Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Selasa, 20 Januari 2015

Benarkah Zakat Profesi Itu Cuma Hasil Ijtihad?


Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz yg saya hormati, saya mau bertanya tentang hukum zakat profesi. Apa benar kalau dikatakan bahwa zakat profesi itu hanya merupakan hasil ijtihad, dan sebenarnya tidak diperitahkan di dalam Al-Quran atau pun hadits?
Padahal selama ini yang saya tahu, mungkin pengetahuan saya terbatas, setiap harta yang kita terima wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya?
Lalu kenapa ada pendapat yang tidak mendukung zakat profesi? Apa kira-kira yang membuat zakat profesi ini tidak didukung?
Jadi kira-kira yang benar bagaimana ini, mohon penjelasan yang rinci, ustadz.. Bagaimana kedudukan zakat profesi ini menurut para ulama baik di dalam ataupun di luar negeri.
Syukran dan terima kasih atas jawaban ustadz.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau yang dimaksud sebagai 'hasil ijtihad' itu bahwa zakat profesi tidak punya nash Quran dan Sunnah yang bersifat tegas (sharih) dan sistematis sebagai landasan masyru'iyah, maka jawabannya memang benar. Tidak ada satupun ayat atau hadits yang secara eksplisit memerintahkan zakat profesi.

Dan kalau yang dimaksud bahwa zakat profesi itu sekedar 'hasil ijtihad' dalam arti belum pernah ditetapkan sebelumnya oleh para ulama dan baru di abad sekarang ini saja muncul ide untuk memberlakkannya, maka jawabannya juga benar. Sepanjang 14 abad ini para ulama tidak pernah menuliskan zakat profesi dalam kitab-kitab fiqih mereka.

Bahkan tidak ada satu pun mazhab dari empat mazhab yang mendukungnya. Maka dalam kitab-kitab fiqih klasik hingga masuk abad 14 hijriyah, kita tidak akan menemukan ulama yang menulis secara khusus tentang zakat profesi ini.

Namun di masa sekarang ini, khususnya di abad 14hijriyah muncul berbagai usulan, tesis dan kajian kritis tentang perlunya diciptakan jenis zakat baru, yaitu zakat profesi. Dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah : zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ), atau zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas.

Titik Masalah
Sebenarnya yang jadi titik masalah dalam zakat profesi ini adalah dibuangnya syarat nishab dan haul. Sehingga begitu seseorang menerima gaji, upah, honor atau pemasukan finansial dalam bentuk apapun, diwajibkan untuk langsung membayar zakat. Dalam hal ini, kepemilikan atas harta itu tidak harus berjalan selama setahun (haul) dulu. Bahkan tidak harus melebihi nisab.

Padahal para ulama sepakat bahwa emas dan perak itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali setelah dimiliki selama setahun dan melebihi nisab di akhir tahun.

Sementara ulama pendukung zakat profesi maunya syarat haul dan nisab dihilangkan saja. Mereka kemudian mengqiyaskan dengan zakat hasil panen tanaman yang tidak harus menunggu haul.

Lalu Siapakah Yang Mencetuskan Zakat Profesi Ini
Umumnya para ulama di Mesir seperti Syeikh Abu Zahrah, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Muhammad Al-Ghazali dan muridnya, Dr. Yusuf Al-Qaradawi.

1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat hasil pekerjaan dan profesi). [1]

Sesungguhnya beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf. Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi.
Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.

Dan sebenarnya disitulah letak titik masalahnya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa diantara syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah haul.
Sementara Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.

2 dan 3. Dr. Abdul Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zarhah
Dalam kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.

Dalam kuliah yang mereka sampaikan tentang zakat, disebutkan bahwa mereka mewajibkan zakat profesi sebagai salah satu kewajiban. Namun mereka memberi syarat haul dan nishab, sebagaimana disebutkan dalam kutipan :
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja dan profesi diambil zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah mencapai nishab.

Kalau kita telaah fatwa mereka dengan cermat, sebenarnya yang mereka fatwakan bukan zakat profesi seperti yang umumnya kita kenal sekarang ini, yaitu zakat tanpa harus dimiliki setahun. Kedua ulama ini masih tetap mensyaratkan haul dan nishab. Kalau ada kedua syarat itu, setidaknya syarat haul, maka zakat itu lebih merupakan zakat atas harta yang ditabung atau disimpan dan bukan zakat profesi. Padahal inti dari zakat profesi itu tidak membutuhkan haul, sehingga begitu diterima, langsung terkena zakat.

Namun Dr. Yusuf Al-Qaradawi menggolongkan mereka sebagai pendukung zakat profesi, padahal yang dimaksud agak berbeda kriterianya.

