Assalamu'alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh
Bapak Ustadz yang diberkahi ALLAH SWT, mohon dijelaskan mengenai
kaidah "kalau sekiranya amal itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan
oleh Rasululloh, sahabat dan para tabi'in?" Bagaimana pendapat pak ustadz tentang
kaidah ini? Apakah memang setiap bentuk amal harus persis sama seperti yang
dicontohkan oleh Rasululloh dan para sahabat? Apakah memang ada amal yang
dikategorikan bukan bid'ah secara syar'i dikarenakan pertimbangan nilai
maslahat, walaupun sebenarnya memang tidak pernah dicontohkan rasululloh dan
para sahabat?
Contoh: "Dzikir berjamaah", saya telah membaca penjelasan tentang dzikir berjamaah di "eramuslim", dan saya telah membaca juga penjelasan tentang kebid'ah-an dzikir berjamah di beberapa buku dan artikel. Yang dapat saya pahami adalah, dalil-dalil yang ada memang sama kuat. Namun saya melihat ada perbedaan pemahaman dalam memahami dalil, apakah memang demikian? Kemudian bagaimana jika diajukan pertanyaan dengan kaidah tersebut di atas?
Atas penjelasan yang Bapak Ustadz uraikan, saya yang sedang dalam
kebingungan ini mengucapkan terimakasih. Semoga Allah SWT memberkahi ilmu yang
bapak miliki.
Wassalamu'alaikum wa rahmatullohi wa barokatuh
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Setiap ulama tentu saja punya sekian banyak hujjah (argumentasi)
untuk menguatkan pendapatnya, termasuk juga hujjah untuk menjatuhkan pendapat
'lawan'nya. Saling melemahkan pendapat lainnya selama masih dalam etika fiqih
ikhlitaf tentu saja dibenarkan. Sebab tujuan ijtihad memang untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dan paling mendekati kebenaran. Bukan sekedar asal menang
atau asal benar sendiri.
Di antara bentuk hujjah yang seringkali diajukan oleh para ulama
ketika menafikan suatu amal dari kesunnahan adalah apa yang telah anda
sebutkan, yaitu argumentasi "bila sautu amal memang baik, mengapa tidak
dikerjakan secara langsung oleh Rasulullah SAW dan para shahabat?"
Argumentasi seperti ini tentu kuat sekali, sebab semua ulama
sepakat untuk mengatakan bahwa ibadah ritual itu haruslah selalu mengacu kepada
apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bila tidak ada keterangan yang valid
dari Rasulullah SAW, maka suatu amal itu tidak bisa dinisbahkan kepada beliau
SAW.
Sampai di sini para ulama tentu saja sepakat dan bersuara bulat.
Namun masalahnya bukan hanya berhenti sampai di sini. Sebab para ulama pun
berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian juta hadits yang
berserakan. Antara lain karena:
a. Mereka berbeda pendapat ketika menshahihkan suatu hadits
Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ulama berbeda pandangan dalam
menghukumi setiap hadits. Ketika ulama A mengatakan bahwa suatu hadits itu
shahih, sebenarnya status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya. Boleh jadi hadits itu shahih dalam kerangka kriteria seorang
ahli hadits, namun belum tentu hadits itu shahih buat ulama lainnya.
Dari sini saja kita sudah bisa menduga bahwa kalau hukum atas
derajat suatu hadits itu masih mungkin berbeda-beda, tentu saja ketika mengambil
kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah SAW pun
berbeda juga.
b. Mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal
Katakanlah para ulama hadits sudah sepakat atas suatu amal, bahwa
amal tersebut disebutkan di dalam suatu hadits yang shahih. Namun masalahnya
belum selesai. Mereka masih sangat mungkin berbeda pendapat dalam pengambilan
kesimpulannya.
