Assalamualaikum wr wb
Ustadz yang dirahmati Allah.
Beberapa waktu yang lalu saya tertimpa sakit yang membuat saya agak kesulitan untuk mengerjakan shalat lima waktu. Lalu ada seorang teman mengatakan bahwa kalau kita sedang sakit, katanya shalatnya boleh dijamak saja.
Sebenarnya saya agak ragu-ragu dengan informasi teman saya itu, tetapi berhubung kondisi saya saat itu memang agak parah, sulit sekali untuk bisa mengerjakan shalat, maka akhirnya saya menerima saja penjelasannya.
Jadi pada saat datang waktu untuk shalat Maghrib, saya tidak mengerjakannya, tetapi saya niat nanti akan saya jamak dengan shalat Isya'.
Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, apakah benar bahwa shalat itu boleh dijamak oleh sebab sakit, sebagaimana yang saya alami.
Jazaakumullah khairan katsira. Terima kasih sebelumnya atas jawaban dari ustadz.
Wassalamualaikum
Ustadz yang dirahmati Allah.
Beberapa waktu yang lalu saya tertimpa sakit yang membuat saya agak kesulitan untuk mengerjakan shalat lima waktu. Lalu ada seorang teman mengatakan bahwa kalau kita sedang sakit, katanya shalatnya boleh dijamak saja.
Sebenarnya saya agak ragu-ragu dengan informasi teman saya itu, tetapi berhubung kondisi saya saat itu memang agak parah, sulit sekali untuk bisa mengerjakan shalat, maka akhirnya saya menerima saja penjelasannya.
Jadi pada saat datang waktu untuk shalat Maghrib, saya tidak mengerjakannya, tetapi saya niat nanti akan saya jamak dengan shalat Isya'.
Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, apakah benar bahwa shalat itu boleh dijamak oleh sebab sakit, sebagaimana yang saya alami.
Jazaakumullah khairan katsira. Terima kasih sebelumnya atas jawaban dari ustadz.
Wassalamualaikum
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh, Meskipun ada sebagian ulama yang menjadikan sakit sebagai salah satu penyebab
dibolehkannya kita menjama' shalat, namun sebagian ulam lain ada yang
berpendapat sebaliknya.
Al-Imam An-Nawawi dari
mazhab Asy-Syafi'iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan
menjama' shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi
kebiasaan[1].
1. Pendapat Yang Membolehkan
Imam Ahmad bin Hanbal
membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian
pengikut Asy-Syafi'iyyah.
Di dalam kitab Al-Mughni,
Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang
membolehkan jama' shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam
Fiqhussunnah-nya.
Pendapat ini antara lain
dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga
Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan
Asy-Syafi'iyyah.
Begitu juga dengan Ibnul
Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama' ini dengan perkataan Ibnu
Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
a. Dalil Al-Quran
Adapun dalil yang mendasari
kebolehan jama' shalat karena sakit adalah dalil yang bersifat umum, dimana
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam
agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ
وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tidak ada halangan bagi
orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)
b. Dalil Hadits
صَلَّى رَسُول اللَّهِ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا زَادَ مُسْلِمٌ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu Bahwa Rasulullah SAW di Madinah menjama' shalat Dzhuhur dan
Ashar serta menjama' shlat Maghrib dan Isya'. Imam Muslim menambahkan,"Itu
dilakukan bukan karena takut atau safar.” (HR.
Muslim)
Memang hadits ini tidak
secara eksplisit menyebutkan jama' yang dilakukan itu terjadi karena sakit.
Namun para pendukung pendapat ini memandang bahwa riwayat tambahan dari Imam
Muslim yang menegaskan bahwa jama' itu terjadi bukan karena takut dan juga
bukan karena safar, padahal jama' itu dilakukan di dalam kota Madinah, maka
kemungkinan hal itu dilakukan karena terjadinya sakit atau hujan dan
sebab-sebab lainnya.
2. Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Namun mazhab Al-Hanafiyah
dan Asy-Syafi'iyah menolak kebolehan menjama' shalat karena sakit. Alasannya
karena tidak ada riwayat yang qath'i dari Rasulullah SAW tentang hal itu.
Al-Imam An-Nawawi di dalam
kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan :[2]
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم مَرِضَ أَمْرَاضًا كَثِيرَةً وَلَمْ يُنْقَلْ جَمْعُهُ بِالْمَرَضِ صَرِيحًا
Nabi SAW mengalami beberapa
kali sakit, namun tidak ada riwayat yang sharih bahwa beliau menjama'
shalatnya.
Dalam hal ini perlu dicatat
bahwa mazhab Asy-syafi'i termasuk mazhab yang agak ketat dalam masalah
kebolehan menjama'. Maka kalau alasannya hanya sakit, angin, gelap malam, takut
ataupun lumpur, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk menjama'. Maka di dalam
Al-Majmu' itu disebutkan bahwa :
الْمَشْهُورُ فِي الْمَذْهَبِ
وَالْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِ الشَّافِعِيِّ وَطُرُقِ الأَصْحَابِ : أَنَّهُ لا
يَجُوزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ وَالرِّيحِ وَالظُّلْمَةِ وَلا الْخَوْفِ وَلا
الْوَحَلِ
Pendapat yang masyhur dalam
mazhab dan yang ma'ruf dalam nash-nash Asy-syafi'i serta taruq para ashab
adalah tidakk boleh menjama' karena sakit, angin, gelap malam, takut ataupun
lumpur.
