Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz yang dirahmati Allah SWT.
Mohon izin untuk bertanya. Sungguh sedih kalau melihat fenomena semakin jauhnya umat Islam dari penerapan syariatnya. Salah satunya adalah masih banyaknya penyimpangan pembagian waris yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Ustadz yang dirahmati Allah SWT.
Mohon izin untuk bertanya. Sungguh sedih kalau melihat fenomena semakin jauhnya umat Islam dari penerapan syariatnya. Salah satunya adalah masih banyaknya penyimpangan pembagian waris yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia.
- Mohon ustadz berkenan untuk
menjelaskan pada titik mana saja penyimpangan itu terjadi.
- Dan apa yang bisa kita lakukan
dengan semua penyimpangan ini?
Demikian pertanyaan saya,
terima kasih sekali atas perhatian dan jawabannya.
Wassalam
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Meskipun mayoritas penduduk negeri ini memeluk agama Islam, dan meskipun Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, namun bukan berarti hukum waris dijalankan dengan benar oleh umat Islam.
Meskipun mayoritas penduduk negeri ini memeluk agama Islam, dan meskipun Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, namun bukan berarti hukum waris dijalankan dengan benar oleh umat Islam.
Dalam kenyataannya, hukum
waris yang menjadi salah satu ciri khas agama ini justru banyak ditinggalkan
oleh pemeluk agama Islam sendiri. Persis dengan sabda Nabi SAW bahwa ilmu waris
itu akan dilupakan orang, dan termasuk yang pertama kali akan dicabut dari umat
beliau SAW.
تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Pelajarilah ilmu faraidh
dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia
adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Kalau pun masih ada
sisa-sisa dari umat Islam yang menjalankannya, sayangnya hukum waris dijalankan
dengan cara-cara yang sebenarnya sudah tidak sejalan lagi sebagaimana yang
seharusnya. Disana sini kita menemukan begitu banyak penyimpangan hukum waris
dilakukan oleh mayoritas umat Islam.
Suka atau tidak suka,
memang demikian itulah kenyataannya. Syariat Islam runtuh bukan karena dirusak
oleh musuh-musuh Allah SWT, tetapi runtuh dengan sendirinya akibat keawaman dan
kebodohan umat Islam sendiri terhadap ilmu syariah dalam agamanya.
Di antara begitu banyak
kekeliruan dalam memandang hukum waris di dalam syariat Islam antara lain :
1. Menyamakan Bagian Anak
Laki-laki dan Perempuan
Menyamakan bagian antara
anak laki-laki dengan bagian buat anak perempuan adalah masalah yang klasik dan
paling sering terjadi di tengah masyarakat yang mengaku agamis dan islamis.
Padahal ketentuan bahwa
bagian untuk anak perempuan itu separuh dari bagian anak laki-laki bukan
sekedar karangan atau ciptaan manusia, melainkan sebuah ketetapan yang langsung
Allah SWT turunkan dari langit kepada kita.
Kalau mau protes dan
keberatan, silahkan langsung ajukan kepada Allah SWT. Kalau di masa pensyariatan
dulu, bisa saja keberatan itu direspon langsung oleh Allah, sehingga hukumnya
diubah atau minimal diringankan.
Tetapi kita sekarang ini
hidup di luar era pensyariatan, maka semua yang sudah ditetapkan itu adalah
ketetapan yang tidak bisa diprotes lagi. Protes berart kafir dan menentang
hukum-Nya. Dan untuk itu Allah SWT sudah menegaskan ketentuan-Nya yang sudah
baku tidak boleh diubah-ubah :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
Sayangnya meski ayat ini
sering dibaca berulang-ulang, namun dalam pelaksanannya cenderung hampir semua
keluarga menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan aturan syariah Islam
ini.
Alasnnya bisa
bermacam-macam. Bisa saja karena memang tidak tahu adanya aturan tersebut,
lantaran selama ini lebih terdidik dengan sistem waris versi Belanda atau adat.
Jadi selama ini memang sama sekali tidak pernah tahu menahu urusan pembagian
waris.
