Assalamu'alaikum
ustadz
Pada
pergantian tahun masehi kemarin banyak acara dengan format pengajian, tabligh
akbar dan dzikir akbar. Yang saya tahu perayaan tahun baru masehi itu berasal
dari orang -orang kristen, lalu bila kita ikut merayakannya bukankah kita
termasuk menyerupai suatu kaum.
Nah, tapi
sekarang orang Islam banyak yamg merayakan tahun baru dengan mengadakan amalan
Islami, apakah itu masih termasuk menyerupai suatu kaum, dan bagaimana
hukumnya?
Wassalam
Jawaban :
Assalamu
'aaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan Anda ini memang seringkali menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri. Pasalnya bersumber dari kata 'perayaan' itu sendiri. Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan 'merayakan hari besar'? Apa batasannya dan apa kriterianya?
Pertanyaan Anda ini memang seringkali menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri. Pasalnya bersumber dari kata 'perayaan' itu sendiri. Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan 'merayakan hari besar'? Apa batasannya dan apa kriterianya?
Para
ulama dengan berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu
sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, agar umat tidak
terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah
satu bentuk polemik tentang masalah perayaan itu adalah ditetapkannya hari
libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama lain. Yang jadi perdebatan,
apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25
Desember itu, kita sudah dianggap ikut merayakannya?
Sebagian
berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut
merayakan, lha wong pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut
libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun
yang lain menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam pakai acara
ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka termasuk ikut merayakan
hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren memutuskan bahwa
pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang
begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai
hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut
libur di tahun baru? Apakah kalau ikut libur berarti termasuk ikut merayakan
hari besar agama lain?
Lalu
muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan acarahura-hura, mengapa
tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang bermanfaat, seperti melakukan
pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan.
Dan hasilnya
sudah bisa diduga dengan pasti, yaitu akan ada kalangan yang menolak
mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa pengajian, dzikir atau
qiyamullail di malam tahun baru adalah bid'ah yang diada-adakan, tidak ada
contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Bahkan
ada yang lebih ektrem sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan
pengajian, dzikir, atau qiyamullail, bukan sekedar bid'ah tetapi sudah sesat
dan masuk neraka. Wah...
Jadi
semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita
akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan
terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi', longgar
dan tidak terlalu meributkan?
Kedua
aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat
kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid diwakili
oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dan beberapa shahabat lain,
sedang yang muwassa' diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhu dan lainnya.
Adakah
Jalan Tengah?
Insya
Allah ada jalan tengah yang sekiranya bisa kita pertimbangkan. Misalnya, kalau
dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk bertahun baru dengan
kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya, sebaiknya memang tidak usah digagas
sejak dari semula. Biar tidak menjadi bid'ah baru.
Akan
tetapi kalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati untuk merayakan
tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan, mungkin akan lain lagi
ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin boleh saja sedikit berdiplomasi.
Misalnya, tidak ada salahnya kalau kita mengusulkan agar acaranya dibuat yang
positif seperti pengajian atau apapun yang bernilai positif, bukan sekedar
pesta atau hura-hura.
Dari pada
kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser musik, kan lebih
baik kalau digelar saja dalam bentuk pengajian. Anggaplah sebagai proses menuju
kepada pemahaman Islam yang lebih baik nantinya, tetapi dengan cara
perlahan-lahan.
Kalau
kita tidak bisa menghilangkan budaya yang sudah terlanjur mengakar dengan
sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan secara perlahan-lahan.
Kira-kira ide dasarnya demikian.
Tetapi
yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga mati. Ini cuma
sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga tidak. Namanya saja
sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat. Dan
mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'aaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/