Assalamu 'alaikum wr. wb.
Akhir-akhir ini eramuslim.com menjadi pilihan rutin untuk belajar
Islam lebih jauh, terutama rubrik "Ustadz Menjawab." Dalam diri saya
kadang-kadang tampak kebingungan dalam ajaran Islam. Semua (lebih banyak?)
permasalahan yang menyangkut ibadah, pasti akan muncul "BID'AH" dan
itu sampai kiamat tidak akan ada kata selesai. Kadang-kadang timbul juga
perasaan ragu-ragu, apa iya ibadahku selama ini termasuk bid'ah? Apa iya juga
termasuk membuat syariah baru? Karena kami melakukan itu atas dasar untuk LEBIH
mendekatkan diri kepada Allah (mengikuti guru-guru yang lainnya). Seperti
wiridan (dzikir) dipimpin oleh seorang imam, dilakukan bersama-sama dan rutin
(dicap sebagai bid'ah) kadang-kadang saya ingin beribadah semau gue saja, pokoknya
salat, baca Quran, tidak merugikan orang lain, itu saja dan kadang-kadang juga
sudah malas mempelajari Islam, kalau suatu permasalahan dicap bid'ah,
masih khilafiyah, kapan Islam akan maju? Kayaknya Islam ajaran yang
sangat ribet.Dikit-dikit bid'ah (di zaman Rasul tak ada). Bukankah
zaman dulu (Rasul) dengan sekarang sudah 1 juta derajat perbedaannya? Mohon
penjelasan yang bijak biar tumbuh lagi semangat saya dalam mempelajari Islam.
Jazakumullah kh. kts.
Jazakumullah kh. kts.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatu,
Menyebutkan bahwa suatu amal itu bid'ah sangat berbeda maknanya
dengan menyebutkan bahwa hukum suatu masalah masih merupakan khilafiyah. Kalau
mengatakan suatu amal adalah bid'ah, itu adalah vonis dan tuduhan yang bersifat
final, sehingga siapapun yang melakukan amal tersebut, terkena ancaman masuk
neraka. Sedangkan kalau kita menjelaskan bahwa suatu amal itu hukumnya masih
menjadi khilaf di kalangan ulama, bukan vonis apalagi ancaman, melainkan
penambahan informasi (ilmu) tentang suatu masalah.
Keduanya berbeda esensi dan semangat. Yang pertama, semangatnya
adalah mengancam dan mem-black-list. Sedangkan yang kedua, semangatnya
adalah kajian ilmu dan penambahan wawasan.
Namun keduanya sama-sama penting untuk dilakukan. Kalau suatu
masalah sudah benar-benar qath'idan mutlak, tentu saja yang harus
dilakukan adalah mengingatkan umat agar tidak terjatuh ke dalam bid'ah. Sebab
bid'ah itu memang sangat berbahaya bila sampai dilakukan. Seluruh elemen umat
Islam wajib ikut memberantas bid'ah dan hukumnya fardhu 'ain.
Namun bila kedudukan suatu amal itu oleh para ulama masih menjadi
titik perbedaan pandangan, maka bukan pada tempatnya untuk langsung begitu saja
menabuh genderang perang. Sebab yang satu mengharamkannya sedangkan yang lain
tidak. Sementara semuanya datang dengan ijtihad yang nyata serta dilengkapi
dengan dalil-dalil kuat yang tidak bisa dipungkiri. Dalam masalah seperti ini,
tentu saja yang perlu dilakukan adalah memberikan wawasan dan informasi yang
seluas-luasnya kepada umat. Bukan menjadikannya bahan saling mengejek dan
menyakiti.
Bukan berarti kita pllin-plan atau tidak punya
pilihan, melainkan tugas kita yang pertama adalah menyampaikan ilmu, meski
materinya tentang perbedaan pendapat para ulama dalam suatu masalah. Adapun
kalau secara langsung mendukung suatu pendapat dan menafikan pendapat yang
lain, lebih tepat bila disampaikan dalam forum khusus dengan audience yang
khusus pula.
Misalnya, ketika kita mengajar tata cara shalat buat anak TK,
tentu akan jauh lebih bijaksana kalau kita mengambil satu pendapat saja untuk
dijadikan rujukan. Tidak perlu anak TK itu dibuat bingung dengan adanya khilaf
ulama dalam masalah shalat.
