Assalamualaikum wr
wb.
Semoga ustadz selalu dalam keberkahan Alloh SWT.
Ustadz, ada orang yang punya senapan angin dan dia suka berburu binatang. Hasil berburu misalnya burung, biawak, ayam hutan, dll yang mati karena kena tembak bukan karena disembelih, bagaimana hukum binatang buruan tersebut apakah halal atau haram untuk dimakan?
Mohon dijelaskan, terima kasih ustadz.
Jazzakumulloh khoiron katsir.
Semoga ustadz selalu dalam keberkahan Alloh SWT.
Ustadz, ada orang yang punya senapan angin dan dia suka berburu binatang. Hasil berburu misalnya burung, biawak, ayam hutan, dll yang mati karena kena tembak bukan karena disembelih, bagaimana hukum binatang buruan tersebut apakah halal atau haram untuk dimakan?
Mohon dijelaskan, terima kasih ustadz.
Jazzakumulloh khoiron katsir.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban pendeknya,
hewan-hewan hasil buruan itu pada dasarnya halal dimakan, kecuali hewan yang
aslinya tidak boleh dimakan seperti biawak karena termasuk hewan buas. Selebihnya, ayam hutan,
kelinci, rusa dan lainnya pada dasarnya memang hewan halal, maka kalau mati
dengan cara diburu dengan sengaja dan memenuhi ketentuan syariat Islam, hukum
dagingnya halal dimakan, meski tidak lewat penyembelihan.
Dalam syariat Islam,
sesungguhnya berburu adalah salah satu cara untuk mendapatkan makanan yang
halal, selain lewat penyembelihan yang syar'i.
Dasar Kebolehan Menurut
Al-Quran dan As-Sunnah
Bahkan Al-Quran Al-Karim
sendiri tegas menghalalkan hewan yang didapat dari hasil berburu. Tentu saja
hewan itu mati ketika diburu, sehingga tidak perlu lagi disembelih secara
syar'i, karena penyembelihan syar'inya digantikan dengan perburuan.
وَإِذَا حَلَلْتُمْ
فَاصْطَادُوا
Apabila kalian telah
bertahallul (selesai dari ihram), silahkan berburu (QS. Al-Maidah : 2)
Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu yang dibolehkan adalah anjing pemburu.
Bahkan yang lebih menarik lagi, Al-Quran dengan tegas membolehkan kita berburu hewan dengan menggunakan hewan pemburu. Dan hewan pemburu itu sendiri tidak lain adalah hewan buas, yang umumnya pandai berburu hewan lain untuk dimangsa dan dijadikan makanan. Dan salah satu hewan pemburu yang dibolehkan adalah anjing pemburu.
أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ
عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. (QS. Al-Maidah :4)
Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :
Selain Al-Quran, As-Sunnah pun juga tegas menghalalkan kita memakan hewan hasil buruan. Ada begitu banyak hadits yang bisa kita jadikan acuran, diantaranya hadits-hadits berikut :
مَا صِدْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُل ومَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل
Hewan-hewan yang kamu buru
dengan menggunakan panahmu dan melafadzkan nama Allah, makanlah. Dan
hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan
melafazkan nama Allah, makanlah. Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan
menggunakan anjingmu yang belum terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan
makanlah. (HR. Bukhari Muslim)
عن عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَال : قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَتَصَيَّدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَمَا يَحِل لَنَا مِنْهَا ؟ فَقَال : إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كَلْبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُل .
Dari Adi bin Hatim
radhiyalahuanhu berkata,”Aku bertanya,”Ya Rasulallah, kami adalah kaum yang
biasa berburu dengan menggunakan anjing, apakah halal hasil buruannya?”.
Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu melepaskan anjingmu yang sudah terlatih
dengan menyebut nama Allah, maka makanlah dari hasil buruannya. Namun bila
anjing itu ikut memakannya, maka jangan dimakan, karena aku khawatir anjing itu
berburu untuk dirinya sendiri. Dan bila ada anjing lain yang ikut makan,
janganlah dimakan.(HR. Bukhari)
Intinya, hewan yang mati
karena sengaja kita berburu adalah hewan yang halal dimakan. Termasuk bila
berburu menggunakan hewan buas yang sudah dilatih.