Namun alasannya kadang bisa
juga bukan karena tidak tahu, tetapi menganggap enteng urusan seperti ini.
Dikiranya melanggar ketentuan syariah dalam masalah ini tidak mengapa, karena
memang selama ini agama yang dijalankannya hanya sebatas masalah ritual dan
syiar-syiar belaka.
Kalau urusan shalat, puasa,
haji, perayaan hari-hari besar agama, serta hal-hal yang secara umum berbau
agama, mungkin tidak pernah lepas dan selalu diupayakan. Tetapi giliran membagi
warisnya dilakukan dengan cara yang menyimpang, tidak sadar kalau hal itu pada
hakikatnya termasuk perbuatan menentang hukum-hukum Allah SWT, dan ancaman
hukumannya bukan hal yang main-main.
Dan kenyataannya, tidak
sedikit orang-orang yang setiap tahun bolak-balik pergi haji sekeluarga, tetapi
tidak benar cara membagi harta warisan, karena mungkin dianggap urusan waris
tidak ada kaitannya dengan agama yang dianutnya.
2. Membagi Waris Ketika
Masih Hidup
Kasus seorang yang masih
hidup sudah diributkan hartanya untuk dibagi-bagi sebagai warisan, sudah cukup
sering kita dengar. Kadang yang meributkannya adalah sang pemilik harta itu
sendiri, tetapi tidak jarang yang meributkannya adalah para calon ahli waris.
Padahal secara syariah,
tidak ada pembagian harta warisan selama pemilik harta itu masih hidup. Sebab
salah satu syarat dalam pembagian waris adalah matinya pewaris.
Kalau pewarisnya masih
hidup, maka tidak ada urusan dengan pembagian waris. Yang bisa dilakukan
hanyalah hibah atau wasiat, tetapi bukan bagi waris.
Hibah : Hibah adalah
pemberian harta kepada siapa saja yang dikehendaki, tanpa ada ketentuan siapa
yang boleh dan tidak boleh untuk menerimanya.
Jadi bisa saja yang diberi
hibah itu calon ahli waris atau bukan ahli waris. Dan tidak ada pembatasan
jumlah maksimal dalam kasus hibah harta. Berapa pun harta yang mau diberikan,
maka si pemilik harta berhak memberikan kepada orang yang dikehendakinya.
Asalkan pemilik harta itu masih hidup dan sama sekali belum ada tanda-tanda
menjelang kematian.
Wasiat : Sedangkan wasiat,
hanya dilakukan ketika seseorang telah merasa hampir mendekati kematiannya.
Dimana orang yang boleh diberi wasiat itu tidak boleh sekalian menjadi calo
ahli waris. Jadi hanya boleh mereka yang bukan ahli waris saja. Dan untuk
wasiat, ada pembatasan jumlah maksimal yang boleh diberikan, yaitu hanya 1/3
dari jumlah total harta. Sisanya yang 2/3 adalah hak para calon ahli waris.
Kesalahan yang sering
terjadi, si pemilik harta sejak masih hidup sudah membagi-bagi harta kepada
calon ahli warisnya, dengan menyebut sebagai pembagian warisan. Bahkan yang
lebih fatal lagi, ahli waris yang haram menerima wasiat pun diberi wasiat.
Sebuah keawaman yang akut
dan merata, tetapi sayangnya dibiarkan saja. Tidak ada satu pun orang yang
merasa ikut bertanggung-jawab. Naudzubillah min zalik.
3. Harta Bersama Suami
Istri
Kasus harta bersama milik
suami istri adalah warisan dari sistem hukum barat (baca:Belanda). Tetapi
akibat perang pemikiran yang panjang, bahkan bangsa kita sangat lekat dengan
sistem kepemilikan harta seperti ini, yang kita kenal dengan istilah harta
gono-gini.
Dengan adanya sistem harta
milik bersama atau gono-gini, maka pelaksanaan pembagian warisan menjadi rancu,
karena misalnya begitu seorang suami meninggal dunia, harta tidak bisa dibagi
waris.
Mengapa?