Alasannya adalah karena
keharusan mengerjakan shalat pada waktunya adalah hal yang bersifat qath'i
serta didukung oleh dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Maka harus ada dalil yang
benar-benar sharih menyebutkannya kebolehan meninggalkan atau melanggar
waktu-waktu shalat karena sakit. Dan selama tidak ada dalil yang qath'i serta
sharih (tegas), maka hukumnya tetap tidak boleh meninggalkan shalat dan
menjama'nya dengan shalat lain.
Dan kalau diteliti secara
mendalam, ternyata dalil-dalil yang digunakan oleh para pendukung kebolehan
jama' karena sakit adalah dalil yang tidak kuat dan tidak bisa dijadikan dasar
kebolehan.
a. Dalilnya Terlalu Umum
Dalil yang digunakan oleh
kalangan yang membolehkan jama' shalat karena sakit dianggap tidak bisa
dijadikan landasan. Berhubung dalil itu sangat umum sekali. Ibarat pasal dalam
undang-undang, pasal itu adalah pasal karet, yang seringkali ditarik-tarik kesana-kesini
seenaknya yang menafsirkan.
“Allah tidak menjadikan
dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Benar bahwa Allah tidak
menjadikan kesulitan di dalam agama ini, tetapi tetap saja kita tidak bisa
seenaknya membuat-buat tata cara ibadah sendiri, apalagi dalam hal meninggalkan
shalat dan menggantinya di lain waktu dengan cara dijama'.
Lagi pula tiap orang bisa
saja dengan seenaknya mencari-cari alasan kesulitan, lalu shalatnya dijama'
seenaknya. Dan ayat Al-Quran ini tidak menyebutkan alasan sakit, tetapi
menyebutkan kesulitan.
Sedangkan ayat yang kedua
juga tidak bisa dijadikan dasar kebolehan menjama', karena sifatnya terlalu
umum.
Tidak ada halangan bagi
orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)
Meski ayat ini bicara
tentang orang yang buta, oincang dan sakit, namun sama sekali tidak bicara
kebolehan untuk meninggalkan shalat pada waktunya dan menggantinya dengan
dijama' dengan shalat lain.
Intinya, kedua ayat yang
dijadikan dalil ini bersifat sangat umum dan tidak bisa dijadikan landasan
kebolehan untuk menjama' shalat karena sakit.
b. Dalil Cuma Bersifat
Asumsi
Dali dari hadits yang
digunakan oleh kalangan yang membolehkan menjama' shalat karena sakit juga
tidak bisa dijadikan landasan.
Kenapa?
Karena sama sekali tidak
menyebutkan alasan sakit. Sehingga kalau pun sakit dijadikan alasan, di dalam
hadits itu hanya bersifat asumsi saja. Haditsnya hanya menyebutkan bahwa beliau
SAW menjama' bukan karena takut dan bukan karena safar. Itu saja yang disebutkan.
Tetapi kemudian ditafsirkan menjadi : kemungkinan karena sakit.
Maka kedudukan sakit dalam
hal ini cuma sebatas asumsi dan kemungkinan. Namun pada kenyataannya, tidak ada
satu pun dalill yang dengan tegas menyebutkan bahwa beliau SAW menjama karena
sakit. Maka asumsi dan anggapan tidak bisa dijadikan hujjah dalam pandangan
mazhab Asy-syafi'iyah ini.
Kesimpulan
Demikian jawaban kami, yang
intinya bahwa masalah ini memang termasuk masalah khilafiyah di antara para
ulama. Buat kita yang berstatus muqallid atau muttabi; sebenarnya pendapat yang
mana saja dari kedua pendapat di atas yang mau dipakai, tentu tidak ada larangan
untuk memakainya dan juga tidak perintah untuk meninggalkanya.
Sebab keduanya adalah hasil
produk ijtihad para ulama yang sudah berhak menyandang gelar mujtahid. Dan
mereka sudah menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah dalam mengambil kesimpulan
hukumnya. Meski untuk itu hasilnya tetap berbeda.
Kalau pendapat seorang
mujtahid itu sala, tetap masih mendapat pahala walaupun hanya satu. Dan kalau
ternyata benar, tentu mendapatkan dua pahala.
Dan kita yang sama sekali
tidak ada potongan untuk jadi mujtahid, tidak perlu repot-repot mengkritisi
masing-masing pendapat di atas. Sebab selain hanya akan menimbulkan kekeliruan,
karena kritik dilakukan oleh yang bukan ahlinya, juga hanya akan menampakkan
kekurangan ilmu kita saja di depan khalayak.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/
[1] Syarah An-Nawawi jilid 5 hal. 219
[2] An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab,
jilid 4 hal. 383