Penjelasan Lebih Dalam
Namun tidak cukup kita
hanya membaca dalil Al-Quran dan Hadits saja. Kita perlu membaca lebih dalam
tentang detail teknis dari berburu, sebagaimana yang telah dituliskan oleh para
ulama. Misalnya tentang syarat apa saja yang wajib terpenuhi bagi seorang
pemburu, agar hewan hasil buruannya menjadi halal. Selain itu hewan yang diburu
pun harus memenuhi syarat tertentu.
Dan apabila kita berburu
dengan menggunakan hewan pemburu, juga ada syarat dan ketentuannya.
A. Syarat Pemburu
Agar hasil buruannya
menjadi halal untuk dimakan, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang
berburu hewan adalah sebagai berikut :
1. Aqil dan Mumayyiz
Jumhur ulama seperti mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, satu pendapat dari mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah mensyaratkan pemburu harus aqil dan mumayyiz.
Maka agar hasil hewan
buruannya halal dimakan, syarat pertama adalah bahwa pemburu harus orang yang
berakal dan bukan orang gila atau tidak waras. Orang gila meski pintar berburu,
hasil buruannya haram dimakan.
Demikian juga anak kecil
yang belum mumayyiz, mungkin saja dia mampu berburu dan berhasil mendapatkan
hasil buruan. Namun hasil buruannya belum boleh dimakan, karena ada syarat
minimal, bahwa seorang anak harus sudah mumayyiz untuk dibolehkan berburu.
Namun pendapat yang lain
dari mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mensyaratkan pemburu harus aqil dan baligh.
Maka dalam pendapat yang lainnya dari mazhab Asy-Syafi’iyah, hasl buruan orang
gila dan anak kecil hukumnya halal dan boleh dimakan.
2. Tidak Dalam Keadaan
Berihram
Orang yang sedang melakukan
ibadah haji atau umrah diharuskan berihram. Dan di antara larangan daam
berihram adalah tidak boleh menyembelih atau berburu hewan. Maka bila seorang
yang sedang berihram melakukannya, dia berdosa dan wajib membayar kaffarah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu berburu dalam keadaan berihram.
(QS. Al-Maidah : )
Lalu bagaimana dengan hewan
hasil buruannya?
Para ulama mengatakan hewan
hasil buruannya itu tidak sah sebagai hasil berburu yang sesuai dengan syariat.
Karena itu hukumnya pun tidak halal dimakan, karena kedudukannya sama seperti
bangkai hewan umumnya.
Mungkin di masa sekarang
ini tidak terbayang bagaimana jamaah haji masih sempat berburu hewan. Tetapi di
masa lalu, dimana haji masih dilakukan dengan berjalan kaki melintasi alam liar
atau padang pasir, kebutuhan untuk makan salah satunya didapat dengan cara
berburu hewan. Namun jamaah haji tidak boleh berburu hewan.
3. Muslim atau Ahli Kitab
Sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya tentang faktor agama penyembelih hewan, maka faktor agama
yang dianut oleh orang yang berburu sangat berpengaruh pada kehalalan hewan
buruannya. Hanya mereka yang beragama Islam atau ahli kitab (Nasrani dan
Yahudi) yang dianggap sah perburuannya dan halal hasilnya.
Demikian juga dengan hasil
buruan orang yang beragama Nasrani atau Yahudi (ahlul kitab) dihalalkan dalam
syariat Islam karena Allah SWT berfirman:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Makanan (sembelihan) ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (QS. Al-Maidah: 5).
Tidak perlu ada ukuran
tentang sejauh mana seseorang ahli kitab aktif menjalankan ritus-ritus
keagamaan yang dianutnya. Cukup secara formal seseorang mengakui agama yang
dianutnya. Sebagai contoh, hewan hasil buruan orang yang mengaku beragama Islam
dianggap halal, meskipun barangkali dia sering meninggalkan shalat, puasa, atau
melanggar perintah-perintah agama. Karena yang dibutuhkan hanya status dan
bukan kualitas dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Demikian juga dengan kaum
Nasrani. Tidak menjadi ukuran apakah dia taat dan rajin menjalankan ritual
keagamaannya, sebab yang menjadi ukuran adalah formalitas pengakuan atas agama
yang dianutnya. Kualitas dalam menjalankan agamanya tidak dijadikan patokan.
