Tutuplah aurat walaupun akhlak belum baik, Sholatlah walaupun belum bisa Khusyu, Hindarilah pacaran walaupun ada niat menikahinya, Bacalah Al-Qur'an walaupun tidak tau artinya.. Inshaa Allah jika Terus menerus, hal yang lebih baik akan kita dapatkan...

Sabtu, 17 Januari 2015

Bayar Fidyah Kenapa Harus Pakai Beras?


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Ada satu pertanyaan yang masih membuat saya penasaran, ustadz. Pertanyaan ini sering saya tanyakan kepada banyak orang, tapi saya masih merasa belum puas atas jawabannya.
Di zaman kita yang modern dan serba praktis ini, kenapa masih saja ada orang yang kalau bayar zakat atau fidyah harus bersusah-susah pakai beras. Bukankah beras ini malah bikin kotor masjid saja?
Kita kan sudah ada di zaman yang maju, kenapa tidak ditransfer saja uangnya ke rekening panitia zakat, amil dan lembaga, biar hidup kita lebih praktis. Bukankah Rasulullah SAW itu mengajarkan kita yang praktis-praktis dan tidak mengajarkan kita yang susah-susah?
Mohon pencerahan dari sudut pandang antum yang lebih luas dan jazakallah atas jawabannya.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Memang benar kalau kita melihat dari sudut pandang orang-orang yang hidup di kota besar dengan teknologi canggih, bayar zakat atau fidyah itu lebih praktis dengan cara ditransfer lewat bank.

Tetapi kalau kita merujuk kepada masyru'iyah yang asli sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, maka fidyah itu tidak lain adalah tha'amu miskin. Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka apapun rekayasanya, pada akhirnya kembali bahwa bentuk fidyah itu pada dasarnya adalah makanan dan bukan uang. Itulah yang disebutkan di dalam Al-Quran dengan tegas dan qath'i.


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ 
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.  (QS. Al-Baqarah : 184)

Dalam prakteknya dahulu di masanya, Rasulullah SAW membayar fidyah berupa bahan makanan pokok yang diberikan untuk orang-orang miskin, dengan ukuran satu mud atau dua genggaman telapak tangan beliau.

Maka di dalam berbagai kita fiqih, kita temukan bahwa para ulama juga menetapkan fidyah itu haruslah berbentuk makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari suatu masyarakat.

Adapun bagaimana bila fidyah itu diberikan dalam bentuk uang tunai, maka hal itu merupakan ijtihad yang datang belakangan. Sebagian ulama ada yang membolehkannya dan sebagian lagi tidak membolehkan. Maka membayar fidyah bukan dalam bentuk makanan tetapi dalam bentuk uang tunai, hukumnya menjadi khilafiyah di tengah perbedaan pendapat para ulama.

Mengapa Rasulullah SAW Memberi Dalam Bentuk Makanan?
Karena di masa lalu memberi fidyah dalam bentuk makanan jauh lebih praktis ketimbang dengan uang. Baru belakangan ini saja memberi fidyah dalam bentuk uang menjadi lebih praktis ketimbang dalam bentuk bahan pangan mentah.

1. Peredaran Uang Terbatas
Di masa itu peredaran uang amat terbatas. Masyarakat lebih banyak punya barang ketimbang uang. Kalau pun mereka butuh sesuatu yang tidak mereka miliki, mereka akan datang ke pasar. Tetapi mereka tidak bawa uang tetapi membawa komoditas tertentu yang sekiranya bisa ditukarkan dengan barang lain (barter).

Karena itulah kita mengenal di masa Nabi SAW ada jenis riba yang nyaris hari ini tidak lagi kita temukan, yaitu riba fadhl. Prinsip riba fadhl adalah tukar menukar benda sejenis dengan kualitas yang berbeda dan timbangan yang berbeda. 

