Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,Ada satu pertanyaan yang
masih membuat saya penasaran, ustadz. Pertanyaan ini sering saya tanyakan
kepada banyak orang, tapi saya masih merasa belum puas atas jawabannya.
Di zaman kita yang modern dan serba praktis ini, kenapa masih saja ada orang yang kalau bayar zakat atau fidyah harus bersusah-susah pakai beras. Bukankah beras ini malah bikin kotor masjid saja?
Kita kan sudah ada di zaman yang maju, kenapa tidak ditransfer saja uangnya ke rekening panitia zakat, amil dan lembaga, biar hidup kita lebih praktis. Bukankah Rasulullah SAW itu mengajarkan kita yang praktis-praktis dan tidak mengajarkan kita yang susah-susah?
Mohon pencerahan dari sudut pandang antum yang lebih luas dan jazakallah atas jawabannya.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di zaman kita yang modern dan serba praktis ini, kenapa masih saja ada orang yang kalau bayar zakat atau fidyah harus bersusah-susah pakai beras. Bukankah beras ini malah bikin kotor masjid saja?
Kita kan sudah ada di zaman yang maju, kenapa tidak ditransfer saja uangnya ke rekening panitia zakat, amil dan lembaga, biar hidup kita lebih praktis. Bukankah Rasulullah SAW itu mengajarkan kita yang praktis-praktis dan tidak mengajarkan kita yang susah-susah?
Mohon pencerahan dari sudut pandang antum yang lebih luas dan jazakallah atas jawabannya.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,Memang benar kalau kita
melihat dari sudut pandang orang-orang yang hidup di kota besar dengan
teknologi canggih, bayar zakat atau fidyah itu lebih praktis dengan cara
ditransfer lewat bank.
Tetapi kalau kita merujuk kepada masyru'iyah yang asli sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, maka fidyah itu tidak lain adalah tha'amu miskin. Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka apapun rekayasanya, pada akhirnya kembali bahwa bentuk fidyah itu pada dasarnya adalah makanan dan bukan uang. Itulah yang disebutkan di dalam Al-Quran dengan tegas dan qath'i.
Tetapi kalau kita merujuk kepada masyru'iyah yang asli sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, maka fidyah itu tidak lain adalah tha'amu miskin. Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka apapun rekayasanya, pada akhirnya kembali bahwa bentuk fidyah itu pada dasarnya adalah makanan dan bukan uang. Itulah yang disebutkan di dalam Al-Quran dengan tegas dan qath'i.
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin.
(QS. Al-Baqarah : 184)
Dalam prakteknya dahulu di masanya, Rasulullah SAW membayar fidyah berupa bahan makanan pokok yang diberikan untuk orang-orang miskin, dengan ukuran satu mud atau dua genggaman telapak tangan beliau.
Dalam prakteknya dahulu di masanya, Rasulullah SAW membayar fidyah berupa bahan makanan pokok yang diberikan untuk orang-orang miskin, dengan ukuran satu mud atau dua genggaman telapak tangan beliau.
Maka di dalam berbagai kita
fiqih, kita temukan bahwa para ulama juga menetapkan fidyah itu haruslah
berbentuk makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari
suatu masyarakat.
Adapun bagaimana bila
fidyah itu diberikan dalam bentuk uang tunai, maka hal itu merupakan ijtihad
yang datang belakangan. Sebagian ulama ada yang membolehkannya dan sebagian
lagi tidak membolehkan. Maka membayar fidyah bukan dalam bentuk makanan tetapi
dalam bentuk uang tunai, hukumnya menjadi khilafiyah di tengah perbedaan
pendapat para ulama.
Mengapa Rasulullah SAW
Memberi Dalam Bentuk Makanan?
Karena di masa lalu memberi
fidyah dalam bentuk makanan jauh lebih praktis ketimbang dengan uang. Baru
belakangan ini saja memberi fidyah dalam bentuk uang menjadi lebih praktis
ketimbang dalam bentuk bahan pangan mentah.
1. Peredaran Uang Terbatas
Di masa itu peredaran uang
amat terbatas. Masyarakat lebih banyak punya barang ketimbang uang. Kalau pun
mereka butuh sesuatu yang tidak mereka miliki, mereka akan datang ke pasar.
Tetapi mereka tidak bawa uang tetapi membawa komoditas tertentu yang sekiranya
bisa ditukarkan dengan barang lain (barter).
Karena itulah kita mengenal
di masa Nabi SAW ada jenis riba yang nyaris hari ini tidak lagi kita temukan,
yaitu riba fadhl. Prinsip riba fadhl adalah tukar menukar benda sejenis dengan
kualitas yang berbeda dan timbangan yang berbeda.
Karena uang sangat
terbatas, sedangkan makanan justru banyak dimiliki, tentu lebih praktis dan
mudah untuk memberi fidyah dalam bentuk makanan saja ketimbang uang.
Tidak usah jauh-jauh ke
masa Nabi SAW, bahkan di berbagai pelosok pedesaan di masa kita sekarang ini,
masih banyak penduduk yang lebih memiliki bahan makanan ketimbang uang
tunai.
Maka banyak dokter yang
ditugaskan di daerah terpencil, kalau habis mengobati penduduk, mereka tidak
dibayar pakai uang, tetapi diberi beras, duren, ayam hidup, dan beragam jenis
bahan pangan lainnya. Pola kehidupan seperti ini di berbagai pelosok negeri ini
masih ada.