Kesimpulannya, orang yang
beragama Hindu, Budha, Konghuchu, Majusi, Shinto dan lain-lain, tidak sah jika
berburu dan hasil buruannya haram dimakan.
4. Membaca Basmalah
Membaca lafadz basmalah
(بسم الله) merupakan hal yang umumnya dijadikan syarat sahnya penyembelihan
oleh para ulama. Dalilnya adalah firman Allah:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
Begitu juga hal ini
berdasarkan hadis Rafi’ bin Khudaij bahwa Nabi SAW bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ
Segala sesuatu yang dapat
mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian
makan. (HR. Bukhari)
Jumhur ulama seperti mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menetapkan bahwa membaca basmalah
merupakan syarat sah penyembelihan. Sehingga hewan yang pada saat penyembelihan
tidak diucapkan nama Allah atau diucapkan basmalah, baik karena lupa atau
karena sengaja, hukumnya tidak sah.
Sedangkan Imam Asy Syafi’i
dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah
(membaca basmalah) adalah sunah yang bersifat anjuran dan bukan syarat sah
penyembelihan. Sehingga sembelihan yang tidak didahului dengan pembacaan
basmalah hukumnya tetap sah dan bukan termasuk bangkai yang haram dimakan.
Setidaknya ada tiga alasan
mengapa mazhab ini tidak mensyaratkan basmalah sebagai keharusan dalam
penyembelihan.
Pertama, mereka beralasan dengan hadis riwayat ummul-mukminin ‘Aisyah
radhiyallahuanha :
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ : سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .
Ada satu kaum berkata
kepada Nabi SAW, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil
sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi
SAW mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging
tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.(HR. Bukhari)
Hadits ini tegas
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlalu peduli apakah hewan itu
disembelih dengan membaca basmalah atau tidak oleh penyembelihnya. Bahkan jelas
sekali beliau memerintahkan untuk memakannya saja, dan sambil membaca
basamalah.
Seandainya bacaan basmalah
itu syarat sahnya penyembelihan, maka seharusnya kalau tidak yakin waktu
disembelih dibacakan basmalah apa tidak, Rasulullah SAW melarang para shahabat
memakannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, beliau SAW malah
memerintahkan untuk memakan saja.
Kedua, mazhab ini beralasan bahwa dalil ayat Quran yang melarang memakan
hewan yang tidak disebut nama Allah di atas (ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه),
mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud adalah hewan yang niat penyembelihannya
ditujukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah. Maksud kata "disebut
nama selain Allah" adalah diniatkan buat sesaji kepada berhala, dan bukan
bermakna "tidak membaca basmalah".
Ketiga, halalnya sembelihan ahli kitab yang disebutkan dengan tegas di
dalam surat Al-Maidah ayat 5.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Dan sembelihan ahli kitab
hukumnya halal bagimu. (QS. Al-Maidah : 5)
Padahal para ahli kitab itu
belum tentu membaca basmalah, atau malah sama sekali tidak ada yang membacanya.
Namun Al-Quran sendiri yang menegaskan kehalalannya.
Namun demikian, mazhab
Asy-Syafi'iyah tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara
sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan
basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah.
5. Bukan Niat Untuk Yang
Selain Allah
Seorang pemburu hewan tidak
boleh berniat ketika berburu untuk dipersembahkan kepada apapun selain Allah.
Tidak boleh diniatkan buruan itu untuk dipersembahkan kepada berhala, roh,
arwah, jin, setan dan sebagainya.
Hewan hasil buruan ahlul
kitab bisa halal selama diketahui dengan pasti mereka tidak menyebut nama
selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika berburu,
semisal menyebut nama Isa Almasih, ‘Udzair, atau berhala, maka saat itu hasil
buruan mereka menjadi tidak halal, berdasarkan firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah. (QS. Al-Ma-idah: 3)
6. Melakukannya Dengan
Tangannya Sendiri
Seorang pemburu harus
menggunakan tangannya sendiri ketika berburu, meski dengan memanfaatkan alat
seperti panah, tombak, pisau, senapan, dan lainnya.
