Pak Ustadz, saya mendengar
dari temen saya yang mengaji di salah satu kelompok pengajian yang mengatakan,
menurut kelompok tersebut daging anjing halal untuk dimakan. Alasan yang
dikemukakan adalah yang diharamkan menurut Al-Quran hanyalah daging babi, darah
dan sembelihan yang tidak atas nama Allah. Kemudian saya menyanggahnya dengan
mengatakan di hadis shahih daging tersebut haram. Namun temen saya berbalik
bertanya ke saya, mana yang lebih kuat Al-Quran apa Hadis? Kalau ada hadis yang
tidak sesuai dengan Al-Quran maka harus merujuk ke Al-Quran. Demikian juga
daging lainnya seperti katak dan binatang buas juga halal.
Saya jadi bingung, mohon dijelaskan karena kelompok tersebut di tempat saya
cukup besar baik secara organisasi maupun keanggotaan.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu ditegaskan bahwa ada dua hal yang terikait hewan. Pertama, masalah kenajisannya. Kedua, masalah kehalalannya untuk dimakan. Penjelasannya, bahwa semua hewan yang ditetapkan kenajisannya, maka otomatis haram dimakan. Sebab semua barang najis itu memang tidak boleh dimakan. Bahkan jangankan dimakan, disentuhpun membatalkan wudhu. Namun tidak semua yang disebutkan haram dimakan itu pasti najis. Racun itu haram dimakan, tetapi racun tidak najis.
Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu ditegaskan bahwa ada dua hal yang terikait hewan. Pertama, masalah kenajisannya. Kedua, masalah kehalalannya untuk dimakan. Penjelasannya, bahwa semua hewan yang ditetapkan kenajisannya, maka otomatis haram dimakan. Sebab semua barang najis itu memang tidak boleh dimakan. Bahkan jangankan dimakan, disentuhpun membatalkan wudhu. Namun tidak semua yang disebutkan haram dimakan itu pasti najis. Racun itu haram dimakan, tetapi racun tidak najis.
Bahwa ada pendapat yang tidak
menajiskan anjing, kita akui memang ada. Di antaranya adalah kalangan mazhab
Malik yang dipelopori oleh pendirinya, al-Imam Malik rahimahullah.
Kemungkinan kelompok yang
anda sebutkan itu mengacu -secara disadari atau tidak- kepada apa yang
disimpulkan oleh mazhab Malik sejak 1.400-an tahun yang lalu. Pendapat itu
bukan ijtihad kemarin sore.
Khusus dalam masalah
kenajisan dan kehalalan hewan, mazhab ini boleh dibilang paling eksentrik.
Sebab selain tidak menajiskan anjing, mereka pun tidak menajiskan babi. Tentu
saja mereka punya segudang dalil dari Al-Quran dan As-sunnah yang rasanya sulit
kita nafikan begitu saja. Meski kita tetap berhak untuk tidak sepakat.
Maksudnya, pendapat itu
bukan mengada-ada atau asal-asalan. Tetapi lahir dari hasil ijtihad panjang
para ulama sekaliber Imam Malik. Asal tahu saja, Imam Malik itu adalah guru
Imam As-Syafi'i. Beliau adalah imam ulama Madinah, kota yang dahulu Rasulullah
SAW pernah tinggal beserta dengan para shahabatnya.
Akan tetapi memang demikian
dunia ilmu fiqih, meski pernah belajar kepada Imam Malik, namun Imam
Asy-Syafi'i tidak merasa harus mengekor kepada semua pendapat gurunya itu. Dan
kapasitas beliau sendiri memang sangat layak untuk berijtihad secara mutlak,
sebagaimana sang guru. Dan hal itu diakui sendiri oleh sang guru, bahkan sang
gurujustru sangat bangga punya anak didik yang bisa menjadi mujtahid mutlak
serta mendirikan mazhab sendiri. Di mana tidak semua pendapat gurunya itu
ditelan mentah-mentah.
Mazhab As-Syafi'i sendiri
justru 180 derajat berbeda pandangan dalam masalah anjing dan babi. Buat
mereka, anjing dan juga babi adalah hewan yang haram dimakan, sekaligus najis
berat (mughalladhzah). Yang najis bukan hanya moncongnya saja (su'ru)
sebagaimana bunyi teks hadits, melainkan semua bagian tubuhnya. Dalilnya adalah
hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra. bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Bila seekor anjing minum dari wadah milik
kalian, maka cucilah 7 kali." (HR
Bukhari 172, Muslim 279, 90).
