Assalamu 'alaikum
ustadz yang dirahmati
Allah.
Saya mau bertanya tentang hukum meninggalkan imam dalam shalat berjamaah. Saya shalat Maghrib di masjid dekat rumah. Namun imam membaca ayat yang menurut saya terlalu panjang. Bolehkah saya mufaraqah atau meninggalkan imam? Apakah saya berdosa?
Demikian pertanyaan saya, semoga ustadz berkenan menjawabnya.
Wassalam
Saya mau bertanya tentang hukum meninggalkan imam dalam shalat berjamaah. Saya shalat Maghrib di masjid dekat rumah. Namun imam membaca ayat yang menurut saya terlalu panjang. Bolehkah saya mufaraqah atau meninggalkan imam? Apakah saya berdosa?
Demikian pertanyaan saya, semoga ustadz berkenan menjawabnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh, Mufaraqah
adalah kehendak makmum untuk melepaskan diri dari imam dalam shalat jamaah di
tengah-tengah shalat yang sedang berlangsung.
Dari segi hukum, mufaqarah
punya tiga hukum, yaitu haram, boleh dan wajib. Semua tergantung penyebabnya.
Bisa saja haram hukumnya, namun ada juga yang diperbolehkan, bahkan ada juga
yang justru wajib hukumnya.
1. Mufaqarah Yang Haram :
Tanpa Udzur
Seluruh ulama sepakat
mengatakan bahwa termasuk di antara mufaraqah yang diharamkan adalah mufaraqah
yang dilakukan oleh seorang makmum tanpa udzur yang syar'i. Artinya, bila
mufaraqah dilakukan seenaknya, tanpa ada alasan atau udzur yang syar'i, maka
hukumnya haram.
Namun para ulama berbeda
pendapat tentang manakala mufaraqah tanpa udzur syar'i itu tetap dilakukan,
apakah shalatnya menjadi batal atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa
shalatnya batal, sedangkan sebagian lagi mengatakan tidak.
a. Shalatnya Batal
Menurut pendapat mazhab
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, selain hukumnya haram, mufaraqah seperti ini
juga membatalkan shalat bagi makmum. Sehingga makmum yang melakukan mufaraqah
tanpa alasan yang syar'i sama saja dengan membatalkan shalatnya.
Pendapat ini juga merupakan
pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah dalam versi qaul qadim, serta pendapat sebagian
dari ulama mazhab Al-Hanabilah.
Dasarnya terikatnya makmum
pada perilaku imam merupakan bagian dari shalat. Maka bila dia membatalkan diri
dari mengikuti imam, ikut batal pula shalatnya.
Selain itu juga ada ayat
yang melarang seseorang membatalkan amalnya:
وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Dan janganlah kamu
membatalkan amal-amalmu (QS. Muhammad : 33)
b. Shalatnya Tidak Batal
Namun mazhab Asy-Syafi'iyah
versi qaul jadid menyebutkan bahwa sikap seorang makmum yang membatalkan diri
dari jamaah shalat tidak membatalkan shalat itu sendiri, walaupun hal itu
dilakukan bukan karena adanya udzur yang syar'i. Hal itu juga menjadi pendapat
sebagian mazhab Al-Hanabilah.
Namun meski tindakan
melepaskan diri dari jamaah shalat tidak membatalkan shalat, tetap saja
hukumnya makruh (karihah), yaitu tidak disukai.
Dalil yang mereka gunakan
-khususnya dalam mazhab Asy-Syafi'iyah- dalam hal ini adalah bahwa hukum shalat
berjamaah itu sendiri hanya sekedar sunnah dan bukan kewajiban. Maka seseorang
boleh saja meninggalkan perkara sunnah dari shalat tanpa harus kehilangan
sahnya shalat.
Dan sebagian ulama
syafi'iyah mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah, sehingga
tidak mengapa seseorang meninggalkan shalat berjamaah, manakala sudah ada yang
melakukannya.
2. Mufaqarah Yang Boleh
Jumhur ulama dari mazhab
Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa mufaraqah yang
dibolehkan adalah mufaqarah yang punya landasan udzur yang syar'i.
Sedangkan mazhab
Al-Hanafiyah tidak memberikan ruang bagi mufaraqah yang boleh. Artinya, dalam
pandangan mazhab ini, tidak ada mufaraqah yang dibolehkan, meski pun ada udzhur
syar'inya.
Dalam pandangan jumhur ulama,
diantara contoh udzur syar'i yang membolehkan mufaraqah antara lain bila bacaan
imam terlalu lama. Dan mazhab Asy-Syafi'iyah menambahkan satu lagi, yaitu bila
imam meninggalkan sunnah maqshudah.
a. Bacaan Imam Terlalu Lama
Jumhur ulama sepakat bahwa
di antara udzur syar'i yang membolehkan seorang makmum bermufaraqah adalah bila
imam dalam shalat wajib membaca ayat yang terlalu panjang.
Kasus seperti ini dahulu
pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, dimana Muadz bin Jabal mengimami shalat
Isya' buat kaumnya dengan membaca surat Al-Baqarah. Saat itu Rasulullah SAW pun
menegur Muadz.
كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ بَنِي سَلَمَةَ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ وَأَنَّ رَسُول اللَّهِ أَخَّرَ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلاَّهَا مُعَاذٌ مَعَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّ قَوْمَهُ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّى رَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ فَصَلَّى وَحْدَهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالُوا : نَافَقْتَ يَا فُلاَنُ . فَقَال : مَا نَافَقْتُ وَلَكِنِّي آتِي رَسُول اللَّهِ فَأُخْبِرُهُ . فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَال : يَا رَسُول اللَّهِ ، إِنَّكَ أَخَّرْتَ الْعِشَاءَ الْبَارِحَةَ ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلاَّهَا مَعَكَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّنَا فَافْتَتَحَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّيْتُ فَصَلَّيْتُ وَحْدِي وَإِنَّمَا نَحْنُ أَهْل نَوَاضِحَ نَعْمَل بِأَيْدِينَا .فَالْتَفَتَ رَسُول اللَّهِ إِلَى مُعَاذٍ فَقَال : أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ اقْرَأْ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّك الأْعْلَى وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْل إِذَا يَغْشَى وَنَحْوِهَا
Muadz bin Jabal shalat
Isya' biasa shalat bersama Rasulullah SAW kemudian pulang ke kaumnya, Bani
Salamah, dan shalat (lagi) mengimami mereka. Suatu ketika Rasulullah SAW
mengakhirkan shalat Isya' dan Muadz ikut shalat berjamaah, kemudian dia pulang
untuk mengimami kaumnya.
Muaz mulai membaca surat
Al-Baqarah, sehingga seseorang yang berada di belakang mengundurkan diri lalu
shalat sendirian. Usai shalat, orang-orang menuduhnya,"Kamu telah berbuat
nifak". Orang itu menjawab,"Saya bukan munafik, tetapi saya
mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan kepada beliau".
Orang itu mendatangi
Rasulullah SAW untuk mengadu,"Ya Rasulallah, Anda telah mengakhirkan
shalat Isya' tadi malam. Dan Muadz ikut shalat bersama Anda. Kemudian dia
kembali dan mengimami kami. Tetapi dia membaca surat Al-Baqarah, sehingga Aku
mengundurkan diri dan shalat sendirian. Hal itu karena kami kaum pekerja yang
menggunakan kedua tangan kami.
Maka Rasulullah SAW pun
menoleh kepada Muadz sambil bertanya,"Apakah kamu bikin fitnah wahai
Muadz? Apakah kamu bikin fitnah? Cukup baca sabbihisma rabbikal a'la, wassama'i
wath-thariq, wassama'i dzatil buruj, wasy-syamsi wadhuhaha, wallaili idza
yaghsya dan sepadannya. (HR
Bukhari dan Muslim)
b. Mazhab Asy-Syafi'iyah :
Imam Meninggalkan Sunnah Maqshudah
Selain alasan di atas,
mazhab Asy-Syafi'iyah menambahkan alasan lain yang bisa juga dijadikan landasan
untuk mufaraqah dengan imam, yaitu manakala imam meninggalkan sunnah maqshudah.
Contohnya ketika imam meninggalkan
tasyahhud awal dan qunut pada shalat shubuh, maka saat itu makmum boleh
bermufaraqah dari imamnya.