Tidak boleh menggunakan
tangan orang lain, seperti budak, pembantu, asisten, pemburu bayaran, kecuali
mereka adalah orang-orang yang memang telah memenuhi syarat untuk berburu.
7. Bukan Hewan Salah
Sasaran
Ketika seorang berburu dan
melepaskan anak panah atau menembakkan senjatanya, sejak awal maksud yang ada
di dalam hatinya harus benar-benar berburu, bukan untuk maksud yang lain atau
karena tidak sengaja, atau juga bukan karena salah sasaran.
Umpamanya ada seseorang
yang sedang belajar atau latihan menambak. Sasarannya adalah botol-botol kosong
yang ditumpuk sekian meter jauhnya. Ketika peluru dilepaskan, tak ada satu pun
dari peluru itu yang mengenai sasaran, tetapi tiba-tiba ayam tetangga jatuh
tergeletak tak berdaya dan mati. Ternyata ayam itu mati menjadi korban salah
sasaran tembakan yang melenceng. Maka kalau ayam itu langsung mati mendadak,
otomatis berubah jadi bangkai.
Tetapi bila sebelum
menghembuskan ajalnya, ayam itu sempat diberi pertolongan terakhir, alias
disembelih secara syar’i, maka ada harapan untuk makan sate ayam mendadak.
Tentu dengan kewajiban membayar kerugian harga seekor ayam.
Berdosa saja agar yang kena
peluru salah sasaran itu hanya sebatas ayam tetangga, dan jangan sampai burung
perkutut yang baru memenangkan kejuaraan tingkat nasional.
Kenapa?
Karena harganya bisa sampai
1 milyar rupiah. Kalau sampai hal itu yang terjadi, maka kita rugi dua kali.
Selain perkutut yang mati ketembak itu berubah jadi bangkai tidak bisa dimakan,
harga uang penggantiannya pun bisa langsung mengubah seseorang jadi kere alias
gelandangan untuk beberapa keturunan, karena harus menjual seluruh rumah warisan
dari nenek moyang.
8. Tidak Buta
Syarat terakhir yang harus
dipenuhi oleh seorang yang berburu hewan haruslah orang yang masih bisa melihat
dengan baik dan tidak buta.
Syarat ini diajukan oleh
mazhab Asy-Syafi’iyah, dimana mereka mengharamkan orang buta untuk melepaskan
anak panah untuk berburu hewan, atau dengan memanfaatkan hewan pemburu.
B. Syarat Hewan Yang Diburu
Tidak semua hewan halal
untuk dimakan dengan cara diburu. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi
terlebih dahulu, di antarnya :
1. Halal Dagingnya
Seluruh ulama menegaskan
bahwa syarat yang paling utama dalam hal kehalalan hewan yang matinya dengan
cara diburu adalah hewan itu sendiri harus termasuk jenis hewan yang halal
daging sejak semula. Seperti rusa, kijang, kelinci, ayam, itik, atau pun
hewan-hewan yang hidup di dalam air.
Sedangkan hewan-hewan yang
hukum aslinya sudah haram dimakan, maka memburunya pun haram, apabila niatnya
untuk dimakan.
Namun bila berburu hewan
yang niatnya bukan untuk dimakan, maka para ulama berbeda pendapat, apakah
boleh memburu hewan yang haram dimakan atau tidak tetap tidak boleh.
a. Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah : Syarat Berburu
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan haramnya berburu bila daging hewan itu tidak halal
untuk dimakan.
Dan pendapat itu tercermin
dengan jelas pada definisi berburu yang mereka kemukakan, yaitu :
حَيَوَانٌ مُقْتَنَصٌ حَلاَلٌ مُتَوَحِّشٌ طَبْعًا غَيْرُ مَمْلُوكٍ وَلاَ مَقْدُورٍ عَلَيْهِ
Hewan yang halal dagingnya
yang hidup di alam liar secara alami, yang bukan milik perorangan dan tidak
bisa dipelihara
b. Al-Hanafiyah dan
Al-Malikiyah : Bukan Syarat
Mazhab Al-Hanafiyah dan
Al-Malikiyah dalam hal ini berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak mengapa.
