Assalamu 'alaikum wr. wb.
Kami 3 orang bersaudara dan Ibu kami wafat 10 tahun yang lalu, kemudian ayah kami menikah lagi dengan seorang wanita yang usianya masih tidak terlalu jauh dengan kami anak-anaknya.
Cuma yang jadi masalah, ketika ayah kami wafat sebulan yang lalu, istri beliau atau ibu tiri kami seolah-olah mau menguasai sendiri harta peninggalan ayah kami.
Bagaimana agama Islam memandang masalah harta ayah kami ini, apakah kami anak-anak beliau memang tidak punya hak dan hanya ibu tiri kami saja sebagai istrinya yang berhak atas harta tersebut?
Mohon penjelasan
Wassalam
Kami 3 orang bersaudara dan Ibu kami wafat 10 tahun yang lalu, kemudian ayah kami menikah lagi dengan seorang wanita yang usianya masih tidak terlalu jauh dengan kami anak-anaknya.
Cuma yang jadi masalah, ketika ayah kami wafat sebulan yang lalu, istri beliau atau ibu tiri kami seolah-olah mau menguasai sendiri harta peninggalan ayah kami.
Bagaimana agama Islam memandang masalah harta ayah kami ini, apakah kami anak-anak beliau memang tidak punya hak dan hanya ibu tiri kami saja sebagai istrinya yang berhak atas harta tersebut?
Mohon penjelasan
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah bahwa ketika suami meninggal dunia, istrinya otomatis menjadi penguasa tunggal atas harta milik suaminya itu. Apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil, boleh dibilang harta suami sudah pasti jadi milik istri seluruhnya.
Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah bahwa ketika suami meninggal dunia, istrinya otomatis menjadi penguasa tunggal atas harta milik suaminya itu. Apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil, boleh dibilang harta suami sudah pasti jadi milik istri seluruhnya.
Padahal hak istri atas harta suaminya hanya 1/8 atau ¼ saja. Bila
suami punya anak misalnya, maka istri hanya berhak mendapat 1/8 dari total
harta milik suaminya. Sisanya yang 7/8 bagian menjadi hak anak-anaknya yang
kini sudah menjadi anak yatim.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
(QS. An-Nisa' : 12)
Kalau pun anak-anak almarhum masih kecil-kecil, bukan berarti anak
kecil tidak boleh menerima warisan. Mereka tetap berhak atas harta warisan dari
ayahnya. Namun istri boleh menyimpan dan memelihara harta dari anak-anaknya
itu, untuk suatu hari harus diserahkan harta itu kepada mereka.
Kalau pun harus terpakai harta itu demi kepentingan anak-anak,
maka istri harus secara amanat membelanjakannya dan tidak membuang-buang harta
itu, apalagi menguasainya untuk kepentingan diri sendiri.
Dan apabila si janda ini menikah lagi dengan laki-laki lain, ada
anggapan di tengah masyarakat bahwa si laki-laki yang menikahi janda kaya
menjadi orang yang paling beruntung.
Kenapa?
Karena seolah-olah si suami baru ini merasa mendapat hak dan
bagian dari harta peninggalan almarhum. Padahal seharusnya tak secuil pun harta
almarhum yang tiba-tiba berubah menjadi haknya. Harta itu milik anak-anak
almarhum dan istrinya saja, sedangkan suami baru bukan pihak yang berhak atas
harta almarhum.
Demikian juga yang terjadi bila istri yang meninggal dunia, maka
suami seolah-olah menjadi pewaris tunggal, dan mengangkat diri dirinya sebagai
satu-satunya orang yang berhak atas seluruh harta peninggalan istrinya. Maka
dia merasa bebas untuk kawin lagi dan memberikan seluruh harta milik almarhumah
istrinya kepada istri barunya.
Padahal seharusnya, suami hanya mendapat 1/4 bagian saja dari
harta istrinya. Bagian lainnya yang 3/4 bukan miliknya tetapi milik ahli waris
yang lain.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/