Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Saya sudah baca jawaban ustadz terkait metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal sebelumnya. Sekarang yang jadi pertanyaan saya adalah apa yang dipakai oleh bangsa Indonesia, khususnya Kementerian Agama RI. Apakah memanggunakan rukyat atau hisab?
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya sudah baca jawaban ustadz terkait metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal sebelumnya. Sekarang yang jadi pertanyaan saya adalah apa yang dipakai oleh bangsa Indonesia, khususnya Kementerian Agama RI. Apakah memanggunakan rukyat atau hisab?
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau kita teliti,
perbedaan penetapan awal bulan qamariyah di Indonesia memang tidak pernah sepi.
Di masa penjajahan dahulu, fenomena ini sempat tertangkap oleh Dr. Snouck
Hurgonje. Dia mengatakan bahwa tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap
tahun timbul perbedaan penetapan awal tahun, lebaran dan penetapan Idul Adha.
Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampong - kampung berdekatan.
Pernyataan Snouck
Hourgronje tersebut tidaklah berlebihan, karena memang banyak sekali aliran
pemikiran yang berkaitan dengan penetapan tersebut.
Secara keseluruhan aliran
pemikiran yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Qamariyah terbagi menjadi
dua besar. Pertama, kelompok yang berbasis pada ru’yatul hilal. Kedua, kelompok
yang berbasis pada hisab.
Namun jangan dikira
pembagiannya sesederhana itu. Ternyata di dalam masing-masing kelompok, masih
ada pecahan-pecahan lagi, yang membuat -meski mereka sama-sama menggunakan
metode ru’yat-, hasilnya bisa saja sangat berbeda.
Demikian juga dengan sesama
penganut madzhab hisab, meski sama-sama memakai hisab, hasilnya sangat boleh
jadi berbeda. Semua itu lantaran di dalam satu kelompok itu ternyata masih ada
pecahan-pecahan lagi.
Kalau kita perhatikan,
meski sama-sama berbasis kepada ru’yatul hilal, namun pada kenyataannya bisa
saja pendapat yang keluar dari satu kelompok itu berbeda-beda. Ternyata di
dalamnya ada berbagai aliran lagi, seperti ru’yat dalam satu negara, atau
ru’yat international, dan bahkan ada ru’yat Mekkah.
Aliran ini juga sering
disebut dengan rukyah fi wilayatil hukmi. Prinsip aliran ini
berpegang pada hasil rukyat (melihat bulan tanggal satu) pada setiap tanggal
29. Jika berhasil melihat hilal, hari esoknya sudah masuk tanggal baru. Namun,
jika tidak berhasil melihat hilal, bulan harus disempurnakan 30 hari (diistikmalkan)
dan hanya berlaku dalam satu wilayah hukum negara.
Sedangkan negara lain yang
berbeda pemerintahan, tidak harus terikat dengan hasil ru’yah nasional ini.
Sebagai contoh, bila ada seorang muslim mengaku telah melihat hilal Ramadhan,
posisinya ada di Gorontalo Sulawesi, maka kalau kesaksiannya diterima oleh negara,
semua rakyat dalam satu negara itu terkena kewajiban untuk ikut hasil ru’yah
tersebut, meski ada rakyat yang tinggal ribuan kilometer dari Gorontalo,
misalnya dia berada di pulau Sabang paling Barat Indonesia.
Sebaliknya, meski ada orang
yang tinggal lebih dekat dengan Gorontalo, katakanlah umat Islam yang berada di
Mindanau, Philipina Selatan, mereka tidak terikat dengan hasil ru’yat tersebut.
Alasannya, karena keduanya berada di dua negara yang berbeda.
Di Indonesia, aliran ini
yang dipegang Nahdlatul Ulama (NU) selama ini.
Aliran ini bisa juga
disebut dengan aliran ru'yah dauliyah atau alamiyah (internasional).
Aliran ini berprinsip,
bahwa negeri Islam di dunia ini pada hakikatnya adalah satu negara saja. Maka
wilayah manapun dari negeri Islam, jika ada penduduknya yang menyatakan melihat
hilal, maka hal itu berlaku untuk seluruh dunia tanpa memperhitungkan jarak
geografis.
Kira-kira ilustrasinya
adalah bila hilal nampak di pegunungan Afghanistan, maka umat Islam yang ada di
Spanyol, Siberia atau di Indonesia, wajib ikut hasil ru’yah itu.
Di antara yang beraliran
macam ini selama ini di Indonesia salah satunya adalah kelompok Hizbut Tahrir
(HTI).
Prinsip aliran ini mirip
dengan aliran yang di atas, yaitu dunia Islam seluruhnya adalah satu kesatuan
yang tidak bisa dipisah-pisah berdasarkan pemerintahan kecil-kecil. Semua harus
berada di dalam satu wilayah waktu.