Al-Imam An-Nawawi di dalam
kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan :
وَأَلْحَقُوا بِهِ مَا إذَا تَرَكَ الإِمَامُ سُنَّةً مَقْصُودَةً كَالتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ وَالْقُنُوتِ
Mereka menambahkan, yaitu
apabila imam meninggalkan sunnah maqshudah, seperti tasyahhud awal dan qunut.
c. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah di dalam kitab
Al-Mughni menyebutkan tambahan udzur yang membolehkan seorang makmum melakukan
mufaraqah dari imamnya :
وَالأَعْذَارُ الَّتِي يَخْرُجُ لأَجْلِهَا مِثْلُ الْمَشَقَّةِ بِتَطْوِيلِ الإِمَامِ أَوْ الْمَرَضِ أَوْ خَشْيَةِ غَلَبَةِ النُّعَاسِ أَوْ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلاتَهُ أَوْ خَوْفِ فَوَاتِ مَالٍ أَوْ تَلَفِهِ أَوْ فَوْتِ رُفْقَتِهِ أَوْ مَنْ يَخْرُجُ مِنْ الصَّفِّ لا يَجِدُ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ
Di antara udzur-udzur yang
membolehkan seperti masyaqqah karena imamnya terlalu lama, sakit, takut
dikalahkan oleh rasa mengantuk sangat parah, atau sesuatu yang merusak shalatnya,
atau takut hilangnya harta, atau keluar dari shaf sehingga berdiri sendirian di
barisan paling belakang tanpa ada yang menemani.
3. Mufaqarah Yang Wajib
Jumhur ulama sepakat
apabila imam batal dari shalatnya, maka mufaraqah itu hukumnya menjadi wajib
bagi makmum.
a. Batalnya Imam dalam
Shalatnya
Dengan batalnya imam, maka
otomatis shalat jamaah pun menjadi rusak. Maka pada saat itu para makmum
diwajibkan untuk membatalkan niat mereka dari menjadi makmum dan melepaskan
diri dari imam.
Adapun hal-hal apa saja
yang dapat membatalkan shalat, di antaranya adalah :
- Kehilangan Salah Satu Dari Syarat
Sah Shalat
- Meninggalkan Salah Satu Rukun
Shalat
- Berbicara di Luar Shalat
- Bergerak di Luar Gerakan Shalat
- Makan dan Minum
- Mendahului Imam dalam Shalat
Jama'ah
- Terdapatnya Air bagi Yang Tayammum
b. Bergesernya Imam dari
Kiblat
Bergesernya imam dari arah
kiblat termasuk membatalkan shalat, oleh karena itu bila makmum mengetahui hal
itu, dia wajib berpisah dari imamnya.
Contoh nyata dari kasus ini
misalnya sebelum shalat, imam dan makmum sepakat dalam ijtihad bahwa arah
kiblat ke satu titik tertentu. Lalu di tengah shalat, tiba-tiba imam mengubah
ijtihadnya dan berbelok menghadap ke arah lain, sementara makmumnya tetap
dengan ijtihad yang sebelumnya.
Maka dalam kasus ini,
makmum wajib mengundurkan diri dari jamaah shalat itu, karena dalam
pandangannya, imam telah batal shalatnya.
Di dalam Mughni Al-Muhtaj
menyebutkan :
لَوْ اجْتَهَدَ اثْنَانِ فِي الْقِبْلَةِ وَاتَّفَقَ اجْتِهَادُهُمَا وَصَلَّى أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ فَتَغَيَّرَ اجْتِهَادُ أَحَدِهِمَا لَزِمَهُ الانْحِرَافُ إلَى الْجِهَةِ الثَّانِيَةِ وَيَنْوِي الْمَأْمُومُ الْمُفَارَقَةَ وَإِنْ اخْتَلَفَا تَيَامُنًا وَتَيَاسُرًا , وَالتَّغَيُّرُ الْمَذْكُورُ عُذْرٌ فِي مُفَارَقَةِ الْمَأْمُومِ .
Seandainya ada dua orang
berijtihad dalam menentukan arah kiblat dan sepakat dengan hasilnya, dan mereka
shalat dimana salah satunya menjadi imam, lalu salah satunya mengubah
ijtihadnya, maka wajiblah dia berpindah arah sesuai ijtihadnya. Maka mammumnya
berniat untuk mufaraqah meskipun keduanya berbeda arah ke kanan dan ke kiri.
Dan perubahan ijtihad arah kiblat ini termasuk udzur dalam mufaraqah makmum.
Demikian pula bila yang
berubah ijtihad justru si makmum, sementara imam tidak berubah ijtihadnya. Maka
kalau mau pindah kiblat, makmum harus memutuskan diri dari imamnya terlebih
dahulu, kemudian shalat sendirian menghadap kiblat yang diyakininya.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/