Dari Abi Hurairah ra. bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing
adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah." (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Dalam pandangan mazhab ini,
meski hadits Rasulullah SAW hanya menyebutkan najisnya wadah air bila diminum
anjing, namun kesimpulannya menjadi panjang.
Logika mereka demikian,
kalau hadits menyebutkan bahwa wadah menjadi najis lantaran anjing meminum
airnya, berarti karena air itu tercampur dengan air liur anjing. Maka buat
mereka, najis dihasilkan oleh air liurnya. Jadi air liur anjing itu najis.
Sementara air liur itu sendiri dihasilkan dari dalam perut anjing. Berarti isi
perut anjing itu juga najis. Dan secara nalar, apapun yang keluar dari dalam
perut atau tubuh anjing itu najis. Seperti air kencing, kotoran bahkan termasuk
keringatnya.
Nalar seperti ini kalau
dipikir-pikir benar juga. Sebab kalau air yang tadinya suci lalu diminum anjing
bisa menjadi najis karena terkena air liur anjing, tidak logis kalau justru
sumber najisnya (tubuh anjing) malah dikatakan tidak najis. Betul, kan?
Jadi meski hadits itu tidak
mengatakan bahwa tubuh anjing itu najis, tetapi logika dan nalar mengantarkan
kita kepada kesimpulan bahwa tubuh anjing itu seharusnya sumber kenajisan.
Adapun sanggahan teman anda
bahwa hadits ini bertentangan dengan ayat Al-Quran, sebenarnya tidak demikian
keadaannya. Hadits tentang najisnya anjing tidak bertentangan dengan satu pun
ayat di dalam Al-Quran. Sebab tidak satupun ayat Al-Quran yang menyebutkan
bahwa anjing itu tidak najis. Silahkan telusuri dari surat Al-Fatihah hingga
surat An-Naas, tidak akan anda temukan satu pun ayat yang bunyinya bahwa anjing
itu tidak najis.
Jadi hadits dan ayat Quran
tidak bertentangan, sehingga tidak perlu meninggalkan hadits najisnya anjing.
Bahkan Imam Malik sendiri pun tidak pernah menafikan hadits tentang najisnya
air yang diminum anjing itu.
Hanya bedanya antara
pendapat beliau dengan pendapat As-Syafi'yah adalah bahwa yang najis itu adalah
air yang diminum anjing. Adapun anjingnya sendiiri tidak najis,sebab hadits itu
secara zahir tidak mengatakan bahwa anjing itu najis. Dan memang hadits itu
sama sekali tidak menyebut bahwa anjing itu najis, yang secara tegas disebut
najis adalah wadah air yang diminum anjing.
Logika Imam Malik inilah
yang dikritisi oleh Asy-syafiiyah, yaitu mana mungkin airnya jadi najis kalau
sumbernya tidak najis. Itu saja.
Kesimpulan
Akan tetapi baik pendapat
yang menajiskan atau yang tidak, keduanya lahir dari sebuah proses ijtihad para
begawan syariah kelas dunia. Kita boleh memilih mana yang menurut kita lebih
masuk akal atau yang lebih membuat kita tenteram. Tanpa harus menyalahkan atau
mencaci maki saudara kita yang kebetulan tidak sama pilihannya dengan pilihan
kita.
Biarlah perbedaan pendapat
ini menghiasi khazanah syariah Islam. Siapa tahu di balik perbedaan pendapat
ini Allah SWT memang berkenan memberikan hikmah yang tidak kita duga
sebelumnya. Sangat picik bila perbedaan pendapat ini malah disikapi dengan cara
kekanak-kanakan, seperti saling menyakiti, saling cela, saling hina, saling
tuduh. Sungguh dahulu kedua imam besar itu bermesraan dan saling menghormati,
bahkan saling menyanjung. Lalu mengapa kita yang tidak ada seujung kuku mereka,
malah merasa diri paling benar sendiri sambil menuding orang lain salah semua?
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/