2. Ketersediaan Pasar Amat
Terbatas
Kalau pun ada pasar di masa
itu, belum tentu buka setiap hari. Banyak pasar yang hanya buka seminggu sekali
saja, Itu pun hanya pada jam-jam tertentu saja.
Bayangkan di masa itu,
kalau ada orang mau bayar fidyah tapi harus pakai uang, dia harus menunggu
seminggu untuk bisa ke pasar. Dibawanya terigu, gandum atau kurma untuk dijual.
Kalau laku ya alhamdulillah, tetapi kalau tidak laku, terpaksa menunggu
seminggu lagi biar bisa dapat uang tunai.
Dan kasihan sekali orang
miskin yang diberi fidyah berupa uang tunai di masa itu. Anggaplah dia terima
uangnya, tetapi tidak bisa langsung beli makanan. Sebab pasarnya baru buka
seminggu lagi padahal perut mereka sudah sangat lapar. Betapa tidak praktisnya
membayar fidyah dengan uang tunai di masa itu.
Sebenarnya tidak usah
jauh-jauh ambil perbandingan di masa Nabi abad ke-7 Masehi, lha wong hingga
abad ke-20 pun di Jakarta pun nama-nama pasar masih menunjukkan nama harinya.
Ada Pasar Minggu, Pasar Senen, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Jumat. Dahulu Pasar
Minggu itu hanya ada di hari Minggu, di hari lain tutup, kosong dan sepi tidak
ada pasarnya. Dan dahulu Pasar Senen hanya buka di hari Senin. Jangan
sekali-kali ke Pasar Senen di hari Minggu, ya tidak ada yang jualan.
Demikian juga Pasar Rabu,
Pasar Kamis dan Pasar Jumat, semua hanya buka seminggu sekali saja.
Di Jawa Tengah, kita sering
mendengar ada Pasar Wage, Pasar Pon, Pasar Kliwon, Pasar Legi dan Pasar Pahing.
Semua hanya buka bila pas jatuh di 'hari pasaran' itu saja. Jadi pasarnya hanya
buka tiap lima hari sekali.
Dan sampai hari ini masih
akrab di telinga kita istilah pasar pagi, pasar malam, pasar shubuh. Tentu
bukanya hanya pas waktu-waktu itu saja.
Maka bayar fidyah berupa
uang di masa itu justru sangat tidak efisien, tidak praktis, tidak masuk akal
dan sama sekali tidak waras.
3. Biar Tidak Mudah Menyelewengkan Penggunaan UangWalau pun sebagian ulama ada yang membolehkan bayar fidyah berbentuk uang tunai demi alasan kepraktisan, bukan berarti masalahnya langsung selesai.
Skenario aslinya, dari pada bawa-bawa beras yang merepotkan, kita kasihkan saja uangnya kepada orang miskin, biar dia nanti yang beli makanan sendiri.
Tetapi seringkali antara skenario awal dengan kenyataan di lapangan bisa berubah 180 derajat. Seperti pengalaman salah seorang teman panitia zakat. Begitu uang tunai dibagikan di suatu daerah kumuh, alih-alih mereka beli bahan makanan, langsung mereka ramai-ramai beli togel, petasan dan rokok. Malah ada yang beli minuman keras lalu pesta mabok hingga pagi hari.
Mungkin akan lain ceritanya kalau mereka diberi beras, setidaknya masih ada yang berpikir untuk disimpan sebagai persediaan makanan. Walaupun beras bisa dijual dan jadi duit, tetapi setidaknya kita tidak memberi 'alat tukar' yang bisa dibelikan apa saja, yang malah akhirnya dibelikan yang tidak-tidak.
Setidaknya kita sudah memberi beras, yaitu bahan makanan pokok yang pasti sangat diperlukan oleh tiap keluarga.
3. Biar Tidak Mudah Menyelewengkan Penggunaan UangWalau pun sebagian ulama ada yang membolehkan bayar fidyah berbentuk uang tunai demi alasan kepraktisan, bukan berarti masalahnya langsung selesai.
Skenario aslinya, dari pada bawa-bawa beras yang merepotkan, kita kasihkan saja uangnya kepada orang miskin, biar dia nanti yang beli makanan sendiri.
Tetapi seringkali antara skenario awal dengan kenyataan di lapangan bisa berubah 180 derajat. Seperti pengalaman salah seorang teman panitia zakat. Begitu uang tunai dibagikan di suatu daerah kumuh, alih-alih mereka beli bahan makanan, langsung mereka ramai-ramai beli togel, petasan dan rokok. Malah ada yang beli minuman keras lalu pesta mabok hingga pagi hari.
Mungkin akan lain ceritanya kalau mereka diberi beras, setidaknya masih ada yang berpikir untuk disimpan sebagai persediaan makanan. Walaupun beras bisa dijual dan jadi duit, tetapi setidaknya kita tidak memberi 'alat tukar' yang bisa dibelikan apa saja, yang malah akhirnya dibelikan yang tidak-tidak.
Setidaknya kita sudah memberi beras, yaitu bahan makanan pokok yang pasti sangat diperlukan oleh tiap keluarga.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/