4. Muhammad Al-Ghazali
Dalam fatwanya. Dr. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang penghasilannya di atas petani yang terkena kewajiban zakat, maka dia pun wajib berzakat. [2]
Maka dokter, pengacara, insinyur, produsen, pegawai dan sejenisnya diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka yang terhitung besar itu.

5. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. 

Pada Lampiran 2 Keputusan Munas Tarjih XXV Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga disebutkan bahwa :
a. Zakat Profesi hukumnya wajib.
b. Nisab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat 
c. Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 % 

B. Pendapat Para Ulama Yang Tidak Mendukung Zakat Profesi
Di dunia international, tidak sedikit ulama dan lembaga fatwa yang kurang sejalan dengan zakat profesi. Ketidak-setujuan mereka umumnya seputar dihilangkannya syarat masa kepemilikan setahun. Kalau seandainya gaji atau honor itu disimpan selama setahun dan melebihi nisah, rata-rata mereka sependapat mewajibkan zakat profesi.

Tetapi kalau tanpa syarat haul, rata-rata mereka menolak zakat profesi. Di antara mereka adalah :
1. Syeikh Bin Bazz
Beliau berkata: "Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati." [Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134.[3]

2. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia. [4]
“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.

Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” .

3. Hai'atu Kibaril Ulama
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya: [5]
"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut".

"Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun".

"Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."

4. Muktamar Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan: [6]
“Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya".

"Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab".

"Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun“.

5. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di asrama haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 25-28 Juli 2002 bertepatan dengan 14-17 Rabiul Akhir 1423 hijriyah telah menetapkan hukum-hukum terkait dengan zakat profesi. [7]

Berikut kutipannya :
”Intinya pada dasarnya semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar), baik dari hasil kerja profesional/non-profesional, atau pun hasil industri jasa dalam segala bentuknya, yang telah memenuhi persyaratan zakat, antara lain : mencapai satu jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah, dikenakan kewajiban zakat.”

Dari keputusan ini kita bisa menyimpulkan, apabila seseorang mendapat gaji atau honor, tidak langsung wajib berzakat, karena harus terpenuhi dua hal, yaitu nishab dan niat tijarah. Niat tijarah maksudnya adalah ketika seseorang bekerja, niatnya adalah berdagang atau berjual-beli. Dan ini sulit dilaksanakan, lantaran agak sulit mengubah akad bekerja demi mendapat upah dengan akad berjual beli. Oleh karena itu keputusan itu ada tambahannya :
”Akan tetapi realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut, lantaran tidak terdapat unsur tijarah (pertukaran harta terus menerus untuk memperoleh keuntungan.”
Sekilas kita akan sulit memastikan sikap dari musyarawah ini, apakah menerima zakat profesi atau tidak. Karena keputusan ini masih bersifat mendua, tergantung dari niatnya.

Akan tetapi tegas sekali bahwa kalau yang dimaksud dengan zakat profesi yang umumnya dikenal, yaitu langsung potong gaji tiap bulan, bahkan sebelum diterima oleh yang berhak, keputusan ini secara tegas menolak kebolehannya. Sebab dalam pandangan mereka, zakat itu harus berupa harta yang sudah dimiliki, dalam arti sudah berada di tangan pemiliknya.

6. Dewan Hisbah Persis
Persatuan Islam (PERSIS) yang diwakili oleh Dewan Hisbah telah berketetapan untuk menolak zakat profesi, dengan alasan karena zakat termasuk ibadah mahdhah. [8]
Barangkali maksudnya, kita tidak dibenarkan untuk menciptakan jenis zakat baru, bila tidak ada dalil yang tegas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan zakat profesi tidak punya landasan yang sifatnya tegas langsung dari keduanya.

Namun insitusi ini menerima adanya kewajiban infaq bagi harta yang tidak terkena zakat. Maka karena bukan termasuk zakat, gaji itu perlu diinfaqkan, tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut.
Maka tidak ada besarannya yang baku, dan dalam hal ini pimpinan jam’iyah dapat menetapkan besarnya infaq tersebut.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


[1] Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. 25, 2006), vol. 1, hlm. 488-519
[2] Majalah Jami’atu Al-Malik Suud, jilid 5 hal. 116
[3] Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134 
[4] Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178 
[5] Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360 
[6] Abhats wa A’mal Mu’tamar Zakat Awal hlm. 442-443, dari Abhats Fiqhiyyah fi Qodhoya Zakat al-Mua’shiroh 1/283-284. 
[7] Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamarat Nahdhatil Ulama, hal. 556-557 
[8] Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Akidah dan Ibadah, hal. 443 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru