Assalamu 'alaikum wr. wb.
Kemarin ada pengajian yang saya rasakan isinya cukup aneh. Narasumbernya saya lupa namanya. Tetapi yang agak janggal dia mengatakan bahwa sutera itu tidak diharamkan untuk dikenakan, walaupun buat laki-laki sekalipun.
Kemarin ada pengajian yang saya rasakan isinya cukup aneh. Narasumbernya saya lupa namanya. Tetapi yang agak janggal dia mengatakan bahwa sutera itu tidak diharamkan untuk dikenakan, walaupun buat laki-laki sekalipun.
Dalam kesempatan ini saya mohon bertanya dan ingin mendapatkan pencerahan dari ustadz terkait keharaman sutera ini.
1. Mohon disebutkan dalil-dalil apa saja yang terkait dengan haramnya sutera.
2. Siapa saja yang haram untuk mengenakannya.
3. Dan siapa saja yang dikecualikan atau yang boleh mengenakannya.
Terima kasih atas jawaban dari ustadz.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
A. Dalil Keharaman Sutera
A. Dalil Keharaman Sutera
Ada beberapa hadits yang
shahih tentang keharaman emas dan sutera buat laki-laki dari umat Nabi Muhammad
SAW
أُحِل الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لإِنَاثٍ مِنْ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا
Dihalalkan emas dan sutera
buat wanita dan diharamkan keduanya buat laki-laki dari umatku. (HR.An-Nasa’i )
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لإِنَاثِهِمْ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memegang sutera dengan tangan kananya dan emas
dengan tangan kirinya kemudian mengangkatnya sambil bersabda,”Kedua benda ini
haram bagi laki-laki dan halal bagi perempuan dari umatku. (HR. Ibnu Majah)
الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ حِلٌّ لإِِِنَاثِ أُمَّتِي حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِهَا
Dari Zaid bin Al-Arqam dan
Watsilah bin Al-Asqa’ radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW bersabda,”Emas dan
sutera halal hukumnya buat wanita dari umatku namun haram buat laki-laki dari
umatku. (HR. At-Thabarani)
B. Siapa Yang Diharamkan?
Haramnya sutera (dan emas)
hanya khusus berlaku untuk laki-laki dari umat Nabi Muhammad SAW di dunia ini.
Sedangkan untuk umatnya yang perempuan, tidak ada keharaman atau larangan.
Umat Nabi SAW yang
laki-laki akan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera dan emas nanti di
dalam surga. Untuk di dunia ini mereka diharuskan untuk bersabar sejenak,
sebagaimana firman Allah :
وَجَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
Dan Dia memberi balasan
kepada mereka karena kesabaran mereka surga dan sutera (QS. Al-Insan : 12)
Al-Quran Al-Kariem tujuh
kali menyebutkan bahwa pakaian penghuni surga itu adalah sutera, dan juga
mengenakan emas. Salah satunya disebutkan dalam ayat berikut ini :
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ
Surga Adn, di dalamnya
mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan
pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. (QS.
Faathir : 33)
C. Yang Dikecualikan
Namun meski demikian, ada
juga udzur syar’i yang membolehkan laki-laki mengenakan pakaian yang terbuat
dari sutera.
1. Anak-anak
Sebagian ulama dari mazhab
Asy-Syafi’iyah menegaskan bahwa laki-laki yang masih kecil atau belum baligh
dihalalkan memakai sutera. Alasannya karena larangan
agama itu hanya berlaku untuk mereka yang mukallaf, yaitu yang sudah baligh.
Dan larangan itu tidak berlaku buat anak-anak karena mereka belum mukallaf dan
juga belum baligh.
Sebaliknya, sebagian
pendapat ulama lain menegaskan bahwa meski belum baligh, namun anak laki-laki
tetap terkena hadits pelarangan laki-laki memakai sutera.
Selain itu mereka juga berdalil
dengan hadits Jabir berikut ini :
كُنَّا نَنْزِعُهُ عَنِ الْغِلْمَانِ وَنَتْرُكُهُ عَلَى الْجَوَارِي
Dahulu kami mencabut sutera
dari anak laki-laki dan membiarkannya dari anak perempuan. (HR. Abu Daud)
Namun menurut pendapat ini,
karena anak laki-laki yang masih kecil yang belum baligh bukan seorang
mukallaf, tentu kalau dipakaikan pakaian sutera bukan kesalahan dirinya. Tentu
dirinya tidak menanggung dosanya, melainkan orang tuanya atau siapa pun yang
memberikan anak kecil itu pakaian dari sutera.
2. Orang Sakit
Ibnu Hubaib dari mazhab
Al-Malikiyah membolehkan laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutera
bila dengan alasan sakit kulit. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini :
رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحَكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا
Rasulullah SAW memberi
keringanan buat Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair radhiyallahuanhuma untuk
memakai pakaian dari sutera karena penyakit kulit yang menimpa mereka. (HR. Bukhari)
Bahkan mazhab
Asy-Syafi’iyah meluaskan ruang lingkup batasan kebolehan memakai sutera, yaitu
bila seseorang tersika karena cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin.
Sebaliknya, ada juga
pendapat yang mempersempit dengan mengatakan bahwa keringanan (rukhshah)
yang Rasulullah SAW berikan kepada kedua shahabatnya itu bersifat khusus hanya
kepada mereka berdua, dan tidak berlaku buat orang lain.
3. Perang

Abu Yusuf dan Muhammad, dua
ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah serta Ibnu Majisyun dari mazhab
Al-Malikiyah membolehkan secara mutlak. Sebab dalam pandangan mereka, illat
dari keharaman memakai sutera buat laki-laki adalah karena dianggap pakaian
kesombongan. Sedangkan sombong untuk menghadapi orang kafir tidak menjadi
halangan.
Al-Hanabilah terbelah dua
pendapatnya, tergantung dari situasi perangnya. Kalau memang dibutuhkan memakai
sutera, hukumnya boleh. Sebaliknya, kalau tidak terlalu penting dan tidak ada
keperluannya, hukumnya tetap haram dipakai.
4. Bagian Kecil
Para ulama menyebutkan
keharaman sutera buat laki-laki bila seluruh pakaiannya terbuat dari bahan itu.
Sedangkan bila ada bagian kecil dan hanya tertentu saja yang terbuat dari
sutera, hal itu merupakan keringanan alias rukhshah.
Dasarnya adalah hadits
nabawi berikut ini :
نَهَى عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ إِلاَّ مَوْضِعَ إِصْبَعَيْنِ أَوْ ثَلاَثٍ أَوْ أَرْبَعٍ
Rasulullah SAW melarang
memakai sutera kecuali pada bagian kecil seukuran dua, tiga atau empat jari(HR. Muslim)
Hadits ini juga menjadi
dasar kebolehan sutera bila untuk bagian tambahan yang terpisah dari pakaian.
Istilahnya adalah ‘alam. Bahkan Ibnu Hubaib membolehkan sutera pada ‘alam ini
meski ukurannya besar.[1]
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/