Assalamu’alaikum wr wb.
Pak ustadz, saya mau
bertanya. Akhir-akhir ini khususnya di negeri kita banyak terjadi kecelakaan
lalu lintas, terutama kasus tabrakan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa,
yang ingin saya tanyakan, bagaimana tanggapan syariat untuk kasus seperti ini;
Apakah musibah, atau ini masuk dalam kategori pembunuhan? Mohon pencerahannya.
Terima kasih.
Wa alaikumus salam wr wb.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Saking berharganya nyawa
manusia, maka Islam melalui syariatnya hadir untuk menjamin keberlangsungan
hidup seseorang, dimana Islam mengharamkan ummatnya melakukan segala macam
bentuk pembunuhan, kecuali yang memang diperbolehkan dalam Islam.
Hampir semua bentuk
pembunuhan susah untuk selamat dari hukuman yang sudah diatur didalam syariat.
Semua ini dimaksudkan agar tujuan dari hadirnya syariat ini bisa menjamin
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini (hifzhu an-nafsi)
Dalam syariat Islam, nyawa
manusia itu sangat berharga dan tidak ada yang boleh menghilangkannya tanpa
sebab-sebab yang dibolehkan dalam Islam.
Ragam Bentuk Pembunuhan
Mayoritas ulama membagi bentuk pembunuhan ini ke dalam tiga bentuk
Mayoritas ulama membagi bentuk pembunuhan ini ke dalam tiga bentuk
- Sengaja (‘amd),
- Mirip Sengaja (syibhu ‘amdin)
- Salah (khatha’)
1. Sengaja (‘amd)
Pembunuhan sengaja (‘amd) menurut mayoritas ulama adalah tindakan pembunuhan yang dengan sengaja dilakukan kepada jiwa yang haram dibunuh dengan alat yang bisa membunuh
قصد الفعل والشخص بما يقتل قطعا أو غالبا
2. Mirip Sengaja
Pembunuhan mirip sengaja (syibhu
‘amdin) adalah tindakan pemukulan yang sengaja dilakukan kepada seseorang
bukan dengan maksud membunuh dan dilakukan dengan alat yang tidak membunuh
قصد ضرب الشخص عدوانا بما لا يقتل غالبا كالسوط والعصا
3. Salah
Adapun pembunuhan keliru (qatlu
al-khatha’) adalah tindakan yang tidak bermaksud untuk membunuh, tidak juga
kepada korban, atau tidak bermaksud salah satunya.
ما وقع دون قصد الفعل والشخص أو دون قصد أحدهما
Untuk lebih jelasnya, para
ulama fiqih biasanya membagi pembunuhan keliru atau tidak sengaja ini ke dalam
beberapa contoh keadaan berikut:
- Sengaja melakukan tindak kriminal
(pembunuhan), namun salah objek atau salah sasaran, sehingga yang terbunuh
justru bukan orang yang dimaksud.
- Contoh sederhananya adalah jika
ada seseorang yang berniat dan sengaja memanah burung, lalu kemudian tanpa
disengaja panah tersebut malah mengenai manusia dan meninggal. Awalnya
ingin memanah burung, tapi ternyata salah sasaran sehingga terbunuh justru
yang tidak ingin dibunuh.
- Sengaja melakukan pembunuhan,
namun salah sangka. Misal sederhananya adalah seorang muslim yang sengaja
ingin membunuh, awalnya dikira musuh yang boleh dibunuh, namun ternyata
yang dibunuh malah teman sendiri yang haram darahnya.
- Tidak sengaja melakukan
pembunuhan, tidak juga berniat untuk membunuh seseorang, namun karena
keteledorannya sehingga perbuatannya itu malah membuat orang lain
meninggal. Misalnya seseorang yang tidur lalu tanpa sengaja jatuh dan
menimpa temen yang tidur dibawahnya, sehingga temennya yang tertimpa tadi
meninggal dunia.
- Tidak membunuh dengan langsung
namun perbuatannya tersebut menjadi sebab terjadinya pembunuhan. Misalnya
seseorang yang menggali lobang dijalanan yang biasanya dilewati oleh
banyak orang, lalu ada seseorang pada malam hari lewat disana dan
terperosok, sehingga meninggal dunia.
Korban Tabrakan dan
Pembunuhan Salah atau Tidak Sengaja
Jika kita baca dengan
seksama dari pembagian jenis pembunuhan ini, maka kita akan mendapati bahwa
kasus korban tabrakan ini lebih dekat ke jenis pembunuhan yang ketiga, yaitu
pembunuhan salah atau tidak sengaja. Tentu apabila ada unsur keteledoran atau
kelalaian sopir yang mengendarai kendaraannya.