Mereka memandang hukum memburunya kembali kepada hukum dasar, yaitu boleh atau
halal. Sebab bisa saja manfaat yang ingin didapat bukan untuk memakan dagingnya,
melainkan untuk diambil kulitnya.
Dan kulit hewan yang haram
dimakan bisa menjadi suci asalkan disamak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abbas dia
berkata,"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Apabila kulit telah
disamak, maka sungguh ia telah suci." (HR.
Muslim)
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
Semua kulit yang telah
disamak maka kulit itu telah suci. (HR.
An-Nasai)
Selain boleh diburu untuk
diambil manfaatnya secara syar’i, kebolehannya untuk diburu juga atas sebab
bila untuk menolak bahaya dan ancaman dari hewan itu sendiri.
2. Mutawahhisy
Yang dimaksud hewan
mutawahhisy adalah hewan yang hidup secara liar di alam bebas, dimana cirinya
tidak bisa ditangkap begitu saja kecuali dengan perangkap khusus atau diburu
dengan senjata.
Meski kalau dikejar-kejar
bisa berlari menghindar, tetapi ayam peliharaan bukan termasuk hewan
mutawahhisy, sebab ayam bisa ditangkap dengan mudah. Apalagi ayam broiler yang
sama sekali tidak bisa mempertahankan diri.
Oleh karena itu berburu
ayam kampuang, ayam negri atau ayam broiler dengan cara ditembak hanya akan
menyebabkan ayam-ayam itu jadi bangkai.
Tetapi ayam hutan yang
hidup liar di tengah belantara, tidak bisa ditangkap pakai tangan. Harus
digunakan perangkap tertentu untuk bisa mendapatkannya, karena sifatnya yang
liar atau mutawahhisy itu. Ayam hutan itu layak untuk diburu hingga mati dan
dagingnya halal dimakan.
3. Bukan Hewan Tanah Haram
Hewan yang menjadi penghuni
tanah haram hukumnya haram untuk diburu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِل لأَِحَدٍ قَبْلِي وَلاَ تَحِل لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّمَا حُلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا
Sesungguhnya Allah SWT
telah mengharamkan tanah Mekkah, maka tidak halal bagi siapa pun sebelum Aku
dan sesudahku untuk menebang pohonnya dan memburu hewan-hewannya. (HR. Bukhari)
4. Matinya Karena Terkena
Peluru Senjata
Disyaratkan agar hewan yang
diburu itu menjadi halal dagingnya, ketika ditembakkan dengan senjata, baik
anak panah, tombak atau peluru panas, hewan itu mati saat itu juga atau
beberapa saat namun tidak terlalu lama.
Bila hewan itu masih hidup
terus dalam waktu yang lama, dengan hidup yang normal, baru kemudian mati, ada
kemungkinan hewan itu tidak mati karena sebab panah si pemburu. Maka hewan itu
tidak halal dimakan dan statusnya menjadi bangkai
5. Tidak Menghilang Terlalu
Lama
Syarat lainnya adalah hewan
yang sudah terkena tembakan itu tidak menghilang dalam waktu yang lama. Sebab
bila hewan yang sudah kena tembak itu sempat menghilang dalam waktu lama, dan
pemburunya sudah menyelesaikan perburuannya, baru kemudian hewan itu ditemukan
dalam keadaan mati, ada keraguan bahwa hewan itu mati bukan karena peluru,
tetapi juga ada unsur pembunuh yang lain.
C. Syarat Berburu
Menggunakan Senjata
Senjata yang dibenarkan
dalam perburuan hewan intinya harus tajam dan bisa melukai atau merobek kulit
hewan buruan, sehingga terjadi luka dan menyemburkan darah dari luka itu.
Senjata itu bisa saja
berupa anak panah, pedang, pisau, belati, tombak atau pun peluru tajam yang
ditembakkan dari senapan modern, tapi intinya bagaimana peluru itu bisa
menembus kulit hewan sehingga melukai dan keluar darah dari lukanya.
Sedangkan senjata yang
sifatnya tidak tajam dan tidak sampai merobek kulit hingga mengeluarkan darah,
meski mematikan, tetapi tidak halal untuk digunakan.
Maka berburu dengan batu
yang bulat, tongkat yang tidak tajam, cakram, palu godam atau martil, hukumnya
haram. Karena meski bisa mematikan, namun tidak mampu mengoyak kulit hewan
buruannya.
