Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, ana lagi bingung
tentang masalah HADITS AHAD. Ada golongan yang menganggap bahwa hadits ahad
tidak bisa di jadikan hujjah dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad
masih termasuk ke dalam dzon (keraguan). Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits
ahad bisa dijadikan hujjah asalkan shahih. Tolong diterangkan beserta dalilnya.
Syukron atas jawabannya, jazakalloh ahsanal jaza...
Wasalamu'alaikum Wr. Wb.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh, Memang
ada beberapa orang yang menghukumi hadits ahad sebagai hadits yang lemah,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar aqidah. Di antara yang berpendapat
demikian antara lain An-Nadham (w. 221-223 H) dan Al-Jubbai (w. 303 H) dari
kalangan Mu'tazilah yang sejak abad ke-2 hijriyah telahberpendapat demikian.
Termasuk di masa sekarang ini adalah Syeikh Muhammad Syalthut yang menulis di
dalam bukunya Al-Islamu Aqidatan wa Syari'atan.
Sedangkan jumhur ulama,
menurut Ibnu Hazm, baik dari kalangan ahli sunnah, syiah, khawarij, qadariyah
dan lainnya, semua sepakat menerima keberadaan hadits ahad sebagai landasan
aqidah.
Kelemahan Pendapat Ini
Pendapat yang menolak
hadits ahad sebagai landasan aqidah ini oleh para pakar hadits dikritik karena
ada sedikit keterpelesetan penggunaan istilah. Yang benar sesungguhnya bukan
hadits ahad, melainkan hadits dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang lemah dari
segi periwayatannya, sehingga kekuatannya dari segi tsubut masih diragukan.
Oleh karena itu masalah-masalah yang urgen seperti aqidah tidak boleh
didasarkan dengan hadits dhaif.
Adapun hadits ahad punya
pengertian yang jauh berbeda dengan hadits dhaif. Hadits ahad adalah hadits
yang diriwayatkan oleh satu orang perawi. Dan keberadaan hanya satu orang
perawi dalam sebuah thabaqat tidak berpengaruh apa-apa
terhadap kekuatan sebuah periwayatan. Yang penting perawi yang sendirian itu
tsiqah serta tidak punya cacat atau luka (majruh).
Sehingga sebuah hadits ahad
bisa saja tetap berstatus shahih, bila perawinya memenuhi syarat keshahihan
suatu hadits. Sebab lawan dari hadits ahad bukanlah
hadits shahih, melainkan haditsmutawatir. Sedangkan lawan
dari hadits shahih adalah hadits dhaif.
Hadits mutawatir adalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan
oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat berdusta. Menurut As-Suyuthi, jumlah itu minimal 10
orang di tiap jenjangnya.
Sedangkan hadits ahad adalah
lawan dari hadits mutawatir. Para ulama hadits biasa membuat definisi bahwa
semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits ahad. Lalu
hadits ahad itu bisa dibagi lagi menjadi tiga level lagi yaitu: hadits masyhur,
hadits 'aziz dan haditsgharib.
Pembagian hadits ahad
menjadi masyhur, 'aziz dan gharib tidaklah
bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif.
Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan
diterima (maqbul) atau tidak diterimanya (mardud) suatu hadits,
tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya jumlah sanad dan perawi suatu
hadits.
Kalau kita bicara tentang
keshahihan atau kekuatan derajat suatu hadits, maka kita tidak berbicara jumlah
perawi. Tetapi yang kita bicarakan adalah status ketsiqahan sang perawi.
Sedangkan ketika kita bicara tentang hadits ahad dan hadits mutawatir, kita
hanya bicara tentang jumlah perawi, yang sebenarnya tidak langsung terkait
dengan status keshahihan suatu hadits. Meski tetap ada hubungannya.
Oleh karena itu, yang benar
adalah bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan
syariah. Sedangkan hadits ahad, asalkan perawinya tsiqah, tetap bisa berstatus
shahih dan bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah.