Dalam kasus kecelakaan lalu
lintas, seringkali yang menjadi sebab timbulnya korban itu justru akibat
keteledoran sopir, entah itu karena membawa kendaraan dengan kecepatan di atas
standar, atau mengendarai kendaraan dalam keadaan ngantuk, pusing, mabuk, atau
juga membawa kendaraan sambil nelpon atau sms-an, atau bisa juga karena tidak
mentaati rambu lalu lintas, ‘nerobos’ lampu merah, memuat kendaraan dengan
kapasitas yang berlebihan, menjalankan kendaraan di atas trotoar, melawan arus
lalu lintas, dan ragam keteledoran lainnya.
Dalam kasus tabrakan
beruntun, maka yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah pelaku pertama yang
menabrak, yang menjadi sebab terjadinya tabrakan beruntun tersebut, pelaku
pertama tadilah yang ditanya. Jika didapat bahwa itu semua itu terjadi karena
keteledoran pelaku, maka yang demikian juga masuk dalam kategori pembunuhan
tidak sengaja.
Dua Kaidah Dasar
Dalam kasus seperti ini,
ada dua kaidah besar yang bisa menjadi landasan kita dalam menghukumi pelaku,
apakah perbuatan tersebuat masuk dalam kategori kriminal atau bukan. Dua kaidah
ini masyhur dikalangan ulama, yang ditulis oleh Al-Kasani di dalam kitabnya
Bada’i’ as-Shona’i', juz 7, hal 271-272:
1. Kaidah Pertama
Segala bentuk dharar yang
yang mengenai orang lain, atau yang perbuatannya menjadi sebab terjadinya
tindak kriminal, maka pelakunya bertanggung jawab penuh ketika itu semua
terjadi akibat keteledorannya
كل ما يلحق ضررا بالغير يسأل عنه فاعله أو المتسبب فيه إذا كان يمكن النحرزمنه، فإذا كان لا يمكنه التحرز منه إطلاقا فلا مسؤولية
Pertanggungjawaban itu
meliputi semua hal, baik biaya pengobatan, biaya perbaikan kendaraan yang
rusak, dan seterusnya.
2. Kaidah Kedua
Jika pelaku melakukan
perbuatan yang sejatinya tidak dibolehkan dan tidak dalam keadaan darurat, maka
pelaku bertanggung jawab terhadap segala hal yang terjadi akibatnya.
إذا كان الفعل غير مأذون (غير مباح) شرعا وأتاه الفاعل دون ضرورة ملجئة فهو تعد من غير ضرورة، وما تولد منه يسأل عنه الفاعل
Dulunya, ulama fiqih kita
memberikan contoh kasus sederhana dalam konteks ini, yaitu mereka yang sedang
mengendarai kuda atau onta, jika kuda atau onta ini menabrak seseorang maka
pelakunya bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena pada dasarnya kuda
atau onta itu bisa dijaga dan diarahkan agar tidak mengenai seseorang.
Beda halnya dengan liur,
kotoran, atau apa yang keluar dari badan kuda atau onta yang sulit untuk
dihindari, dan memang sepertinya sulit bagi kita mengendalikan agar kuda
tersebut tidak kencing atau meludah sembarangan. Maka seandainya gara-gara
ludah atau kencing itu membuat orang lain terpeleset lalu meninggal karenanya,
maka dalam hal ini para ulama mengatakan sulit bagi kita untuk meminta
pertanggung jawaban dari pelaku.
Contoh lainnya, jika ada
seseorang yang sedang membawa kayu balok diatas bahunya, lalu tiba-tiba kayu
tersebut jatuh dan mengenai orang lain, sehingga meninggal dunia, maka dalam
hal ini si pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya, karena yang seperti ini
mestinya tidak terjadi, dan bisa untuk dihindari.
Jika kayunya terlalu berat,
mengapa tidak meminta bantuan orang lain untuk membawanya, atau sebenarnya bisa
memakai mobil untuk mengangkutnya, sehingga kemungkinan mencelakakan orang lain
apalagi sampai menghilangkan nyawa itu bisa dihindari.
Tidak mudah memang dalam
menentukan apakah perbuatan seseorang tersebut masuk dalam katagori pembunuhan
tidak sengaja sehingga si pelaku harus bertanggung jawab atau bukan, butuh data
dan analisa yang kuat, ini kerja yang berwenang yang dalam hal ini adalah hakim
dalam menentukan akhir dari kasus seperti ini.
Hanya saja dua kaidah
diatas tadi harusnya juga menjadi pelajaran bagi kita agar lebih hati-hati
dalam segala hal, karena nyawa manusia itu sangat berharga dan tidak ada kata
main-main disini.
Rukun Pembunuhan Tidak
Sengaja
- Adanya bentuk perbuatan yang
membuat korban terbunuh
- Perbuatan itu terjadi karena
kesalahan, bukan unsur sengaja. Penjelasannya sesuai dengan apa yang sudah
kita tulis diatas.
- Adanya hubungan sebab akibat
antara kesalahan dengan pembunuhan.
Maka, jika tiga rukun ini
sudah ada, dan hakim sudah memutuskan bahwa memang perbuatan tersebut masuk
dalam katagori pembunuhan tidak sengaja, barulah ada sanksi hukum yang berlaku.
Bentuk Sanksi Pelaku Pembunuhan
Tidak Sengaja
Dasar sanksi pembunuhan
tidak sengaja ini adalah firman Allah SWT berikut:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَئًا وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi
seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 92)
Ada tiga bentuk hukuman
bagi pelaku pembunuhan tidak sengaja: Hukuman asli, hukuman pengganti, hukuman
tambahan. Ini semua diberikan jika memang terbukti bahwa apa yang dilakukan
oleh pelaku masuk dalam jenis pembunuhan tidak sengaja ini, jika tidak terbukti
bahwa kesalahan tersebut sampai pada level itu, atau keluarga korban memaafkan
maka tidak mengapa bagi hakim untuk tetap memberikan hukuman ta’zir kepada
pelaku, dengan penjara misalnya, atau denda sejumlah harta, dst, yang sifatnya
memberikan efek jera.
Tapi jika terbukti, maka
tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan hukuman yang sudah ditentukan dengan
jelas oleh syari’at.
1. Sanksi Asli
Hukuman asli dari pelaku
tindak pidana ini adalah denda dan kaffarah. Dendanya sebanyak seratus ekor
onta atau harta yang senilai dengannya. Penjelasannya adalah: 20 anak onta
betina yang berumur satu tahun dan masuk ke tahun kedua, 20 anak onta jantan
yang berumur satu tahun dan masuk ke tahun kedua, 20 unta betina yang berumur
dua tahun dan masuk tahun ke tiga, 20 onta yang berumur tiga tahun dan masuk
tahun ke empat, 20 onta yang berumur empat tahun dan masuk tahun ke lima.
Jika diuangkan memang
nilainya cukup besar, namun begitulah sebenarnya bahwa harga nyawa itu bahkan lebih
mahal dari yang kita bayangkan. Inilah aturan mainnya, hukuman ini dimaksudkan
agar kemungkinan pembunuhan seminimal mungkin tidak terjadi, maka kehati-hatian
menjadi sangat penting, jangan sampai kecerobohan malah menghilangkan nyawa
seseorang.
Denda ini dibebankan kepada
aqilah (keluarga dari pihak ayah), salah satu hikmahnya adalah karena kasus
pembunuhan tidak sengaja ini biasanya lumayan sering terjadi, karenanya jika
hanya dibebankan kepada pelaku, dikhawatirkan pelaku tidak mampu untuk membayarkannya,
ini juga berfungsi agar sesama keluarga juga saling mengingatkan jangan sampai
satu diantara mereka lalai dalam beberapa hal, sehingga kelalaian itu harus
ditebus dengan nilai seratus ekor onta tadi.
Dalam pembayaran denda ini
boleh dilunasi dengan cara dicicil dalam kurun waktu tiga tahun, landasannya
adalah atsar sahabat Umar ra dan Ali, bahwa dua sahabat ini dalam riwayatnya
menghukumi denda ini kepada aqilah dalam kurun waktu tiga tahun, dan tidak
didapati ada sahabat lain yang berseberangan dengan pendapat kedua sahabat ini.
(Abdul Qadir ‘Audah, At-Taysri’ Al-Jina’i juz ke 2, hal. 156)
Selain denda, maka pelaku
pembunuhan ini juga diberi sanksi hukum kaffarah, yaitu memerdekakan budak,
atau mengeluarkan harta senilai memerdekakan seorang budak.
Hukuman kaffarah ini lebih
ringan dibanding dengan hukuman denda seratus ekor onta, untuk itu Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad seperti yang nukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, juz 10,
hal. 37, begitu juga ditulis didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, juz 7, hal.
364-365 menilai bahwa hukuman kaffarah ini diwajibkan kepada pelaku, atau
diambil dari harta pelaku, bukan dari harta keluarganya, baik pelakunya sudah
sampai umur atau masih anak-anak, berakal atau gila, muslim atau non muslim.
Di lain Imam Malik berpendapat
bahwa hukuman kaffarah ini hanya untuk mereka yang muslim saja, tidak bagi
mereka yang non muslim, pendapat ini bisa kita dapati pada kitab Syarhu
ad-Dardir, juz 4, hal. 254. Sedang Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kaffarah
ini hanya berlaku untuk pelaku yang baligh serta berakal saja, dan tidak untuk
selainnya.
2. Sanksi Pengganti
Jika si pelaku tidak
mempunyai harta untuk memerdekaan budak, atau tidak mempunyai harta untuk
bersedekah senilai harga memerdekakan budak, maka sanksi penggantinya adalah
dengan puasa dua bulan berturut-turut, ini sesuai dengan firman Allah SWT
diatas.
Puasa dua bulan
berturut-turut ini bukanlah sanksi pengganti diyah (denda), karena denda itu
tidak boleh diganti dengan yang lain kecuali atas keridhoan keluarga korban,
karenanya tidak mengapa bagi hakim untuk menentukan sanksi lainnya ketika
sanksi denda itu sudah diikhlaskan oleh keluarga korban, dengan dasar bahwa
sanksi tersebut bisa menimbulkan kebaikan baik untuk pelaku maupun untuk
keluarga korban.
3. Sanksi Tambahan
Sanksi tambahannya adalah
terhalangnya si pelaku untuk mendapatkan harta waris dari korban, jika memang
sebelumnya antara yang membunuh dan yang terbunuh mempuyai hubungan
kekerabatan, dan saling mewarisi satu diantara yang lain.
Permasalahan ini memang menjadi
perdebatan diantara ulama setelah sebelumnya mereka semua sepakat bahwa orang
yang membunuh tidak mewarisi harta dari dia yang dibunuh, ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW:
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ : لاَيَرِثُ القَاتِلُ شَيْئاً
"Tidaklah seorang
pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)
عَنْ عُمَرَ : لَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ
Dari Umar radhiyallahuanhu
: Seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan.(HR.
Malik, Syafi'i dan Ahmad)
Mentaati Aturan
Berkendaraan
Di negara kita khususnya,
dan di negara manapun pasti sudah ada aturan berkendaraan yang dikeluarkan oleh
pemerintah setempat, ini semua dimaksudkan demi menjaga agar tidak terjadi
kemudhoratan yang bisa menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Untuk itulah mentaati
aturan seperti ini dihukumi wajib oleh para ulama, landasannya adalah keumuman
firman Allah SWT berikut:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59)
Atas landasan inilah, boleh
bagi hakim untuk memberikan saknsi hukum bagi mereka yang melanggar
aturan-aturan berkendaraan yang sudah ditetapkan, ditilang, dipenjara, denda
sejumlah harta, atau dicabut izin berkendaraan mereka.
Tapi sayang beribu kali
sayang, jujur kita katakan bahwa kesadaran menjalankan aturan ini sangat minim
sekali, padahal keteledoran atau kelalaian yang ujungnya bisa membawa korban
jiwa sangat berat hukumannya. Semoga Allah SWT memberikan keselamatan bagi kita
semua dalam berkendaraan.
Kesimpulan
Jadi apakah mereka yang
meninggal dalam kasus tabrakan itu masuk dalam katagori musibah atau
pembunuhan?
Jawabannya:
Jika pengendara mobil atau
motor atau kendaraan lainnya sudah memenuhi semua aturan dalam berkendaraan,
dan sudah sangat berhati-hati dalam membawa kendaraannya, maka kecelakaan yang
terjadi bisa kita hukumi sebagai sebuah musibah.
Namun jika ada unsur
kelalaian atau keteledoran dari si pengendara, membawa kendaraan dalam keadaan
mabuk, ngantuk, tidak memenuhi rambu-rambu lalu lintas, membawa kendaraan
dengan kecepatan yang berlebihan, dan seterusnya, maka dalam kasus ini bisa
disimpulkan bahwa yang terjadi masuk dalam katagori pembunuhan tidak sengaja (qatlu
al-khata’).
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Muhammad Saiyid Mahadhir,
MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/