Demikian juga berburu
dengan katapel, bila peurunya berupa batu atau kelereng, meski hewan itu mati,
tetapi bila tidak ada koyak pada kulit hewan itu hingga mengeluarkan darah,
hukumnya tidak sah.
D. Syarat Berburu
Menggunakan Hewan
Selain menggunakan senjata,
berburu juga bisa menggunakan hewan pemburu. Tentunya hewan pemburu adalah
hewan yang buas dan punya kemampuan dasar berburu. Hewan-hewan jinak atau
ternak biasanya tidak punya kemampuan itu.
Yang dimaksud dengan
berburu dengan hewan pemburu adalah membunuh hewan buruan itu dengan dikejar
dan diterkam mati oleh hewan pemburu. Jadi intinya, hewan yang diburu itu
memang mati semata-mata oleh sebab dilukai dan diterkam oleh hewan pemburu.
Fungsi dan peran hewan
pemburu itu memang untuk membunuh buruannya, dan bukan sekedar untuk menangkap
hidup-hidup lalu disembelih oleh manusia. Dan hukum memakan hasil buruan ini
halal dimakan dalam pandangan syariat, sehingga sudah tidak perlu lagi
dilakukan penyembelihan.
Dasarnya adalah firman
Allah SWT :
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Makanlah hewan yang diburu
oleh hewan pemburu untukny dan sebutlah nama Allah (ketika melepas hewan
pemburu). (QS. Al-Maidah : 4)
Namun ada syarat dan
ketentuan yang berlaku sebagai hewan pemburu yang harus dipenuhi dalam syariat
Islam, antara lain :
1. Hewan Pemburu Harus
Terlatih
Di dalam istilah Al-Quran,
istilahnya adalah mu’allam (مُعُلُّم), artinya hewan itu sudah diajarkan tata
cara berburu dan terlatih untuk melakukanya dengan benar, serta taat dan
patuh pada perintah pemiliknya.
Dasar dari syarat ini
adalah firman Allah SWT :
وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ
Dan hewan-hewan yang kamu
ajarkan (QS. Al-Maidah : 4)
Dan juga didasarkan kepada
hadits nabi SAW :
مَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُل وَمَا صِدْتَ بِكَلْبِكَ غَيْرِ مُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُل
Hewan-hewan yang kamu buru
dengan menggunakan anjingmu yang terlatih dan melafazkan nama Allah, makanlah.
Sedangkan hewan-hewan yang kamu buru dengan menggunakan anjingmu yang belum
terlatih, bila kamu dapati maka sembelihlah dan makanlah. (HR. Bukhari Muslim)
Mazhab Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa bila bahwa syarat dari hewan
yang terlatih adalah bila diperintah, dia mengerjakan. Sebaliknya, bila
dilarang, dia pun tidak mengerjakan.
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menambahkan lagi syaratnya, yaitu bila hewan itu memburu hewan
lain, tidak sama sekali tidak ikut memakan hewan buruannya itu. Hal itu
didasari oleh hadits nabi :
إِلاَّ أَنْ يَأْكُل الْكَلْبُ فَلاَ تَأْكُل فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ
Kecuali bila anjing pemburu
itu ikut memakannya, maka janganlah kamu makan (hewan burua itu), sebab aku
khawatir anjing itu berburu untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari)
Namun syarat ini tidak
berlaku bila hewan pemburunya berupa burung pemburu, karena sulitnya
mengajarkan hal itu. Syarat ini juga tidak termasuk bila hewan pemburu itu
meminum darahnya tapi tidak memakan dagingnya. Maksudnya, bila hewan pemburu
itu hanya meminum darah korbannya tanpa memakan dagingnya, maka hewan buruan
itu masih halal untuk dimakan manusia.
2. Kulit Buruan Harus Luka
dan Terkoyak
Syarat kedua dalam masalah
ini adalah dari segi teknik membunuh, yaitu hewan pemburu itu harus dapat
sampai mengoyak kulit hewan buruannya, sehingga dari lukanya itu keluar darah
segar. Dan matinya hewan buruan itu semata-mata karena luka dan kehabisan
darah.