Namun sebaliknya, untuk mereka yang sudah lebih dewasa, misalnya
para mahasiswa atau masyarakat umum yang di dalamnya terdiri dari banyak elemen
mazhab dan kecenderungan, akan lebih tepat bila kita menyajikannya dengan
dilengkapi informasi perbedaan pendapat yang berkembang. Sehingga ketika
seseorang mendapati saudaranya shalat dengan cara yang berbeda, dia bisa punya
sikap yang bijaksana. Tidak lantas mencaci maki, menjelek-jelekkan, mengatainya
sebagai ahli bid'ah dan kata-kata kotor lainnya.
Sebab dalam kenyataannya, para ulama memang berbeda pendapat dalam
masalah furu' (cabang). Sayangnnya, kalau para ulama bisa
dengan santai berbeda pendapat, namun justru orang-orang awam yang kurang ilmu
dan tidak punya wawasan menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai bahan untuk
saling menuai dosa.
Dan sebenarnya, justru di situlah letak perbedaan asasi antara
seorang ulama betulan dengan orang awam tapi sok tahu. Seorang yang banyak
ilmunya memiliki sekian banyak wawasan dan mudah memaklumi perbedaan pendapat.
Sebaliknya, seorang yang sok jadi ulama tapi sesungguhnya kurang pantas,
seringkali dengan mudah melepar tuduhan ke sana ke mari. Seolah-olah di dunia
ini hanya dirinya saja yang benar, sedangkan orang lain semuanya pasti salah.
Rubrik Ustadz Menjawab ini diarahkan untuk memberikan wawasan yang
lebih luas. Bila dalam suatu masalah memang terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama, sebisa mungkin disampaikan dan diupayakan dengan disertai dalil
masing-masing pendapat itu. Semua ini agar kita bisa lebih banyak belajar,
lebih banyak tahu dan lebih punya perbandingan. Tidak seperti katak yang hidup
di bawah tempurung tapi merasa mengetahui segalanya.
Mungkin buat sebagian kalangan agak membingungkan ketika mendapati
bahwa jawaban yang diberikan selalu saja menyertakanperbedaan pendapat ulama.
Malah tambah bingung mau ikut pendapat yang mana. Hal itu wajar terjadi,
mungkin karena terbiasa diajarkan dengan satu versi saja, sehingga begitu tahu
ada versi-versi lainnya, malah jadi semakin merepotkan.
Namun metode ini akan lebih bermanfaat buat mereka yang dinamis
dan banyak bergaul dengan banyak kalangan serta mendapati kenyataan bahwa dalam
banyak masalah furu'iyah, umat Islam memang berbeda. Keterangan tentang khilaf
dalam jawaban-jawaban ini akan bisa menjadi pegangan atas kebingungan tersebut.
Sehingga para pembaca akan lebih mendapat wawasan yang luas dan lengkap tentang
suatu masalah. Tanpa merasa harus memusuhi siapapun yang pendapatnya tidak
sama. Karena berbeda pendapat dalam masalah furu'iyah itu memang tidak boleh
dilanjutkan menjadi permusuhan, apalagi bersemangat untuk menghina dan mencaci
maki saudara muslim.
Perbedaan pendapat tentang suatu masalah sudah merupakan hal yang
tidak bisa dipungkiri. Sudah ada jauh sejak masa ulama salaf, bahkan para
tabi'in dan para shahabat pun sering kali berbeda pendapat. Nabi-nabi pun dalam
banyak masalah teknis mungkin saling berbeda pendapat. Kalau para nabi berbeda
pendapat, demikian juga para shahabat, tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para ulama
salaf, mengapa kita yang hidup jauh dari mereka tidak boleh berbeda pendapat?
Mengapa kita hanya memberikan satu tempat untuk kebenaran, padahal
Rasulullah SAW tidak menyalahkan ketika ada dua pendapat yang berkembang?
Sebenarnya sikap merasa paling benar sendiri bukan ciri para
ulama. Apalagi sampai mencaci maki ulama lain yang berbeda, bahkan sampai
menuduh bid'ah dan membongkar aib dan kekurangan masing-masing. Semua bukan
ciri dari seorang yang berilmu, sebaliknya mencirikan keawaman dan
ketidak-pahamannya sendiri.
Wasssalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatu,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/