Namun ada sedikit
perbedaan, yaitu harus selalu mengacu dan mengikuti waktu puasa dan lebaran
dari kota Mekkah Al-Mukarramah. Mereka berprinsip kapan pun pemerintah kota
Mekkah Al-Mukarramah menetapkan jadwal puasa, lebaran dan Idul Adha, maka
seluruh umat Islam sedunia harus mengikutinya.
Di Indonesia, aliran ini
seringkali digunakan oleh -salah satunya- Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),
meski mereka tidak mengakui secara resmi. Ketika sebagian umat Islam bingung,
mau ikut jadwal puasa yang mana, seringkali yang kita dengar jawabannya adalah
mengikuti jadwal yang ada di Mekkah Al-Mukarramah.
Yang menarik justru
pemerintah Saudi Arabia dan para ulamanya tidak pernah mengharuskan
negara-negara Islam untuk mengikuti jadwal puasa dan lebaran mereka.
Misalnya arahan dan
petunjuk dari mantan Mufti Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Bazrahimahullah, beliau berkata
tentang masalah ini :
“Setiap muslim hendaknya
bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing."
Dan sebenarnya pendapat ini
cerminan dari pengaruh madzhab Al-Hanabilah, dimana Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berfatwa bahwa seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah
(mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Persis sebagaimana kelompok
ru’yah, kelompok pro hisab ini ternyata juga punya banyak cabang di dalamnya.
Dimana cara dan metode menghitung yang masing-masing cabang gunakan sangat
berbeda. Dan hasilnya pun bisa dipastikan 100% berbeda.
Misalnya antara sesama
penganut hisab, ada kelompok wujudul hilal, ada juga
kelompok imkanur-ru’yah, dan lain-lainnya.
a. Hisab Wujudul Hilal
Aliran ini berprinsip jika
menurut perhitungan (hisab), hilal dinyatakan sudah di atas ufuk, hari esoknya
dapat ditetapkan sebagai tanggal baru, artinya sudah berganti menjadi bulan
berikutnya.
Dan semua itu bisa langsung
diputuskan sejak awal atau sejak jauh-jauh hari, bahkan jadwal Ramadhan untuk
dua atau tiga abad mendatang sekalipun, sudah bisa dihitung sejak sekarang,
tanpa harus menunggu hasil melihat hilal pada tanggal 29.
Prinsip seperti ini di
Indonesia banyak digunakan oleh berbagai ormas, salah satunya dipakai oleh
Perserikatan Muhammadiyah.
Intinya, kalau menurut
perhitungan hilal sudah ada, meski sangat kecil, masih di bawah satu derajat,
sudah bisa dianggap berganti bulan.
Aliran ini meski
menggunakan hisab, namun mereka tidak serta merta memastikan pergantian bulan.
Mereka masih mempertimbangkan satu faktor, yaitu apakah mungkin hilal itu bisa
dilihat dengan mata telanjang?
Dalam prinsip mereka,
meskipun menurut perhitungan matematis, hilal seharusnya sudah ada, tetapi
kalau posisinya sangat rendah, masih di bawah satu atau dua derajat, mata
telanjang tidak akan mungkin bisa melihatnya. Bahkan alat-alat semacam teropong
sekali pun akan kesulitan menemukan hilal.
Inilah aliran yang dipegang
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini boleh disebut sebagai madzhab
Kementerian Agama RI, yaitu dengan standar imkanurrukyah 2
derajat dari ufuk.
Artinya, bila menurut
hisab, hilal masih di bawah dari 2 derajat, maka tidak mungkin bisa dilihat
(diru'yah). Sehingga pada saat itu, ru'yah tidak dipakai, meski ada orang yang
melaporkan bahwa dirinya melihat hilal. Semua laporan akan ditolak bila menurut
hisab, hilal masih di bawah 2 derajat.
Selain Kementerian Agama
RI, masih ada banyak lagi yang menggunakan standar imkanurru’yah ini, namun
dengan standar yang berbeda-beda, seperti tiga derajat, empat derajat, lima
derajat dan seterusnya.
Sudah bisa dipastikan,
karena standarisasi imkanurru’yah masing-masing berbeda, maka
hasilnya pun selalu akan berbeda, meski sama-sama menggunakan metode hisab.
Aliran hisab Jawa Asepon
yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang diperbaharui dengan ketentuan
Tahun Alif jatuh pada Selasa Pon. Aliran ini dianut oleh Keraton Yogyakarta.
Aliran hisab Jawa Aboge
yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang lama dengan ketentuan Tahun Alif
jatuh pada Rabu Wage. Aliran ini yang dianut oleh mayoritas pemeluk Islam
Kejawen seperti di Dusun Golak Ambarawa Kabupaten Semarang.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/