Dalil Hadits Ahad Bisa
Dijadikan Landasan Masalah Aqidah
1. Pengiriman Da'i ke
Berbagai Wilayah
Dakwah Raslullah SAW tidak
terbatas hanya di kota Makkah dan Madinah saja, tetapi juga merambah ke segala
penjuru negeri arab, bahkan sampai ke luar negeri arab. Untuk itu Rasulullah
SAW mengutus satu orang shahabat ke masing-masing wilayah untuk mengajak
penduduknya masuk Islam.
Salah satunya adalah Muaz
bin Jabal diutusbeliau SAW ke negeri Yaman. Dari wawancara antara Rasulullah
SAW dengan beliau sebelum berangkat, jelas sekali bahwa misi yang diemban
adalah mengajarkan tauhid dan masalah aqidah.
Kalau dilihat dari
pengertian hadits ahad, maka dikirimnya Muaz ra. ke Yaman adalah merupakan
fenomena hadits ahad, sebab beliau sendirian saja di tengah wilayah yang
dijadikan objek dakwah. Kalau pun disebut-sebut bahwa Abu Musa Al-Asy'ari juga
dikirim ke Yaman, ternyata ke wilayah yang berbeda.
Maka klaim bahwa hadits
ahad tida bisa dijadikan dasar masalah aqidah, gugur dengan sendirinya. Sebab
datangnya Muaz ra. ke Yaman untuk mengajarkan seluruh ajaran Islam adalah sebuah
kasus hadits ahad. Namun tidak pernah ada yang mempermasalahkan keIslaman
penduduk Yaman, meski hanya disampaikan oleh satu orang pembawa berita.
2. Surat Nabi kepada Para
Raja Dunia
Surat-surat yang dikirim
kepada para raja dunia oleh Rasulullah SAW juga merupakan bagian dari fenomena
hadits ahad. Padahal isinya justru masalah yang paling esensial dalam Islam.
Kalau dikatakan hadits ahad
tidak bisa dijadikan landasan aqidah, maka tidak ada gunanya surat-surat itu
dikirimkan.
3. Berita tentang Pemindahan
Kiblat
Ketika turun ayat tentang
pemindahan qiblat dari Masjid Al-Aqsha di Palestina ke Masjid Al-Haram di
Makkah, para shahabat sedang melakukan shalat shubuh d masjid Quba', tiba-tiba
datang seorang yang membawa berita bahwa telah turun ayat yang memerintahkan
pemindahan kiblat. Maka mereka tidak mempermasalahkan jumlah yang membawa
berita. Sehingga saat itu juga mereka langsung balik arah.
Kalau seandainya hadits
ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah atau syariah, maka para shahabat
tidak akan begitu saja menerima berita turunnya wahyu itu.
4. Hadits Nabawi
Juga ada hadits nabawi
berikut ini yang menegaskan bahwa berita yang dibawa hanya oleh satu orang,
tetap bisa dijadikan dasar dan hujjah atas masalah yang penting semacam aqidah
dan sebagainya.
Allah SWT telah mencerahkan
wajah seseorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikannya
lagi kepada orang lain sebagaimana yang dia dengar. (HR Tirimizy)
Hadits ini jelas sekali
menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan
hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait dalam
masalah aqidah, syariah atau lainnya.
Seandainya pendapat untuk
menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada
banyak sekali aqidahIslam yang harus gugur, karena landasannya hanya
berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir,
mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan
neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di
akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri
kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya.
Karena semua aqidah itu
dilandasi dengan dalil-dalil yang berasal dari hadits ahad, tidak sampai
mutawatir.
Bahkan sebagian besar
syariat Islam akan terhapus, karena jumlah hadits mutawatir sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah hadits ahad.
Yang benar adalah bahwa
hadits ahad itu banyak yang shahih, sehingga tetap bisa dijadikan landasan
aqidah, syariah dan semuanya.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/