Karena mempertimbangkan
bahwa harta yang mau dibagi waris itu ternyata masih harta milik bersama antara
suami dan istri. Dan karena istri saat itu masih hidup, biasanya pembagian
waris ditunda-tunda, karena harus menunggu dulu istrinya meninggal juga.
Inilah kekeliruan fatal
yang selama ini didiamkan saja, bahkan oleh mereka yang mengerti hukum Islam.
Padahal kalau kita menggunakan sistem yang berlaku di dalam syariah Islam,
sebenarnya kita tidak mengenal istilah harta bersama atau harta gono-gini.
Di dalam syariat Islam,
ketika sepasang suami istri menikah, harta mereka tidak perlu dijadikan satu
dan tiba-tiba menjadi harta milik bersama. Cara seperti itu adalah asli
merupakan hukum buatan orang-orang kafir Eropa yang terbawa-bawa kepada
kehidupan kita.
Di dalam sistem syariah
Islam, prinsipnya bahwa semua harta suami tetap selalu menjadi harta suami. Dan
bahwa semua harta istri juga akan tetap selalu harta milik istri sepenuhnya.
Namun sebagian dari harta
suami, memang ada yang menjadi hak istri, tetapi harus lewat akad yang jelas,
misalnya lewat pemberian mahar, atau nafkah yang memang hukumnya wajib, atau
lewat hibah, atau hadiah. Tanpa penyerahan yang menggunakan akad yang pasti,
harta suami tidak secara otomatis jadi harta istri.
Memang kalau istrinya cuma
satu, masih bisa dinalar. Tetapi bayangkan bila seorang suami punya dua atau
tiga istri sekaligus, siapa dari istri itu yang secara otomatis menjadi pemilik
harta suami? Tentu akan jadi rancu kan?
Nah, oleh karena itulah,
harta istri dari suami harus diberikan lewat akad pemberian, bukan terjadi
secara otomatis.
4. Harta Almarhum Dikuasai
Istri
Salah satu kebiasaan buruk
yang sering dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah bahwa ketika suami
meninggal dunia, istrinya otomatis menjadi penguasa tunggal atas harta milik
suaminya itu. Apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil, boleh dibilang harta
suami sudah pasti jadi milik istri seluruhnya.
Padahal hak istri atas
harta suaminya hanya 1/8 atau ¼ saja. Bila suami punya anak misalnya, maka
istri hanya berhak mendapat 1/8 dari total harta milik suaminya. Sisanya yang
7/8 bagian menjadi hak anak-anaknya yang kini sudah menjadi anak yatim.
Dasarnya adalah firman
Allah SWT :
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)
Kalau pun anak-anak
almarhum masih kecil-kecil, bukan berarti anak kecil tidak boleh menerima
warisan. Mereka tetap berhak atas harta warisan dari ayahnya. Namun istri boleh
menyimpan dan memelihara harta dari anak-anaknya itu, untuk suatu hari harus
diserahkan harta itu kepada mereka.
Kalau pun harus terpakai harta
itu demi kepentingan anak-anak, maka istri harus secara amanat membelanjakannya
dan tidak membuang-buang harta itu, apalagi menguasainya untuk kepentingan diri
sendiri.
Dan apabila si janda ini
menikah lagi dengan laki-laki lain, ada anggapan di tengah masyarakat bahwa si
laki-laki yang menikahi janda kaya menjadi orang yang paling beruntung.
Kenapa?
Karena seolah-olah si suami
baru ini merasa mendapat hak dan bagian dari harta peninggalan almarhum.
Padahal seharusnya tak secuil pun harta almarhum yang tiba-tiba berubah menjadi
haknya. Harta itu milik anak-anak almarhum dan istrinya saja, sedangkan suami
baru bukan pihak yang berhak atas harta almarhum.
Demikian juga yang terjadi
bila istri yang meninggal dunia, maka suami seolah-olah menjadi pewaris
tunggal, dan mengangkat diri dirinya sebagai satu-satunya orang yang berhak
atas seluruh harta peninggalan istrinya. Maka dia merasa bebas untuk kawin lagi
dan memberikan seluruh harta milik almarhumah istrinya kepada istri barunya.
Padahal seharusnya, suami
hanya mendapat 1/4 bagian saja dari harta istrinya. Bagian lainnya yang 3/4
bukan miliknya tetapi milik ahli waris yang lain.
5. Bagi Waris Menunggu
Salah Satu Pasangan Meninggal Dunia
Dengan alasan untuk
menghormati ibu yang telah hidup sendiri karena ditinggal mati oleh ayah yang
menjadi suaminya, seringkali pembagian waris tidak dilaksanakan.
Tindakan ini kalau
didasarkan pada kesalahan sebelumnya, yaitu bahwa harta milik seorang suami
secara otomatis dan pasti menjadi harta milik istrinya juga.
Pandangan ini jelas tidak
sejalan dengan hukum Islam yang memandang bahwa tiap orang punya hak atas harta
masing-masing. Dan meskipun seorang laki-laki punya istri, harta miliknya tidak
secara otomatis menjadi harta istrinya. Dan demikian juga berlaku sebaliknya,
harta milik istri tidak secara otomatis menjadi harta suami.
Maka kalau ada salah satu
yang meninggal, harta harus segera dibagi waris, tanpa harus menunggu
pasangannya meninggal terlebih dahulu.
Keharusan segera membagi
warisan itu dikecualikan, misalnya bila ada pertimbangan yang bersifat teknis
semata, bukan karena harus menunggu kematian. Misalnya karena ada pertimbangan
karena harta itu sulit untuk dijual, jadi untuk sementara dibiarkan saja dulu.
Kalau demikian tentu bisa dimaklumi bila sedikit tertunda.
Namun begitulah yang
terjadi di tengah masyarakat kita, umumnya pembagian harta warisan tidak segera
dilaksanakan secepatnya, alasannya semata-mata karena masih menghormati ibu
mereka.
Dan yang lebih parah, para
ibu yang posisinya sebagai istri almarhum pun tidak lebih baik cara
berpikirnya. Biasanya karena kurang ilmu dan ikut-ikutan kebiasaan yang ada di
tengah masyarakatnya, juga merasa tersinggung kalau ketika masih hidup, harta
peninggalan suami sudah dibagi-bagi kepada putera puteri almarhum.
6. Bukan Ahli Waris Tetapi
Merasa Paling Berhak
Di antara bentuk kekeliruan
dalam pembagian waris yang sering terjadi adalah diberikannya harta peninggalan
almarhum kepada orang yang bukan ahli waris, dengan mengatas-namakan pembagian
waris.
Di antara mereka yang
sebenarnya tidak berhak atas harta warisan namun seringkali ikut diberikan
harta waris ada beberapa jenis :
a. Tidak Terdaftar Dalam
Sturuktur Ahli Waris
Orang yang tidak termasuk
di dalam daftar ahli waris tapi sering menuntut agar mendapat bagian waris
antara lain mereka yang hubungannya pakai istilah angkat, tiri dan mantan.
- Jalur Keluarga Berstatus Angkat
Yang dimaksud dengan
keluarga yang menggunakan istilah ‘angkat’ antara lain adalah anak
angkat, ayah angkat, ibu angkat, saudara angkat, paman angkat, bibi angkat dan
seterusnya.
Pengangkatan saudara atau
anak tidak dikenal di dalam syariat Islam.
- Jalur Kelurga Berstatus Tiri
Selain jalur keluar yang
berstatus angkat, yang bukan termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang
berstatus tiri. Misalnya anak tiri, ibu tiri, ayah tiri, saudara tiri lain ayah
lain ibu, dan seterusnya.
- Jalur Keluarga Berstatus Mantan
Selain itu yang juga bukan
termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang berstatus mantan. seperti mantan
suami atau mantan istri.
- Memang Bukan Ahli Waris
Selain itu yang bukan
termasuk ahli waris adalah menantu, mertua dan sebagian keponakan, saudara
ipar, cucu dari jalur anak perempua, sebagian paman.
b. Terdaftar Dalam Ahli
WAris Tetapi Terhijab dan Terlarang
Tidak semua orang yang
termasuk di dalam daftar ahli waris pasti mendapatkan jatah bagian dari harta
warisan. Mereka yang terhijab oleh keberadaan ahli waris yang lain yang lebih
dekat, tentu juga tidak mendapat harta warisan.
Dari 22 pihak ahli waris
yang terdaftar, hanya 6 pihak saja yang pasti tidak akan pernah terhijab, yaitu
anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah dan ibu. Selebihnya, masih
sangat besar kemungkinan terhijab dan gugur haknya.
Mereka yang sudah termasuk
di dalam daftar ahli waris dan tidak terhijab, tetapi pada dirinya ada mawani’
(pencegah), seperti yang sudah Penulis sebutkan di awal. Di antara pencegah
seorang ahli waris dari menerima harta waris adalah perbedaan agama, pembunuhan
dan perbudakan.
7. Bagi Waris Berdasarkan
Kesepakatan
Kesalahan yang paling fatal
dalam pembagian harta waris adalah pembagian berdasarkan kesepakatan dengan
sesama ahli waris, tanpa mengindahkan ketentuan yang ada di dalam Al-Quran,
As-Sunnah dan juga apa yang telah ditetapkan syariah Islam.
Alasan yang biasanya
digunakan adalah asalkan para pihak sama-sama ridha dan tidak menuntut apa-apa.
Sehingga dianggap sudah tidak perlu lagi dibagi berdasarkan ketentuan syariah.
Perumpamaan keharaman
tindakan ini ibarat laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri sepakat dan
rela sama rela untuk melakukan hubungan badan di luar nikah, alias berzina.
Meski sama-sama suka dan tidak merasa dirugikan, tetapi bukan berarti berzina
itu dibolehkan. Sebab di luar mereka, ada Allah SWT yang telah menetapkan
keharaman berzina.
Demikian juga dengan
pembagian harta waris yang melanggar ketentuan Allah SWT. Para ahli waris
mungkin secara suka rela membaginya, namun di sisi lain mereka telah sepakat
untuk meninggalkan ketentuan Allah SWT.
Maka yang seharusnya
dilakukan, sebelumnya harus dibagi sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Bahwa
setelah itu masing-masing pihak ingin menghadiahkan sebagian jatahnya atau
seluruhnya buat saudaranya, itu terserah mereka masing-masing.
Dalam hal ini ada ancaman
yang serius dari Allah SWT bagi keluarga yang tidak menggunakan hukum mawaris
dalam pembagian harta peninggalan almarhum.
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (hukum waris),
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya;
dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An-Nisa' : 14)
Di ayat ini Allah SWT telah
menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah
ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat
nanti akan diancam dengan siksa api neraka.
Sayangnya, tidak ada pihak
yang berhak untuk mencegah cara-cara jahiliyah ini, baik dari pihak para ulama
apalagi dari pihak pemerintah, baik ulama atau pun pemerintah, keduanya hanya
menjadi penonton pasif belaka. Sayang sekali mereka seringkali tidak pernah
merasa berkewajiban untuk meluruskan umat dari berbagai penyimpang yang
dilakukan.
Dan dalam banyak kasuk,
kedua belah pihak lebih sering menyerahkan urusan ini kepada rapat dan
kesepakatan keluarga. Yang penting semua sama-sama ikhlas dan menerima, masalah
dianggap selesai. Apakah Allah SWT menerima atau tidak, sama sekali tidak ada
yang peduli.
8. Bagi Waris Menggunakan
Aturan Adat
Salah satu bentuk
kekeliruan yang amat fatal adalah membagi waris dengan tata cara adat yang
bertentangan dengan hukum mawaris.
Turunnya ayat-ayat tentang
waris ini di masa Rasulullah SAW justru untuk menggantikan tata cara pembagian
waris secara adat. Di antara adat yang bertentangan dengan hukum mawaris di
masa Rasulullah SAW antara lain :
- Anak perempuan tidak mendapatkan
harta warisan. Ketika syariat tentang mawaris ini turun, anak perempuan
ditetapkan mendapat bagian dari warisan.