Posisi letak luka yang
mengeluarkan darah segara itu sendiri tidak harus di leher seperti ketika
menyembelih. Posisinya bisa dimana saja dari tubuhnya. Sebab intinya bagaimana
caranya agar hewan buruan itu mati karena kehabisan darah, akibat keluar lewat
luka-luka yang menganga.
Maka bila hewan buruan itu
ditemukan mati setelah diburu dan dikejar-kejar, tetapi tidak ada luka menganga
dan tidak ada darah yang keluar, berarti boleh jadi hewan itu mati oleh sebab
lain. Hewan buruan yang terbukti mati karena tercekik, terantuk batu, jatuh
dari ketinggian, atau luka dalam, terpukul, terbanting dan sebagainya, maka
hukumnya tidak halal dimakan. Dan statusnya adalah bangkai. Baik hal itu
disebabkan atau dikerjakan oleh hewan pemburu atau pun hewan itu mengalami
sendiri.
Syarat ini diajukan oleh
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah secara resmi, dan juga oleh sebagian dari
para ulama di dalam lingkup mazhab As-Syafi’iyah. Istilahnya versi muqabilul
adhzar.
Sedangkan versi al-ahdzhar
dari mazhab As-Syafi’iyah tidak mensyaratkan masalah ini. Demikian juga
pendapat Abu Yusuf yang termasuk berada di dalam jajaran para ulama dari mazhab
Al-Hanafiyah, tidak mengajukan syarat ini. Dasar pendapat mereka adalah umumnya
ayat, dimana Allah SWT mempersilahkan kita makan dari apa yang diburu oleh
hewan pemburu, tanpa menyebutkan syarat harus ada luka di tubuh hewan itu yang
mengeluarkan darah dan mati karena hal itu.
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Makanlah dari apa yang
telah diburu oleh hewan pemburu itu untukmu. (QS.
Al-Maidah : 4)
3. Tuannya Harus Muslim
atau Ahli Kitab
Syarat ketiga adalah bahwa
hewan pemburu itu tidak berburu untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja atas
perintah dan komando dari tuannya. Dan syarat yang berlaku dalam hal ini,
tuannya harus seorang muslim, atau setidak-tidaknya dia seorang ahli kitab,
baik memeluk agama Kristen dan Yahudi.
Bila hewan itu tanpa
dikomando telah melakukan perburuan sendiri, meski tidak dimakannya, tetap saja
hasil buruannya itu haram dimakan.
Sebaliknya, meski hewan itu
berburu lewat perintah tuannya, tapi bila tuannya bukan seorang muslim atau
ahli kitab, tetap saja hewan buruan itu haram dimakan.
Dasar dari syarat ini dari
firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem surat Al-Maidah :
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
Sembelihan ahli kitab itu
halal bagimu dan sembelihanmu halal bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)
Meski ayat ini bicara
tentang sembelihan, namun menurut para ulama, ayat ini juga mencakup masalah
berburu hewan menggunakan hewan pemburu.
4. Hewan Itu Tidak
Mengerjakan Hal Lain
Syarat yang keempat dari
berburu dengan memanfaatkan hewan pemburu adalah ketika diperintah oleh
tuannya, hewan itu tidak mengerjakan perbuatan yang lain, tetapi langsung
berburu. Syarat ini dinashkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Sebab kalau hewan itu
mengerjakan perbuatan yang lain dulu baru berburu, maka langkahnya dalam
berburu bukan lagi atas dasar perintah tuannya, melainkan karena keinginannya
sediri.
Maka bila setelah
diperintah dan dilepakan hewan pemburu itu sempat makan roti terlebih dahulu,
atau menunaikan hajatnya seperti kencing atau buang air besar, maka ketika dia
meneruskan berburunya, diaggap sudah bukan lagi atas dasar perintah tuannya.
Hal yang sama juga berlaku
manakala setelah dilepas tuannya lalu tidak berhasil dan kembali lagi kepada
tuannya, lantas tiba-tiba hewan itu kembali lagi mengejar buruannya semula
namun tanpa perintah dari tuannya, maka hukumnya hasil buruannya juga tidak
halal.
Demikian penjelasan singkat
terkait dengan ketentuan berburu hewan dalam syariat Islam. Semoga bermanfaat,
amin.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/