidyah
Selain zakat, untuk memberi makan orang yang kelaparan juga ada paket ibadah fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Fidyah sendiri di dalam Al-Quran ditegaskan bentuknya, yaitu memberi makan orang miskin. Maka jenis makanan yang diberikan pun harus disesuaikan dengan apa yang dimakan oleh penerimanya.

Dalam hal ini baik zakat al-fithr maupun fidyah hampir sama sifatnya. Cuma bedanya, porsi zakat lebih besar empat kali lipat dari fidyah. Zakat itu seukuran satu sha' setara dengan 4 atau 5 mud, sedangkan fidyah itu hanya seukuran satu mud saja.

c. Kaffarah
Kaffarah berati denda, yaitu ketika seseorang melakukan pelanggaran syariah jenis tertentu, maka ada kewajiban kaffarah. Dan di antara jenis kaffarah adalah memberi makan orang miskin.

Sebut saja bila ada orang melanggar kehormatan bulan Ramadhan dengan cara melakukan jima' di siang hari ketika puasa. Dari tiga jenis kaffarahnya, salah satunya adalah memberi makan 60 orang miskin.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru