Dalam penjelasan ustadz mengenai perbedaan
agama dalam perkawinan disebutkan sebagai berikut:
"Jumhur ulama memang menghalalkan
pernikahan beda agama, asalkan yang laki-laki muslim dan yang perempuan wanita
ahli kitab (baca: Nasrani atau Yahudi). Adapun bila yang laki-laki bukan muslim
dan yang wanita muslimah, hukumnya haram."
Yang menjadi pertanyaan adalah pengertian
ahli kitab, apakah sama dengan kaum Nasrani dan Yahudi, mengingat ahli kitab
yang dimaksudkan adalah ahli kitab atas kitab Taurat dan Injil yang masih asli
(seperti paman dari Khadijah waktu meyakini kenabian Nabi Muhammad bukan para
pendeta atau rahib) sedangkan kaum Nasrani dan Yahudi saat ini keaslian akan
Taurat dan Injilnya sudah diragukan keasliannya. Mohon penjelasan ustadz
mengenai pengertian saya ini. Atas penjelasan ustadz saya ucapkan terimakasih
dan sebelumnya mohon maaf apabila pengertian saya tersebut salah.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kehalalan laki-laki muslim menikahi wanita
ahli kitab itu bukan hal yang mengada-ada, melainkan kesimpulan hukum yang
dikemukakan oleh para ulama besar. Bahkan para pendiri mazhab yang empat itu
sepakat membenarkannya.
Salah besar bila dituduhkan bahwa kebolehan
itu dikatakan sebagai pemikiran keliru atau mengada-ada, justru kitab-kitab
fiqih yang muktamad dan menjadi rujukan para ulama memang menuliskannya dengan
tegas tentang kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Mereka
yang berpikiran seperti itu perlu lebih banyak lagi membaca dan mendalami ilmu
syariah, agar tidak dengan mudah menuduh dan terlanjur mencaci maki siapapun,
padahal dia sendiri tidak punya ilmunya.
Bahkan Al-Quran Al-Kariem pun secara tegas
membolehkannya.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi.(QS. Al-Maidah:
5)
Lagi pula bila disebutkan hukumnya halal,
tidak berarti kita harus melakukannya. Yang namanya halal itu hanya sekedar
boleh dan bukan sebuah keharusan. Dan di balik kehalalan hukumnya, tetap saja
ada pertimbangan-pertimbangan taktis dan strategis yang juga perlu
diperhitungkan. Di situ para ulama dan pemimpin Islam punya hak untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang populis dan produktif.
Maka kita pun mendukung fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang cenderung melarangnya. Mengingat kondisi kita di
Indonesia, pernikahan campur memang sudah sangat merugikan umat Islam. Sebab
proses pemurtadan yang selama ini berlangsung memang di antaranya melalui nikah
beda agama.
Sebuah fenomena yang berbebeda dengan
keadaan umat Islam di Barat. Pernikahan campur di sana ternyata malah bernilai
positif, karena dengan menikahnya laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab,
terjadilah proses Islamisasi yang dahsyat.
Yang kedua adalah berkaitan dengan
pendidikan anak. Sebagaimana kita tahu orang yang paling berpengaruh dalam
pendidikan anak adalah ibu, karena umumnya ibu lebih dekat dengan mereka. Kalau
ibu mereka bukan muslimah, pendidikan Islam seperti apa yang akan mereka
terima. Belum lagi kalau anak-anak itu belajar aqidah yang intinya akan
menyimpulkan bahwa orang yang bukan muslim akan masuk neraka. Bagaimana
perasaan mereka bila tahu bahwa ibu mereka pasti masuk neraka karena bukan
muslimah? Apalagi ada resiko anak-anak akan diperkenalkan dengan budaya
Nasrani, seperti ke gereja, natalan dan menyembah nabi Isa as. Maka akan
semakin parah kondisi anak-anak anda nantinya.
Siapakah Ahli Kitab?
Masalahnya kini tinggal kita perlu menjawab
pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan ahli kitab? Benarkah ahli kitab itu
hanya terbatas pada mereka yang beriman kepada Taurat dan Injil yang asli saja?
Tentu saja para ulama berbeda pendapat dalam
diskusi yang cukup panjang dan melelahkan. Bahkan sebagian lainnya mengatakan
bahwa yang dimaksud ahli kitab hanyalah mereka yang punya darah asli dari
keturunan yahudi dan nasrani saja. Maksudnya dari keturunan Bani Israil saja.
Sedangkan ras manusia di luar keturunan Bani Israil, tidak termasuk ahli kitab.
Tentu saja kita perlu menghargai berbagai
pendapat dan hujjah yang dikemukakan banyak pihak. Meski pun perlu juga kita
cermati dengan jujur bahwa masing-masing pendapat itu sulit untuk terlepas dari
celah kelemahan.
Tidak Sucinya Kitab Mereka Sekarang Ini
Sebagian pendapat mengatakan bahwa ahli
kitab di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi, seiring dengan sudah tidak
murninya kitab suci umat kristiani. Pendapat ini benar dan banyak juga yang
mendukungnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa perbuatan
memalsu isi kitab suci, memutar-balik ayat dan bahkan menyelewengkannya sudah
terjadi sejak sebelum nabi Muhammad dilahirkan. Bahkan salah satu hikmah
diutusnya Nabi Muhammad SAW justru karena sudah dipalsukannya kitab-kitab suci
yang turun sebelumnya.
Ketika Al-Quran mengatakan bahwa yahudi dan
nasrani sesat, memang karena di zaman itu sudah sesat sebelumnya. Al-Quran
tidak berbicara tentang kesesatan mereka untuk masa sekarang ini saja. Ketika
Al-Quran mengancam mereka karena merusak keaslian kitab suci, juga bukan yang
terjadi di masa kita sekarang ini, melainkan karena hal itu sudah terjadidi
masa nabi Muhammad SAW dan bahkan sebelum lahirnya beliau.
Artinya, tidak tepat kalau kita menyimpulkan
bahwa Yahudi dan Nasrani di masa nabi tidak memalsukan kitab suci, sehingga
wanita mereka halal dinikahi. Dan juga tidak tepat bila dikatakan bahwa wanita
Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang ini haram dinikahi karena baru sekarang
ini mereka memalsu kitab suci.
Yang benar adalah Yahudi dan Nasrani sudah
memalsu kitab suci, merusak isinya, menodainya, bahkan menjualnya dengan harga
yang sedikit sejak sebelum Al-Quran diturunkan, namun bersama dengan itu
Al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita mereka.
Adapun Paman Khadijah yang disebut-sebut
masih menggunakan Injil yang asli, tentu tidak mencerminkan bahwa semua pemeluk
Nasrani di masa itu masih memegang injil asli. Sebab di masa sekarang ini pun
masih ada kelompok Nasrani tertentu yang disebut-sebut masih menggunakan injil
yang 'asli'. Sebutlah misalnya Injil Barnabas sebagai contoh. Keberadaan
pemeluk kristen di zaman sekarang yang berinjilbarnabas itu tidak bisa
dijadikan kesimpulan bahwa sekarang ini semua orang Kristen masih menggunakan
Injil asli.
Sementara Al-Quran dengan tegas mengkafirkan
pemeluk agama Nasrani, lepas dari urusan keaslian Injil mereka, yaitu karena
mereka telah menuhankan nabi Isa as atau telah mengatakan bahwa tuhan itu tiga.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam". (QS. Al-Maidah: 17)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan, "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (QS. Al-Maidah: 73)
Sejak masa Nabi SAW masih hidup, orang-orang
kristen di masa itu sudah mengubah injil, menyembah nabi Isa dan menganut
tirinitas. Dan bersama dengan itu, Al-Quran membolehkan laki-laki muslim
menikahi wanita kristen. Jadi nyaris tidak ada bedanya antara kerusakan kristen
di masa Nabi SAW dengan sekarang. Yang sekarang pun mengubah injil, menyembah
nabi Isa dan menganut tirinitas. Lalu mengapa hukumnya harus dibedakan?
Yahudi dan Nasrani Musyrik?
Sebagian orang berpendapat bahwa laki-laki
muslim diharamkan menikahi wanita yahudi dan nasrani, karena mereka justru
melakukan kemusyrikan. Sedangkan Al-Quran mengharamkan laki-laki muslim
menikahi wanita musyrik.
Pendapat ini juga benar dan banyak didukung
oleh umat Islam. BahkanIbnu Umar mengatakan bahwa pemeluk agama ahli kitab itu
pada dasarnya musyrik dan haram dinikahi. Sebab tidak ada kemusyrikan yang
melebihi perbuatan seorang menyembah nabi Isa. Selain itu ada Ibnu Hazm yang
mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa.
Kita pun perlu menghargai pendapat ini dan
memang dalam banyak hal, tetap ada nilai-nilai kebenarannya.
Namun perlu juga dicermati bahwa penggunaan
istilah orang musyrik itu tidak selalu identik dengan orang yang melakukan praktek
syirik. Kalau kita lihat pengistilahan Al-Quran, ternyata istilah orang musyrik
itu memang dibedakan dengan ahli kitab. Meski dua-duanya sama-sama kafir dan
pasti masuk neraka.
Tetapi orang yang mengerjakan perbuatan
syirik tidak otomatis menjadi orang musyrik. Sebab ketika Al-Quran menyebut
istilah 'orang musyrik', yang dimaksudadalah orang kafir, bukan sekedar orang
yangmelakukan perbuatan syirik.Apakah kalau ada seorang muslim datang ke
kuburan karena dia kurang ilmunya, lalu meminta kepada kuburan, lantas dia
langsung jadi kafir? Apakah seorang yang percaya dengan ramalan bintang
(zodiak) itu juga bukan muslim? Bukankah ketika seorang bersikap riya juga
merupakan bagian dari syirik juga?
Tentu tidak, orang yang terlanjur berlaku
riya tentu tidak bisa disamakan dengan orang musyrik penyembah berhala yang
pasti masuk neraka.
Bukankah bila seorang datang kepada dukun,
percaya pada ramalan bintang, percaya kepada burung yang terbang melintas, percaya
bahwa ruh dalam kubur bisa mendatangkan bahaya dan sejenisnya juga merupakan
perbuatan syirik? Dan berapa banyak umat Islam yang hingga hari ini masih saja
berkutat dengan hal itu?
Tentu saja mereka tidak bisa dikatakan
kafir, non muslim atau pun dikatergorikan sebagai pemeluk agama paganis dan
penyembah berhala.
Sebab ayat yang mengharamkan muslim menikahi
wanita musyrik itu maksudnya adalah wanita yang belum masuk Islam. Bukan orang
yang pernah melakukan perbuatan yang termasuk kategori syirik. Dan perbuatan
syirik yang mereka lakukan itu tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.
Bukan Ahli Kitab: Yahudi atau Nasrani
Yang dimaksud dengan orang musyrik yang
tidak boleh dinikahi juga bukan non muslim ahli kitab (nasrani atau yahudi).
Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang beragama majusi yang menyembah api,
atau agama para penyembah berhala seperti kafir Quraisy di masa lalu. Dan bisa
juga agama para penyembah matahari seperti agamanya orang jepang dan lainnya.
Musyrikin itu dalam hukum Islam dibedakan
dengan ahli kitab, meski sama-sama kafirnya. Pemeluk agama ahli kitab itu
secara hukum masih mendapatkan perlakuan yang khusus ketimbang pemeluk agama
berhala lainnya. Misalnya tentang kebolehan bagi laki-laki muslim untuk
menikahi wanita ahli kitab. Juga tentang kebolehan umat Islam memakan daging
sembelihan mereka. Sesuatu yang secara mutlak diharamkan bila terhadap kafir
selain ahli kitab.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/