Assalamu'alaikum.
Ustadz, apakah benar bahwa
orang yang sudah meninggal, setiap malam Jum'at selalu berkumpul menunggu
hadiah dari orang yang masih hidup, berupa sedekah atas nama kita, bacaan
Yasin, al-Fatihah, dan do'a-do'a lainnya? Adakah hadits yang meriwayatkan hal
ini? Sepengetahuan saya, hanya 3 hal yang pahalanya tetap mengalir ketika kita
sudah meninggal, yaitu anak shaleh yang mendoakan kita, ilmu yang bermanfaat,
dan shadaqoh jariyah. Syukron Ustadz.
Wassalam,
Jawaban :
Assalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Mohon maaf karena kami
belum menemukan dalil yang kuat dan secara tegas menyebutkan hal itu. Mungkin
karena kelemahan kami dalam mencari dalil. Sepanjang yang kami ketahui, yang
ada hanyalah dalil-dalil yang menyatakan bahwa orang yang sudah wafat dan
dialam barzakh memang bisa mendapatkan kebaikan karena doa dan perbuatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup.
Namun kalau para ahli kubur
secara serempak berkumpul menanti-nantikan hadiah tiap malam jumat, rasanya
kami belum menemukannya. Adapun hadits yang menyatakan hanya tiga hal yang
pahalanya mengalir itu memang hadits yang shahih. Namun perlu dicermati
kandungannya dengan tepat. Hadits itu sebenarnya tidak menyebutkan bahwa
seseorang tidak bisa menerima 'kiriman' pahala dari orang lain.
Sebaliknya hadits itu hanya
mengatakan bahwa pahala amal pekerjaan seseorang itu terputus begitu dia
meninggal. Kalau selama ini dia shalat, maka begitu meninggal, dia tidak bisa
shalat, maka pahalanya berhenti dengan kematiannya. Kalau selama ini dia puasa,
maka saat wafat, tidak ada lagi pahala yang akan didapat. Kalau selama ini dia
zakat atau haji, tidak ada lagi pahala yang bisa didapat dari ibadah-ibadah
itu.
Namun Rasulullah SAW ingin
menyebutkan bahwa masih ada jenis ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim,
yang meski pun dia sudah wafat, pahala ibadah itu tetap saja terus mengalir
kepadanya. Mengapa bisa demikian?
Kita bisa mengibaratkan
jenis ibadah dan pahalanya itu seperti orang yang bekerja mendapat gaji bulanan
dan orang yang punya saham di suatu perusahaan. Sebagai orang gajian, bila
sudah bekerja lagi, tentu tidak akan lagi mendapat gaji. Tapi bila seorangpunya
saham di sebuah perusahaan, meski sudah tidak bekerja, tapi dia akan tetap
mendapatkan deviden atau bagi hasil. Sampai dia menjual sahamnya atau
perusahaan itu bubar.
Ibadah shalat, puasa,
zakat, haji dan lainnya bisa diibaratkan seperti orang yang bekerja menjadi
karyawan dengan sistem gaji. Kalau bekerja diberi gaji tapi kalau tidak bekerja
tidak diberi gaji. Sedangkan tiga amal yang disebutkan dalam hadits ini bisa
diibaratkan dengan kepemilikan saham, sehingga meski yang bersangkutan tidak
bekerja tiap hari, tapi tetap mendapatkan deviden terus.
Tiga amal itu adalah
sedekah jariyah, punya anak shalih yang mendoakan dan pernah mengajarkan ilmu
yang bermanfaat buat orang lain. Khusus masalah sedekah jariayh, biasanya
berbentuk harta yang diwaqafkan. Misalnya seseorang punya ladang kelapa sawit
1.000 hektar dan diwaqafkan semua hasil panennya untuk fakir miskin. Ladang itu
menjadi saham baginya di sisi Allah untuk pahala di alam barzakh. Selama ladang
itu masih memberikan pemasukan, meski dia sudah meninggal, pahalanya akan tetap
diterima di alam kubur.
Atau seseorang punya anak
yang dididiknya menjadi anak shalih. Jasa mendidik anak hingga menjadi shalih
dan berguna itu adalah saham baginya. Setiap anak shalih ini mengerjakan
sesuatu yang mendatangkan pahala, tentu orang tuanya akan ikut menikmati hasil
pahalanya juga, tanpa mengurangi pahala si anak itu sendiri.
Adapun kalau disebutkan
bahwa anak shalih itu mendoakannya, tidaklah bermakna bahwa yang diterima
doanya hanya terbatas pada anak saja. Namun pengertiannya adalah bahwa umumnya
yang mau mendoakan adalah anak, ketimbang orang lain. Sebab antara anak dan orang
tua, ada hubungan batin yang kuat, di mana seorang anak yang baik pasti mau
dengan ikhlas dan rela memanjatkan doa untuk kebahagiaan orang tuanya di alam
barzakh. Adapun doa yang dipanjatkan oleh selain anak,tentu saja tetap
diterima Allah dan bahkan bisa menambah kenikmatan di dalam kubur. Bukankah
yang disyariatkan untuk menyalatkan jenazah itu tidak terbatas hanya pada anak
saja? Bukankah setiap muslim berhak dan diperkenankan menyalatkan jenazah
muslim lainnya meski tidak kenal?
Dan bukankah kita dianjurkan
untuk mengucapkan salam ketika berziarah kubur. Dan salam adalah doa
keselamatan yang kita minta kepada Allah buat orang yang kita beri salam.
Padahal yang kira beri salam itu sudah wafat dan berada di alam kubur. Mengapa
Rasulullah SAW malah memerintahkan kita memberi salam kepada orang mati?
Jawabnya adalah karena doa orang hidup kepada orang mati itu memang
disyariatkan dan insya Allah akan dikabulkan.
Kalau kita memaksa hadits
di atas untuk dijadikan batasan bahwa hanya doa anak saja yang diterima Allah,
maka seharusnya shalat jenazah itu tidak sah dilakukan kecuali hanya oleh anak
laki yang shalih saja. Sedangkan anak perempuan, atau anak laki tapi kurang
shalih, kakak, adik, orang tua, suami, istri dan sanak kerabat, semuanya tidak
perlu menshalatkan jenazahnya. Karena tidak akan ada gunanya. Karena itu
yang benar dalam memahami hadits di atas bukanlah pembatasan siapa yang boleh
mendoakan, melainkan menunjukkan bahwa umumya yang mau mendoakan dengan tulus
adalah anaknya, karena anak itu ingin membalas budi orang tuanya.
Kesimpulannya menurut kami,
doa orang-orang kepada seorang yang wafat akan diterima Allah SWT. Dan tidak
terbatas hanya dari anak laki-laki shalih saja. Karena hadits ini tidak dalam
posisi untuk membatasi sampainya doa dari orang yang masih hidup kepada orang
yang sudah wafat.
Wallahu a'lam bishshawab,
wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber :
http://www.rumahfiqih.com/