Tiga Macam Sunnah
Selain kedua hal di atas, para ulama pun mengenal tiga macam
sunnah yang sumbernya dari diri Rasulullah SAW. Ada sunnah yang pernah
dilakukan langsung oleh beliau, namanya sunnah fi'liyah. Misalnya ibadah shalat
sunnah seperti shalat dhuha', puasa Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan
lainnya. Para shahabat melihat langsung beliau melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Yang kedua adalah sunnah di mana Rasulullah SAW hanya
memerintahkannya saja, disebut dengan sunnah qauliyah. Riwayat yang sampai
kepada kita hanya sekedar ada perintah baik yang berupa kewajiban, saran,
anjuran atau himbauan. Tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa
Rasulllah SAW pernah mengejakannya secara langsung.
Ambil contoh misalnya masalah berang. Kita semua tahu bahwa beliau
SAW memerintah kita untuk mengajarkan anak-anak belajar berenang. Tapi
sepanjang yang kita tahu dari hadits, belum pernah kita dengar bahwa Rasulullah
SAW suatu ketika ketahuan sedang belajar berenang secara langsung. Atau ada
suatu kelas khusus di mana Rasululah SAW dan para shahabat ikut kursus renang.
Waallahu a'lam bishsawab, apakah ada hadits yang meriwayatkan hal itu. Yang
kita selama ini hanya perintahnya saja untuk belajar berenang.
Dan yang ketiga adalah sunnah di mana Rasulullah SAW tidak
melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya,
namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut
dengan sunnah taqririyah.
Kesimpulan Hukum Tentang Zikir Berjamaah: Masalah Khilaf
Salah satu contohnya adalah masalah zikir berjamaah, di mana
begitu banyak hadits yang menyebutkan bahwa para malaikat turun kepada mereka
dan memberikan naungannya dengan sayap-sayao mereka ke dalam majelis zikir itu.
Hadits yang seperti ini tidak hanya satu dan dilihat dari segi hukum derajatnya
pun termasuk hadits yang umumnya dishahihkan para ulama.
Tinggal mereka berbeda dalam menyimpulkan hukumnya. Sebagian ulama
mengatakan bahwa majelis zikir itu maksudnya bukan zikir massal bersama dengan
satu komandan, melainkan zikir masing-masing. Jadi kalau zikir massal satu
komando -menurut mereka- tetap tidak boleh. Yang lain lagi mengatakan bahwa
majelis zikir itu maksudnya adalah majelis ilmu, bukan zikir massal. Dan yang
lain lagi mengatakan hal yang lain lagi.
Padahal dari segi kekuatan derajat haditsnya telah mereka
sepakati, tapi kesimpulan hukumnya tetap saja berbeda-beda. Lantaran mereka pun
memiliki cara memahami hadits itu dengan cara yang berbeda pula.
Kalau kita kaitkan dengan pertanyaan yang anda sampai di muka,
mereka yang mendukung zikir massal mengatakan bahwa meski tidak ada sunnah
fi'liyah (yang dicontohkan secara langsung oleh nabi SAW dan para shahabat)
bukan berarti zikir massal itu menjadi bid'ah, sehingga pelakunya berdoa dan
masuk neraka. Sebab masih ada dalil lain yang menguatkan masyru'iyah zikir
massal itu meski hanya sunnah qauliyah. Sunnah qauliyah itu adalah sunnah
Rasulullah SAW yang keterangannya sampai kepadanya kita bukan dengan cara
dicontohkan, melainkan dengan disebutkan atau diucapkan. Di mana ucapan itu
tidak selalu berbentuk fi'il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk
anjuran, janji pahala, ancaman siksa dan sebagainya.
Bagaimana mungkin suatu amal yang didukung dengan dalil sunnah
qauliyah itu disimpulkan menjadi hukum bid'ah?
Walhasil, kalau kita cermati argumen demi argumen masing-masing
ulama, kita harus kagum dengan kemampuan mereka dalam berhujjah. Ini adalah
sebuah level keilmiyahan tingkat tinggi, di mana kita hanya mampu berdecak kagum
sambil manggut-manggut bila membaca dialog mereka.
Wallahu a'lam bish-shawab, wassalamu;alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/