Karena uang sangat terbatas, sedangkan makanan justru banyak dimiliki, tentu lebih praktis dan mudah untuk memberi fidyah dalam bentuk makanan saja ketimbang uang. 
Tidak usah jauh-jauh ke masa Nabi SAW, bahkan di berbagai pelosok pedesaan di masa kita sekarang ini, masih banyak penduduk yang lebih memiliki bahan makanan ketimbang uang tunai. 
Maka banyak dokter yang ditugaskan di daerah terpencil, kalau habis mengobati penduduk, mereka tidak dibayar pakai uang, tetapi diberi beras, duren, ayam hidup, dan beragam jenis bahan pangan lainnya. Pola kehidupan seperti ini di berbagai pelosok negeri ini masih ada.

2. Ketersediaan Pasar Amat Terbatas
Kalau pun ada pasar di masa itu, belum tentu buka setiap hari. Banyak pasar yang hanya buka seminggu sekali saja, Itu pun hanya pada jam-jam tertentu saja. 
Bayangkan di masa itu, kalau ada orang mau bayar fidyah tapi harus pakai uang, dia harus menunggu seminggu untuk bisa ke pasar. Dibawanya terigu, gandum atau kurma untuk dijual. Kalau laku ya alhamdulillah, tetapi kalau tidak laku, terpaksa menunggu seminggu lagi biar bisa dapat uang tunai.
Dan kasihan sekali orang miskin yang diberi fidyah berupa uang tunai di masa itu. Anggaplah dia terima uangnya, tetapi tidak bisa langsung beli makanan. Sebab pasarnya baru buka seminggu lagi padahal perut mereka sudah sangat lapar. Betapa tidak praktisnya membayar fidyah dengan uang tunai di masa itu. 

Sebenarnya tidak usah jauh-jauh ambil perbandingan di masa Nabi abad ke-7 Masehi, lha wong hingga abad ke-20 pun di Jakarta pun nama-nama pasar masih menunjukkan nama harinya. Ada Pasar Minggu, Pasar Senen, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Jumat. Dahulu Pasar Minggu itu hanya ada di hari Minggu, di hari lain tutup, kosong dan sepi tidak ada pasarnya. Dan dahulu Pasar Senen hanya buka di hari Senin. Jangan sekali-kali ke Pasar Senen di hari Minggu, ya tidak ada yang jualan. 

Demikian juga Pasar Rabu, Pasar Kamis dan Pasar Jumat, semua hanya buka seminggu sekali saja.  
Di Jawa Tengah, kita sering mendengar ada Pasar Wage, Pasar Pon, Pasar Kliwon, Pasar Legi dan Pasar Pahing. Semua hanya buka bila pas jatuh di 'hari pasaran' itu saja. Jadi pasarnya hanya buka tiap lima hari sekali. 

Dan sampai hari ini masih akrab di telinga kita istilah pasar pagi, pasar malam, pasar shubuh. Tentu bukanya hanya pas waktu-waktu itu saja. 
Maka bayar fidyah berupa uang di masa itu justru sangat tidak efisien, tidak praktis, tidak masuk akal dan sama sekali tidak waras.

3. Biar Tidak Mudah Menyelewengkan Penggunaan UangWalau pun sebagian ulama ada yang membolehkan bayar fidyah berbentuk uang tunai demi alasan kepraktisan, bukan berarti masalahnya langsung selesai.
Skenario aslinya, dari pada bawa-bawa beras yang merepotkan, kita kasihkan saja uangnya kepada orang miskin, biar dia nanti yang beli makanan sendiri.

Tetapi seringkali antara skenario awal dengan kenyataan di lapangan bisa berubah 180 derajat. Seperti pengalaman salah seorang teman panitia zakat. Begitu uang tunai dibagikan di suatu daerah kumuh, alih-alih mereka beli bahan makanan, langsung mereka ramai-ramai beli togel, petasan dan rokok. Malah ada yang beli minuman keras lalu pesta mabok hingga pagi hari.

Mungkin akan lain ceritanya kalau mereka diberi beras, setidaknya masih ada yang berpikir untuk disimpan sebagai persediaan makanan. Walaupun beras bisa dijual dan jadi duit, tetapi setidaknya kita tidak memberi 'alat tukar' yang bisa dibelikan apa saja, yang malah akhirnya dibelikan yang tidak-tidak.

Setidaknya kita sudah memberi beras, yaitu bahan makanan pokok yang pasti sangat diperlukan oleh tiap keluarga.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 
Sumber : http://www.rumahfiqih.com/


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Terbaru