- Anak laki-laki yang belum mampu
memanggul senjata juga tidak mendapat harta warisan. Sehingga anak-anak
kecil, bila ayah mereka meninggal dunia, sudah dipastikan tidak akan
mendapat warisan. Yang dapat warisan hanya khusus anak-anak laki-laki yang
sudah dewasa, dan ukurannya adalah kemampuan dalam berperang dan memanggul
senjata. Ketika syariat Islam turun, semua anak baik besar maupun masih
kecil, pasti mendapat harta warisan.
- Anak angkat atau anak adopsi
menerima warisan kalau menggunakan hukum jahiliyah di masa sebelum
turunnya syariat Islam. Dengan semakin sempurnanya syariat Islam, anak
angkat bukan hanya tidak mendapat harta warisan, tetapi hukum mengangkat
anak itu sendiri pun dibatalkan dan dilarang.
- Anak Mewarisi Ibu Tirinya. Bila
seorang ayah yang punya banyak istri meninggal dunia, maka anak laki-laki
pertama berhak mewarisi para mantan istri ayahnya, alias ibu tiri mereka.
Dengan turunnya syariat Islam, ibu tiri menjadi haram untuk dinikahi,
apalagi diwariskan kepada anak tiri.
Dan masih banyak lagi
contoh-contoh hukum waris adat jahiliyah yang bisa kita sebutkan. Semua itu
kemudian dihapus dan terlarang untuk dijalankan oleh umat Islam.
Di negeri kita, tiap suku
punya ketentuan hukum waris yang mereka pelihara sejak zaman nenek moyang.
Terkadang ketentuan-ketentuannya sejalan dengan hukum mawaris, namun seringkali
justru bertentangan 180 derajat.
Maka bila memang ketentuan
hukum adat bertentangan dengan hukum mawaris yang datang dari Allah SWT, hukum
adat itu harus ditinggalkan, karena hukumnya haram untuk dijalankan.
9. Menunda Bagi Waris
Sampai Para Ahli Waris Meninggal
Contohnya adalah seorang
kakek yang ketika wafat meninggalkan harta berupa sebidang tanah. Tanah itu
dibiarkan saja tidak dibagi waris, sampai salah satu atau beberapa ahli waris
pun meninggal dunia. Padahal seharusnya tanah itu segera dibagi waris, agar
para ahli waris yang berhak memilikinya bisa segera menikmatinya.
Entah bagaimana dan entah
karena alasan apa, ternyata bertahun-tahun dibiarkan saja tanah itu tanpa
kejelasan siapa pemiliknya. Lalu lahirlah anak-anak dari ahli waris, yang
sebenarnya bukan ahli waris langsung dari sang kakek.
Di level mereka inilah
kemudian muncul pertentangan atau perebutan atas tanah warisan dari kakek.
Tiap-tiap cucu merasa sebagai ahli waris, sehingga masing-masing mengklaim
sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut.
Sayangnya, generasi yang
seharusnya menjadi ahli waris langsung justru sudah banyak yang wafat.
10. Ahli Waris Pengganti
Istilah ahli waris
pengganti yang dimaksud adalah bila seorang anak yang seharusnya menjadi ahli
waris, meninggal lebih dulu sebelum ayahnya yang menjadi pewaris wafat.
Dalam syariat Islam, yang
namanya bagi waris itu hanya terbatas memindahkan harta warisan dari pewaris
yang wafat kepada ahli waris yang syaratnya adalah orang yang masih hidup.
Meski seorang anak biasanya
jadi ahli waris dari ayahnya, tetapi kalau si anak ini meninggal duluan, maka
statusnya bukan ahli waris dari ayahnya. Yang terjadi malah sebaliknya, justru
ayahnya itulah yang menjadi ahli waris dari anaknya yang meninggal. Kalau si
anak ini punya harta, maka ayahnya adalah salah satu dari ahli waris.
Sayangnya, justru di dalam
Kompilasi Hukum Islam, ketentuan syariah ini, entah dengan alasan apa yang kita
tidak paham, malah dilanggar. Posisi si anak yang meninggal duluan ini kemudian
digantikan olah anaknya lagi, yang tidak lain adalah cucu dari almarhum.
Ketentuan ini jelas-jelas
melanggar hukum syariah, karena cucu yang dikatakan menggantikan posisi ayahnya
itu sebenarnya terhijab (mahjub) dengan adanya ahli waris yang lain, yaitu
pamannya, atau kalau dari sisi si kakek disebut anak-anak kakek yang lain.
Konon alasan adanya
kedudukan pengganti ahli waris ini didasarkan pada niat baik, agar anak-anak
almarhum calon ahli waris yang meninggal duluan itu tetap bisa mendapatkan
bagian dari harta yang diwariskan kakek.
Sayangnya, solusi yang
digunakan tidak benar, karena malah mengubah hukum waris itu sendiri.
Prinsipnya, tujuan yang baik tidak boleh dijalankan dengan cara yang tidak
baik.
Yang seharusnya dilakukan
adalah bukan mengubah hukum waris, tetapi gunakan cara lain yang masih
dibenarkan dalam syariat Islam. Salah satunya adalah syariat wasiyat atau
hibah.
a. Wasiat
Ketika sang kakek pemilik
harta mengetahui salah satu anaknya ada yang wafat dan meninggalkan anak,
dimana anak itu tidak lain adalah cucunya juga, maka si kakek boleh saja
berwasiat. Isinya bila nanti dirinya berpulang ke rahmatullah, sebagian dari
hartanya itu diwasiatkan agar diberikan kepada cucunya.
Sebab cucu itu sudah
dipastikan tidak akan mendapat harta warisan dari sang kakek. Maka wasiat dari
kakek bisa berlaku agar si cucu tetap mendapatkan bagian dari harta.
Cara inilah yang dilakukan
oleh Pemerintah Mesir dan Suriah, ketika menghadapi masalah seperti ini.
Pemerintah berinisiatif untuk mewajibkan sang kakek membuat wasiat. Istilahnya
adalah wasiyah wajibah. Jadi wasiat itu bukan semata-mata inisiatif si kakek,
tetapi negara mewajibkan kepada kakek untuk mewasiatkan harta kepada si cucu.
Cara ini 100% sesuai dengan
syariah, dan tujuan untuk memberikan keadilan kepada cucu juga tercapai.
b. Hibah
Selain dengan jalan wasiat,
bisa saja si kakek langsung memberi harta kepada si cucu on the spot, tanpa
harus menunggu dirinya meninggal dunia.
Ketika tahu salah satu
anaknya wafat dan meninggalkan anak yang juga menjadi cucunya, si kakek
langsung ke bank mencairkan uang. Lalu uang itu langsung diserahkan kepada si
cucu, nilainya terserah saja. Dan boleh saja bila nilainya kurang lebih sama
dengan yang nantinya bakalan diterima oleh anak atau cucu lainnya.
Tindakan seperti ini baik
sekali dilakukan, karena sejak dini sudah diantisipasi urusan keadilan
harta.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan?
Semua fenomena ini
berangkat dari semakin asingnya umat Islam terhadap ilmu syariah, khususnya
ilmu mawaris yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.
Maka kuncinya adalah
bagaimana kita kembali menggalakkan pengajaran dan sosialisasi ilmu mawaris ini
ke tengah-tengah umat dengan tindakan yang nyata.
Kita sebenarnya punya
banyak majelis ilmu. Bahkan setiap masjid punya pengajian yang rutin
dilaksanakan. Tidak ada salahnya kalau kita mulai dari menyisipkan pengajian di
berbagai majelis taklim dengan materi yang terkait dengan maslah mawaris.
Syukur nanti kalau bisa
lebih disosialisasikan secara masif dan nasional. Entah lewat kurikulum resmi
di sekolah, atau pun juga lewat berbagai terobosan yang bisa dilakukan oleh
para ustadz, da'i dan juga para penceramah. Setelah tentunya mereka juga
mendapatkan kuliah khusus dalam masalah seperti ini.
Dan tidak ada salahnya
kalau hukum-hukum waris ini disosialisasikan lewat berbagai media, baik cetak
maupun elektronik. Tentu semua semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/